Cerpen | Lelaki dari Masa Lalu
Konten Premium Warkasa1919
Akses Lifetime • Script Eksklusif • Tutorial Langka • Fiksi
Premium Lifetime Access dengan fitur rutin update.
Cara Pembayaranπ Per Artikel — Rp25.000 (Satu artikel)
Lelaki dari Masa Lalu
Berawal dari Medan, Sumatera Utara, 2 Mei 1998. Para mahasiswa berunjuk rasa. Ada sentimen anti-polisi. Ada kebencian di situ. Berbagai infrastruktur dan fasilitas aparat keamanan dirusak dan dihancurkan. Hingga pada 4 Mei 1998, sekelompok pemuda melakukan aksi pembakaran di beberapa titik di kota Medan. Sungguh anarkis.
Keadaan sesudah itu semakin mencekam. Di Jakarta, aksi demo krisis moneter para mahasiswa menelan empat korban jiwa. Dan siapa sangka, peristiwa tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti di bulan Mei 1998 itu menjadi pemicu amuk massa yang menuntut pengunduran diri Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Kamis, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri. Wakil Presiden, B.J. Habibie, melanjutkan roda pemerintahan menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia dengan membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan.
Aku pun teringat, 21 tahun lalu itu, terjadi penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mengakibatkan berbagai perusahaan meminjam dolar dan para pemberi pinjaman menarik kredit secara besar-besaran.
Waktu itu kamu bercerita, bahwa ayahmu saat itu bekerja di salah satu perusahaan swasta itu. Kontrak kerjanya tidak diperpanjang lagi. Perusahaan tempatnya bekerja mengalami masa-masa sulit sehingga pihak perusahaan memutuskan untuk merumahkan hampir semua karyawannya.
Sebagai anak yang paling tua dari empat orang bersaudara, kamu merasa turut bertanggung jawab untuk membantu meringankan beban ekonomi kedua orangtuamu. Saat itu, katamu, mereka tengah gundah memikirkan nasib pendidikan adik-adikmu.
Dengan berbekal Ijazah yang baru saja engkau terima, kamu mendatangi perusahaan demi perusahaan untuk melamar kerja. Akan tetapi, semua menjawab, "Tidak ada lowongan" Akhirnya, engkau memutuskan untuk ikut dengan temanmu yang saat itu sedang menjadi aktivis dadakan pasca Reformasi.
Di depan sana, saat pertama kali kita berjumpa, saat itu kamu katakan, bahwa kamu baru pertama kali ikut teman-temanmu meramaikan demo bayaran bersama mereka.
"21 tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi kamu masih ingat dengan semua cerita itu."
"Iya, aku ingat semuanya. Aku ingat saat pertama kali
bertemu denganmu di ujung jalan itu. Saat itu, di ujung jalan itu, aku menarik
tanganmu. Aku membantumu lari dari kejaran aparat yang tengah mengejarmu,"
kataku sambil menatap lelaki bermata teduh di depanku. Penampilannya jauh
berbeda dari yang kukenal pada 21 tahun yang lalu.
"Hmm, kamu masih cantik."
"Tidak persis seperti dulu," kataku berusaha
tenang sambil kembali menyeruput kopi yang sejurus terlupakan.
"Namun, aku masih tetap menyukaimu sama seperti dulu.
Tidak ada yang berubah sedikit pun dari rasa itu, walau sejak itu kita tidak
pernah lagi bertemu."
"Aku tidak seperti yang engkau kenal dulu,"
"Iya, aku tahu itu. Dulu kamu adalah cewek tomboy yang
kukenal selalu memakai celana jeans belel dengan kaos t-shirt
serta kamera yang tidak lepas dari tanganmu. Sekarang, ... Kamu baru pulang
dari pengajian, ya?"
"Aku bukan lagi cewek tomboy berusia 27 tahun yang
dulu sering jengkel pada anak ABG berusia 19 tahun yang kerap membuatku kesal.
"
"Kenapa?"
"Karena engkau tidak pernah mau menganggap aku sebagai
kakakmu."
