Di kota yang terletak di sungai Seine, tepatnya di utara Prancis, Segara kembali terdiam, bayangan wajah Flora dan kenangan masa lalunya seperti datang silih berganti di kedua pelupuk matanya. Pun ketika Ia sedang menunaikan Shalat Ashar berjamaah, bayangan darah segar yang muncrat dari urat leher milik ayahnya itu masih terlihat jelas di matanya.
Masih terlihat jelas saat kapak di tangan Craen Mark menetak dan menebas leher ayahnya hingga darah segar milik ayahnya itu mengalir di lantai flat dan menyentuh ujung jemari kakinya.
Dua puluh tahun silam, Craen Mark—sahabat ayahnya—tersenyum puas, sebelum akhirnya terbahak-bahak sambil menatap ke arahnya.
Bagian ini terkunci. Masukkan password untuk membaca selengkapnya.
Cinta, Darah dan Air Mata
Di antara hembusan angin yang
bertiup kencang, Lelaki tampan yang memiliki berat badan 68 kg, dan tinggi
badan 178 cm itu berjalan pelan, meninggalkan La Grande Mosquee de Paris.
Sosok lelaki muda yang tampak
proporsional dan atletis itu terus berjalan, meninggalkan masjid yang pernah
menjadi tempat berlindung para pejuang perlawanan, serta keluarga dan anak-anak
Yahudi dari kejaran kematian yang ditebar oleh Hitler pada 1940–1944 silam.
Di bawah langit yang menghitam,
di antara keramaian kota Paris, Segara terdiam, teringat pada Flora dan juga
semua kenangan buruk di masa lalunya—masa yang begitu
ingin ia hapus dari dalam ingatannya.
"Ternyata aku salah!"
Rutuknya.
Sebelum membasuh mukanya dengan
air wudhu di masjid tertua dan terbesar di Paris, Perancis, tadi Ia sempat
berpikir: mungkin air wudhu yang Ia basuhkan ke mukanya itu akan mampu
memadamkan api dendam yang sudah sekian lama membakar hati dan pikirannya.
Di kota yang terletak di sungai
Seine, tepatnya di utara Prancis, Segara kembali terdiam, bayangan wajah Flora
dan kenangan masa lalunya seperti datang silih berganti di kedua pelupuk
matanya. Pun ketika Ia sedang menunaikan Shalat Ashar berjamaah, bayangan darah
segar yang muncrat dari urat leher milik ayahnya itu masih terlihat jelas di
matanya.
Masih terlihat jelas saat kapak
di tangan Craen Mark menetak dan menebas leher ayahnya hingga darah segar milik
ayahnya itu mengalir di lantai flat dan menyentuh ujung jemari kakinya.
Dua puluh tahun silam, Craen
Mark—sahabat ayahnya—tersenyum puas, sebelum akhirnya terbahak-bahak sambil
menatap ke arahnya.
Dalam perih tak tertahankan
Segara ingat, saat itu dengan mata kepalanya sendiri dia melihat lelaki yang
dia panggil “Ayah” itu meregang nyawa di tangan orang yang katanya pernah
menjadi sahabat karib ayahnya.
Sekian puluh tahun sudah
berlalu, tetapi bayang-bayang kejadian di masa lalunya itu bagaikan setan yang
selalu hadir di dalam mimpi-mimpi buruknya.
Segara kecil belum tau apa yang
sebenarnya tengah terjadi, hingga nalurinya selalu berkata untuk mencari tau
siapa sebenarnya lelaki yang telah membunuh ayahnya itu.
Segara baru mengetahui, pangkal
bala dari semua yang terjadi di sebuah flat di sudut tenggara Nikolaiviertel
itu dari Mapparoba Kala, ayah dari Karmila Aurora yang tak lain adalah ibu dari
Flora Aurora Bunga. Wanita cantik berusia 30 tahun yang pernah menyabet
Piala Citra sebagai Aktris Pendukung Terbaik dalam film “Aku Kesepian
Sayang."
