Dunia Tanpa Suara – Dunia di mana setan dan manusia bisa saling melihat dan berbicara antara satu dengan yang lain-nya.
Mungkin sebentar lagi aku akan mati dengan alur cerita yang kubuat sendiri. Tubuh ini terasa begitu letih, tapi mata dan pikiran ini sepertinya tidak mau untuk kuajak berhenti barang sejenak, "mereka" begitu bersemangat dan terus memaksaku untuk tetap berada di sini.
Di depan laptop kesayanganku, di antara puntung-puntung rokok yang semakin "menggunung" di dalam asbak. Jemariku masih terus bergerak, menekan tombol dan angka di keyboard pada laptop yang begitu setia menemani malam-malam panjangku. Hingga, tanpa kusadari, ternyata beberapa malam ini aku begitu asik dengan dunia ku sendiri.
Seperti malam ini, sebelum kutinggal pergi kebalik dinding tipis yang membatasi antara duniaku dengan dunia-nya. Kulihat dia masih begitu asik dengan mainan-nya. Dan tanpa kusadari, ternyata saat ini dia sudah berada di samping-ku. Menarik-narik tangan kiriku, mengajakku menemaninya. Tapi kedua telinga ini seperti nya terlalu jauh untuk bisa menangkap suara-suara kecil yang sedari tadi terus memanggil - manggilku, sambil sesekali merengek, memintaku untuk segera menemaninya bermain.
Dari balik dinding tipis dan tembus pandang ini aku bisa melihat semuanya, gerak lucu tubuh mungilnya, juga suara kecil yang masih terus memanggil-manggilku dari tempat dia bermain-main dengan teman-teman imajinasinya.
“Ah..lagi-lagi aku mengabaikan bidadari kecil itu,” kataku pada sosok yang sedang membuat segelas kopi susu.
Sesaat dia berhenti sejenak mengaduk kopi susu di dalam cangkir, sambil menatapku, dia tersenyum gemas menatap bidadari kecilku yang terlihat begitu lucu dan tidak bisa melihat dirinya itu.
Saat ini aku sedang berada di Dunia Tanpa Suara, dunia di mana masing-masing karakter dari semua tokoh-tokoh yang pernah ku ceritakan dalam setiap naskah ceritaku itu begitu hidup. Mereka bukan saja cuma mengajakku bercanda, tapi mereka juga terkadang menarik kedua telapak tanganku, lalu menyentuhkannya ke dada mereka. Seolah ingin membagikan semua rasa yang sedang mereka rasakan saat itu.
Dan malam ini, seperti biasa orang-orang yang biasanya ku jumpai dan selalu mengajaku pergi ke dunia nya itu sudah berada di depan kamarku, mengetuk perlahan pintu kamar tidurku, ketukan pada pintu kamar yang cuma aku saja yang mampu mendengarnya.
Dan seperti biasa, setelah kubuka pintu kamar tidurku, dia tersenyum manis di hadapanku, menarik tanganku, berjalan pelan menuju ke arah dapur, lalu segera membuatkan aku segelas kopi susu.
Seperti yang sudah-sudah, dia akan memintaku untuk segera duduk di atas kursi yang menghadap ke meja kayu itu. Meja kayu yang diatasnya ada laptop kesayanganku, dan seperti biasa juga dia akan memintaku untuk segera menghidupkan-nya dan meletakan secangkir kopi susu di sebelahnya, tak lupa meletakan sebungkus rokok sebelum dia pergi meninggalkan ku dan kembali lagi ke Dunia Tanpa Suara.
Dunia di mana setan dan manusia bisa saling melihat dan berbicara antara satu dengan yang lain-nya. Dunia di mana semua penghuni di dalamnya bisa berkomunikasi dengan semua bahasa. Dunia di mana suara bukanlah menjadi yang paling utama, Dunia di mana aku bisa melihat para penghuni di dalamnya tidak lagi berbicara dengan menggunakan bahasa manusia. Dunia yang perlahan-lahan mulai mengajariku untuk bisa mengerti bahasa mereka.
Seperti saat ini, di mana aku berbicara dengannya, dengan dengan menggunakan bahasa rasa.
“Itu siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke arah dua sosok yang kulihat sedang asik berbicara.
Di ujung sana. Di atas Sofa Minimalis, aku melihat dua sosok sedang duduk, yang satu memakai pakaian berwarna putih dan kulihat ada sayap yang juga berwarna putih menyembul dari balik punggungnya. Sedangkan yang duduk di sebelahnya adalah seorang lelaki setengah tua,
mengenakan jubah panjang berwarna hitam, wajahnya tidak begitu terlihat jelas dari sini karena terhalang oleh jubah hitamnya yang menutup hingga ke kepalanya.
Sesekali mereka kulihat tertawa, mereka berdua terlihat cukup akrab, terbukti dari bahasa tubuh mereka yang begitu santai.
Samar-samar bisa kulihat mereka sepertinya sedang bercanda, masing-masing tangan mereka sedang memegang cangkir di tangannya.
“Yang satu itu Malaikat,” katanya lagi sambil menunjuk ke arah sosok yang mengenakan pakaian serba putih.
“Dan yang itu?" tanyaku lagi sambil menunjuk ke arah sosok yang sedang duduk di sebelahnya, sosok yang mengenakan jubah panjang bewarna hitam.
“Itu Iblis," katanya lagi tanpa menoleh ke arahku.