"Hmm. Sampai sekarang kamu masih kesal?"
"Masih. Sampai sekarang aku masih ingat dengan jelas
saat aku pertama kali menamparmu dulu!"
"Ups. Kamu masih ingat dengan semua itu?"
"Iya. Sampai sekarang."
"Semuanya? Seperti aku yang tetap ingat dengan semua
kenangan di tempat ini bersamamu?"
"Iya. Saat itu di bawah rintik hujan kita berteduh di
pinggir jalan. Dan, malam itu, di depan toko itu engkau menciumku."
"Dan, kamu menamparku."
"Iya. Aku menampar adik yang nakal, yang tidak pernah
mau mendengar omonganku, dan selalu membuatku jengkel, karena terus mencuri
kesempatan untuk bisa menciumku."
"Kamu marah?"
"Mana ada perempuan yang tidak marah dicium paksa
seperti itu?"
"Lalu, mengapa saat itu kamu selalu mengajakku ikut
menemanimu?"
"Aku tidak tahu. Entah mengapa, saat itu aku
menyayangimu. Namun, itu sebatas rasa sayang seperti kakak menyayangi adik
laki-lakinya. Mungkin karena aku anak tunggal dan saat itu aku begitu ingin
memiliki adik laki-laki sepertimu."
"Aku juga menyayangimu, bahkan sampai saat ini, rasa
itu tidak berubah sedikit pun."
"Aku tidak lagi seperti yang engkau kenal dulu. Aku
sudah memiliki dua orang anak sekarang. Yang sulung sudah kuliah masuk semester
satu, sementara yang bungsu sudah masuk SLTP dua tahun yang lalu."
"Setelah sekian tahun berlalu, mengapa akhirnya kamu
bersedia bertemu denganku? Dan, mengapa harus di tempat ini?"
"Jujur saja, aku ingin tahu kabarmu. Adik nakal yang
dulu sering membuatku jengkel. Adik nakal yang bahkan sampai membuat aku
memutuskan pacarku hanya karena dia meminta aku memilih untuk meninggalkan dia
atau meninggalkan laki-laki itu."
"Dan, kamu memilih tetap bersamaku. Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Saat itu aku berpikir, kalau aku
lebih baik kehilangan pacarku daripada harus kehilanganmu."
"Kenapa?"
"Jangan tanya, kenapa. Sebab, sampai sekarang pun aku
masih belum bisa menjawab itu. Sama seperti saat ini dimana aku, akhirnya,
memutuskan untuk menemuimu di tempat ini."
"Mengapa kamu memutuskan untuk mengajakku bertemu di
tempat ini?"
"Aku tidak tahu. Yang aku tahu, di sini ... kita
pertama kali bertemu dulu."
"Kamu masih marah, karena aku tidak pernah memberi
kabar setelah kerusuhan waktu itu?"
"Iya. Aku benci pada orang yang sudah membuatku
menangis waktu itu. Aku begitu marah pada orang yang pergi menghilang begitu
saja tanpa pernah memberi kabar apa pun. Waktu itu, aku hampir gila. Aku terus
mencari dan mencari. Namun, kamu raib. Hilang seperti ditelan hantu. Sekian
tahun lamanya aku menunggu kabar tentangmu hingga akhirnya aku memutuskan
menikah dengan mantan pacarku yang kuputuskan dulu demi adik nakal yang tidak
pernah tahu bagaimana perasaanku kepadanya. Dan, setelah sekian lama
menghilang, tiba-tiba saja, entah dari mana dia bisa mendapatkan nomor handphone-ku,
lalu bilang ingin bertemu denganku."
"Kamu cantik. Dari dulu kamu selalu cantik di mataku.
Bahkan, sampai sekarang pun kamu tetap cantik."
"Pun setelah aku pernah menikah dan sekarang sudah
memiliki dua orang anak?"
"Iya. Hmm. Pernah?"
"Iya. Lelaki yang dulu pernah berantem denganmu itu
telah menikahiku beberapa tahun setelah engkau pergi menghilang begitu
saja."
"Terus?"