Saat itu, dari mulut Mapparoba
Kala akhirnya Segara mengetahui, dendam kesumat Craen Mark kepada ayahnya
berawal dari penolakan Mapparoba Kala kepada Craen Mark yang memiliki nama asli
Karaeng Marradia.
Menurut Mapparoba Kala, saat itu
Ia lebih memilih Bayu Segara yang tak lain adalah sahabat Craen Mark ketika
masih sama-sama tinggal dan bekerja di Jakarta.
Setelah menikah, Bayu Segara dan
Karmila Aurora yang mengetahui bahwa Karaeng Marradia tidak bisa menerima
hubungan mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia, mereka pindah ke
sebuah kota yang terletak di dekat pantai timur sungai Spree, Berlin.
Di sudut kota Paris, Perancis.
Segara terdiam, sambil sesekali menghembuskan asap rokok dari dalam mulutnya
secara perlahan, Segara berusaha menyingkirkan bayang-bayang masa lalunya yang
datang silih berganti di pelupuk matanya.
Di antara api dendam yang kian
membara, sesekali bayangan wajah wanita cantik kelahiran Berlin, Jerman itu
hadir di kedua matanya. Ada dendam, cinta, darah dan air mata di sana.
Masih jelas dalam ingatannya,
ketika wanita cantik itu menanggalkan bra dan celana dalamnya, saat itu Flora
mendekati dirinya yang masih saja terpesona dengan lekuk tubuh wanita cantik
yang selalu mampu membangkitkan gairahnya.
Segara dapat mengingatnya dengan
begitu jelas, setelah saling panggut, seperti biasa, Ia biarkan Jari jemari
Flora yang awalnya dengan lembut membelai kejantanannya itu akhirnya akan
mengusap pelan batang kejantanannya dengan ujung lidahnya.
Tanpa sadar, sesaat Segara
melenguh sendiri, membayangkan kenikmatan yang pernah Ia nikmati bersama Flora,
saat wanita cantik itu dengan rakusnya memasukan batang kemaluannya itu ke
dalam mulutnya yang terlihat begitu kecil dimatanya.
Dan masih seperti biasa, Segara
tak mau kalah, dengan penuh nafsu dia dorong tubuh Flora ke atas ranjang,
setelah mengulum puting payudara Flora dengan bibirnya hingga Flora
meringis kegelian, biasanya dia akan terus mengusap seluruh tubuh Flora dengan
ujung lidahnya, terus hingga kebagian kemaluannya.
Masih terlihat jelas di kedua
pelupuk matanya, saat Flora menjerit kenikmatan, ketika bibirnya itu melumat
bibir kemaluan Flora.
Flora yang terus merintih dengan
suara serak sedikit tersengal itu merengek agar dia segera menghujamkan
kejantanan miliknya ke wilayah intimnya.
Hingga tak lama setelah mereka
mencapai klimaks, sesaat setelah Flora meraung kenikmatan. Dendam membara yang
hampir saja Ia lupakan selama bersama Flora itu kembali membakar hati dan
pikirannya.
Mata Segara siaga bagaikan
seekor Singa melihat binatang buruannya. Sesaat setelah telepon genggam milik
Flora menyala, tubuhnya bergetar hebat.
Wajah lelaki yang sekilas sempat
dia lihat di dalam layar telepon genggam milik Flora itu tidak asing lagi
buatnya.
Dia ayah Flora!
Ya Tuhan, apa yang sebenarnya
sudah terjadi di dalam hidupku ini? Runtuk Segara sambil menutup mukanya yang
mendadak kusut itu dengan kedua telapak tangannya.
Jadi, Flora Aurora
Bunga ini adalah anaknya Craen Mark? Lelaki keparat yang sudah membuatnya
tumbuh besar dengan dendam membara seperti saat ini. Sekian lama dia
mempelajari jurus pencak Makassar, pencak Jawa, Sunda, Betawi, Batak, dan Dayak
dengan satu tujuan, yaitu untuk menghabisi nyawa lelaki itu.
