Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ada Alunan Nada di Malioboro

Ruang Berbagi dan Informasi

  Ada Alunan Nada di Malioboro

Kata orang, rasanya belum sampai ke Yogyakarta jika belum mendatangi salah satu kawasan jalan dari tiga jalan yang ada di Kota ini. Tiga jalan yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta itu terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Tapi dari ketiga jalan itu yang paling terkenal adalah Jalan Malioboro.

 

Siapa yang tidak mengetahui nama jalan yang sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja di sepanjang kiri – kanan jalanan itu? Nama jalan yang bahkan oleh beberapa musisi dan seniman telah diabadikan dalam beberapa karya seni mereka itu bahkan menurut beberapa pedagang kaki lima yang saya ajak berbincang-bincang sambil menikmati sajian khas kota ini, menurut mereka keramaian jalan Malioboro ini bahkan sudah tersohor sejak era penjajahan Belanda dulu.

 

Dari cerita para pedagang kaki lima yang menggelar lapak dagangannya di kiri – kanan trotoar, jalanan ini sudah digunakan untuk urusan berdagang ini bahkan sudah ada semenjak tahun 1830 yang lalu. Hanya saja saat itu, masih belum menggunakan ‘Malioboro’ sebagai nama jalan.

Kawasan yang pernah menjadi pusat perdagangan antara orang belanda dengan para pedagang yang berasal dari Tiong Hoa ini baru dikenal dengan nama Jalan Malioboro pada tahun 1980 lalu. Menurut salah seorang pedagang kaki lima yang saya jumpai saat itu, nama jalan ini berawal dari sebuah iklan rokok yang mengiklankan rokok Marlboro dan semenjak itulah nama jalan ini lebih terkenal dengan nama Jalan Malioboro seperti saat ini.

 

Ada Alunan Nada Malioboro

Jl. Malioboro Jogyakarta_Warkasa1919

 

Cerita tentang Ada Alunan Nada di Malioboro ini  mungkin saya tuliskan sebagai salah satu kerinduan saya akan keramahan dan kemeriahan suasana jalan yang bahkan sepertinya sudah menjadi salah satu dari sekian banyaknya ikon yang ada di Kota nya para Sultan ini.

Saat itu, berangkat dari rasa keingintahuan kami yang baru beberapa hari berada di Kota ini, akhirnya saya dan beberapa teman memutuskan untuk pergi menyusuri jalan ini di malam hari.

Pukul 19.30 WIB sesudah makan malam saya bersama dengan beberapa teman memesan Go-Car, dari lobi Hotel yang terletak di  Jl. Prof. Herman Yohanes, Kec. Gondokusuman, kami langsung menuju ke Jalan Malioboro.

Jujur saja saya dan beberapa teman yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda ini sudah tidak sabar rasanya ingin merasakan suasana keramaian jalan yang kami tau sempat beberapa kali diabadikan ke dalam beberapa lagu oleh para musisi ini.

Turun dari atas kendaraan, sambil sesekali tersenyum membalas senyum ramah kepada para pejalan kaki yang tersenyum ramah kepada kami, saya merasakan bahwa ada rasa kehangatan di sepanjang jalan yang di sepanjang kiri – kanan jalan banyak para pedagang makanan yang sebagian besar menggelar barang dagangannya secara lesehan ini.

Sambil terus berjalan, sesekali saya memperhatikan para pedagang warung-warung lesehan yang menjual makanan khas kota ini. Karena memang sebelum berangkat ke tempat ini kami sudah makan malam terlebih dahulu, maka kami memutuskan hanya memesan minuman hangat sambil duduk lesehan seperti para pejalan kaki lainnya yang juga tengah menikmati suasana keramaian dan keramahan para penjual makanan dan pengunjung di sepanjang Jalan Malioboro ini.

Semakin malam semakin ramai, itu kesan pertama yang saya lihat ketika berada di antara para pejalan kaki di yang juga tengah menikmati suasana malam di trotoar jalanan Malioboro ini. setelah istirahat sejenak sambil menikmati suasana keramaian yang ada di tempat ini, kami mendatangi dan melihat-lihat para seniman yang sedang mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain-lain yang ada di tempat ini.

Terdengar alunan musik yang berasal dari kerumunan beberapa orang di salah satu trotoar Jalan Malioboro ini, walau awalnya masih terasa begitu asing di telinga saya, tapi alunan nada-nada dari alat musik itu menarik perhatian kami untuk mendatangi sekelompok seniman yang tengah memainkan Alat musik multitonal (bernada ganda) yang terdengar begitu enak di telinga kami.

Membaur bersama para pengunjung lainnya saya ikut menikmati permaian musik para seniman yang tengah memainkan Alat musik yang dibuat dari bambu itu. Sambil memperhatikan para pemain musik yang tengah memainkan alat musik tradisional ini saya baru tau ternyata alunan nada-nada indah itu berasal dari beberapa susunan bambu yang dibunyikan dengan cara digoyangkan. Potongan bambu ini terbuat dari potongan-potongan bambu kuning yang dirangkai dengan rotan oleh tangan-tangan yang kreatif menghasilkan satu alat musik yang bernama Angklung. Perbaduan antara alat musik tradisional ini dengan alat musik sejenis Drum atau alat musik perkusi lainnya menghasilkan alunan nada yang membuat para pejalan kaki terhenti sejenak karena terpana oleh alunan nada yang terasa mengesankan.

Tak jauh dari tempat saya berdiri, beberapa anak muda yang sepertinya juga pengunjung seperti kami terlihat ikut meramaikan pertunjukan alat kesenian tradisional ini dengan cara ikut menari, mengikuti irama musik yang berasal dari batang-batang bambu yang tengah ditabuh dan dan sebagian digoyakan oleh para seniman yang tengah memainkan alat musik jenis Angklung ini.

Saya sempat mengabadikan permainan Angklung para seniman itu ke dalam rekaman Video yang saya rekam dengan menggunakan kamera handphone yang saya miliki. Mendengarkan suara rekaman alat tradisional ini entah kenapa saya seperti kembali merindukan suasana keramaian seperti itu lagi. Dan entah kapan saya bisa datang dan berkunjung ke tempat itu lagi, apalagi saat ini masih musim Pandemi. Ah! Semoga saja Pandemi ini tidak sampai membuat para seniman dan para pedagang makanan yang ada di tempat itu kehilangan rezeki.

 




 

 Kembali

Halaman
1

 © 2020-2023 - Warkasa1919. All rights reserved