"Lima tahun setelah tiada kabar darimu, lelaki itu
datang melamarku."
"Terus?"
"Aku dan dia akhirnya menikah, karena orangtuaku tidak
tahan lama-lama mendengar anaknya sering disebut perawan tua. Mereka mendesak
aku agar mau menerima lamaran pria yang telah memberiku dua orang anak
itu."
"Terus?"
"Lima tahun yang lalu pula, sebelum engkau
menghubungiku, dia adalah salah satu korban dari penumpang yang tewas pada
kecelakaan pesawat yang menimpa maskapai AirAsia di perairan Laut Jawa."
"Aku turut berduka cita."
"Apakah engkau masih tetap menganggapku seperti dulu
setelah tahu, bahwa aku bukan lagi gadis tomboy yang engkau kenal dulu?"
"Sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Kamu tetap
cantik di mataku, bahkan sampai sekarang pun begitu. Dan juga, sampai sekarang
tidak ada seorang pun yang bisa merubah keputusanku dari dulu. Aku tetap tidak
ingin menjadi adikmu."
"Kenapa?"
"Karena, ... aku ingin menjadi suamimu."
"Pun setelah tahu, bahwa aku sudah memiliki dua orang
anak dari lelaki itu?"
"Iya, tidak sedikit pun yang berkurang dari rasa
sayangku padamu. Persis sama seperti dulu. Lagi pula, sama seperti dirimu,
waktu juga telah mengubahku. Sekarang aku juga bukan adik yang nakal seperti
yang pernah kamu kenal dulu."
"Hmm ..."
"Akan tetapi, aku masih punya pertanyaan
untukmu."
"Apa itu?"
"Mengapa kamu memaksa untuk bertemu denganku di tempat
ini?"
"Iya, aku ingin di sini. Di awal pertemuanku denganmu
lagi setelah sekian lamanya, aku mau kita bertemu di tempat di mana dahulu aku
pertama kali mengenalmu."
"Ya. Di sini, di tempat ini kita pertama kali bertemu.
Di sini pula aku mengenalmu. Namun, setelah itu aku pergi meninggalkanmu."
"Maksudnya?"
Door! Door!
Darah segar menyembur dari dada lelaki berwajah teduh yang
tengah duduk tepat di depanku. Bibirnya masih tersenyum, matanya masih menatap
teduh ke arahku. Aku terpaku, sebelum akhirnya aku menjerit!
Laki-laki yang begitu kukasihi itu jatuh tersungkur dengan
dua luka tembakan di dadanya. Setengah tidak percaya, aku peluk erat tubuh
lelaki yang usianya delapan tahun di bawahku itu. Tubuh itu bersimbah darah.
"Tidak!" kataku tak percaya. Lelehan darah masih
terus keluar dari mulut, hidung, dan juga telinganya.
"Aku menyayangimu ... sampai kapan pun ... aku tidak
akan pernah mau ... menjadi adikmu, sebab ... aku ingin menjadi suamimu."
"Jangan..... Jangan tinggalkan aku! Aku mencintaimu!
Aku mencintaimu....," rintihku sambil terus mengguncang-guncang tubuh
lelaki dalam pelukanku itu. Kucium bibirnya, darah segar masih terus keluar
dari mulut dan dari hidungnya.
Aku meraung keras. Terus kupeluk erat tubuhnya. Bak
kesetanan aku masih terus menciumi bibirnya, bibir yang tidak pernah tahu,
betapa aku sangat mencintainya.
Perlahan pandangan mataku menjadi gelap sebelum akhirnya
aku tidak sadarkan diri saat beberapa orang lelaki yang tadi kulihat memakai
seragam Pasukan Khusus berlambang burung hantu dengan seragam hitam, dan selalu
memanggul senapan serbu di dalam setiap aksinya itu menarik tubuhku. Berusaha
memisahkan pelukan eratku di tubuh lelaki yang 21 tahun lalu pernah memeluk
erat tubuhku di tempat ini dulu.
Masukkan password untuk melanjutkan.






.jpg)