“Ayo cepat,” katanya lagi seraya menarik jari tanganku agar secepat-nya menghidupkan laptop di depanku. Kuikuti permintaan nya, segera kunyalakan laptop di atas meja, sambil menunggu sampai proses loading-nya selesai, kubakar sebatang rokok, lalu kembali menatap ke arah dua sosok yang sedari tadi sedang bercerita sambil sesekali mendekatkan ujung cangkir nya ke bibirnya masing-masing.
"Mungkin mereka sedang minum kopi," pikirku, sambil melihat ke arah secangkir kopi susu buatan wanita berkerudung hitam yang terletak di samping laptop-ku.
Kulihat kesamping, ternyata wanita berkulit hitam manis itu sudah tidak lagi berada di situ. Seperti biasa, dia terlihat begitu tidak sabar menunggu hingga laptop ku menyala, dan seperti biasa dia selalu pergi duluan, meninggalkan ku di tempat ini seorang diri, sambil berpesan, agar aku segera menyusulnya, pergi ke tempatnya, di dunia tanpa suara.
Setelah sekian lama menunggu, sepertinya malam ini aku sedikit kesulitan untuk menyusulnya ke tempat biasa kami bertemu.
Sayup-sayup, bisa kudengar suara tawa dari dua sosok yang kulihat masih asik bercerita sambil duduk di atas kursi Sofa Minimalis.
Kuambil cangkir kopi buatan wanita berkerudung hitam yang masih terasa begitu hangat di tanganku, sedikit menggeser kursi yang sedang kududuki, aku segera beranjak, pergi meninggalkan laptop yang masih menyala di atas Meja.
Melangkahkan kaki secara perlahan, kudatangi dua sosok yang seperti-nya adalah dua sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu, mereka terlihat begitu asik ngobrol, sampai-sampai seperti tidak menyadari kalau sedari tadi aku sedang memperhatikan mereka berdua dari tempat ini.
Kutatap lelaki berbaju putih yang tersenyum menatap ke arah-ku, aku tersenyum balik menatap-nya, dia mengangkat cangkir di tangan kanan-nya ke-arahku, kubalas mengangkat cangkir kopi susu yang ada di dalam genggamanku, aku terus berjalan pelan, mendekat ke arahnya.
Sambil duduk di sebelah pria tua yang mengenakan jubah berwarna hitam, kutaruh cangkir kopi susu yang berada dalam genggamanku tepat di sebelah cangkir kopi hitam milikmya.
Lelaki setengah tua yang memakai jubah panjang berwarna hitam itu tersenyum menatapku. Menatap wajah yang terlihat begitu letih dan sedang duduk di sebelahnya.
“Sudah selesai ceritanya?" tanyanya padaku.
Sesekali matanya melihat ke arah laptopku yang masih menyala di atas meja sana.
“Aku tidak tahu bagaimana harus menutup alur ceritanya,” jawabku pelan, sambil menghela nafas panjang, mencoba melepaskan semua rasa penatku di atas kursi sofa, kursi sofa yang juga di duduki oleh sosok berjubah hitam dan sosok berjubah putih itu.
“Ha..ha..” tiba-tiba dia tertawa sambil melihat ke arah teman-nya yang memakai pakaian serba putih di depanku.
Sambil menepuk-nepuk pundak-ku dengan tangan kanan nya, dia kembali berkata, "Mungkin dia lelah,"
“Apa yang bisa kubantu?" tanya lelaki yang mengenakan jubah panjang berwarna hitam di sebelahku setelah tawanya sedikit reda.
“Iya apa yang bisa kami bantu?" tanya lelaki berpakain serba putih yang ada sayap di punggung-nya itu, raut mukanya terlihat serius sambil menatap wajah lelahku.
“Aku masih belum tau bagaimana cara mengakhiri alur ceritanya,” kataku pelan, sesekali kuhembuskan asap rokok-ku begitu perlahan, seolah sedang bicara dengan diriku sendiri.
“Tentang Wanita berkerudung merah marun itu?" tanya lelaki setengah tua yang mengenakan jubah panjang berwarna hitam sambil tersenyum menatapku.
“Bukan,” jawabku sambil tersenyum menatapnya.
Tanpa sadar aku kembali menguap, mataku melihat ke arah rasa kantuk yang baru saja datang dan langsung duduk di sebelahku.
"Sepertinya beberapa malam belakangan ini dia begitu sibuk, sampai-sampai tidak sempat untuk datang menjengukku di tempat ini," pikirku sambil melirik ke arah rasa kantuk yang baru duduk di sebelahku.
“Yang mana?” tanya lelaki berpakaian serba putih itu sedikit penasaran.
Kepalanya sedikit mendongak saat melihat ke arahku. Pandangan-nya memang sedikit tertutup oleh rasa kantuk yang tepat duduk di sebelahku.
“Apa wanita berkulit hitam manis yang mengenakan kerudung hitam yang tadi membuatkan segelas kopi susu untukmu itu?” tanya lelaki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna hitam di sampingku itu sambil kembali tersenyum melihatku.
Entah kenapa saat ini mataku terasa begitu berat. jangankan untuk menjawab pertanyaan lelaki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna hitam barusan, untuk membuka kelopak mataku saja, saat ini sudah terasa begitu berat bagiku.
Rasa kantuk beranjak dari tempat duduknya, menarik tanganku, mengajak ku segera pergi, meninggalkan dua sosok sahabat lama yang sepertinya sudah lama tidak pernah punya waktu untuk ngobrol berdua seperti itu.






.jpg)