Masih jelas dikedua pelupuk
matanya, sesaat sebelum Craen Mark membunuh ayahnya, saat itu, Ia Bersama
ibunya, wanita cantik blasteran Paris–Makasar itu sedang menyiapkan makan malam
sambil menunggu kedatangan ayahnya pulang dari tempatnya bekerja.
Sesaat setelah Ia mendengarkan
bel pintu rumahnya berbunyi, tak lama Ia melihat Ibunya berlari ketakutan masuk
ke dalam rumah sambil menjauhi pintu depan rumahnya yang sudah terlanjur
terbuka. Dan adegan selanjutnya adalah dia melihat ibunya tengah berlari masuk
kedalam kamar, dikejar oleh seorang lelaki yang belum pernah Ia temui
sebelumnya, selama dia Bersama ayah dan ibunya itu tinggal di Berlin, Jerman
ini.
Lalu, di depan matanya Ia
melihat bagaimana monster itu merobek paksa pakaian dalam yang dikenakan oleh
ibunya, saat itu dirinya masih terlalu kecil untuk menolong ibunya yang
sepertinya begitu ketakutan dan kesakitan saat monster itu menindih paksa tubuh
ibunya, ibunya terus merintih dan menjerit, berusaha mencegah kemaluan
lelaki tegap berkulit sawo matang itu menghujam paksa areal kewanitaannya.
Segara kecil tergugu, ia tidak
mengerti dan tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong ibunya. Monster
itu tadi sempat memukulnya, hingga ia terlontar ke sudut kamar, dalam rasa
sakit akibat benturan ke dinding dan lantai kamar, Segara kecil menyaksikan
semuanya tanpa mampu berbuat apa-apa.
Segara kecil terduduk di sudut
kamar, Ia tergugu. Ia mematung tanpa sempat menutup kedua mata dengan
tangannya. Ia terus begitu hingga Craen Mark selesai memperkosa ibunya.
Bayu Segara, ayahnya yang
baru datang melihat anaknya terdiam di sudut kamar dan menjumpai istrinya
tengah menangis, tersedu di pinggir ranjang dengan pakaian acak-acakan.
Dan selanjutnya waktu berlalu
begitu cepat, pertarungan hebat terjadi dan setelahnya, Craen Mark, dengan
kapak algojo yang di curinya dari Museum Märkisches berhasil menetak dan
menebas leher ayahnya.
Segara kecil baru meraung dan
hanya mampu meninju pilar, berkali-kali, hingga kepalannya berdarah saat lelaki
keparat pembunuh ayahnya itu pergi, meninggalkan dirinya disudut kamar bersama
kapak yang sudah dia pakai untuk membunuh ayahnya.
Lelaki keparat itu pergi
meninggalkan genangan darah di lantai dan bekas lelehan darah di sudut bibirnya
sambil menyeret paksa ibunya.
Setelah sekian lamanya dia
kehilangan jejak dan berusaha mencaritau dimana keberadaan lelaki yang sudah
membunuh ayah dan pemerkosa ibunya, saat ini wajah jahanam itu muncul di dalam
layar ponsel milik Flora, wanita yang baru saja memberinya kenikmatan.
Di trotoar jalanan kota Paris,
di antara hembusan angin yang bertiup kencang, tanpa sadar, jemari Segara
meremas gelas minuman yang tengah di genggamnya hingga pecah dan melukai
tangannya sendiri, darah segar masih mengalir di sela-sela jari jemarinya saat
telepon genggam miliknya berbunyi.
Di ujung telepon, suara berat
yang khas milik Kylian terdengar, Segara tersenyum dingin mendapatkan kabar
dari Kylian. Kylian yang sudah berpengalaman di medan perang untuk memenuhi
panggilan jihad seperti di Afghanistan dan saat ini lebih memilih
hidup sebagai seorang Eropa itu baru saja memberi kabar bahwa Craen Mark sudah
berada di tangannya.
Maafkan aku Flora…
Aku kemari bukan
hanya untuk menemuimu, tapi juga untuk menemui pembunuh ayah dan
pemerkosa ibuku yang juga adalah ibumu.
Catatan: Cerita
ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan nama, tempat dan lain sebagainya itu
hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.