Tahun dalam Penanggalan Jawa

Tahun dalam Penanggalan Jawa
Tahun dalam Penanggalan Jawa
Tahun dalam penanggalan Jawa - Satu tahun dalam kalender Jawa memiliki umur 354 3/8 hari,
oleh karena itu terdapat siklus delapan tahun yang biasanya disebut dengan
windu. Adapun dalam satu windu terdapat delapan tahun yang masing-masing
memiliki nama tersendiri, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan
Jimakir. Tahun Ehe, Dal, dan Jimakir memiliki umur 355 hari dan dikenal sebagai
tahun panjang (Taun Wuntu), sedangkan sisanya yang 354 hari dikenal sebagai
tahun pendek (Taun Wastu). Pada tahun panjang tersebut, bulan Besar sebagai
bulan terakhir memiliki umur 30 hari.
Selain siklus yang terdapat delapan tahun, terdapat juga siklus
empat windu yang berumur 32 tahun, yaitu nama hari, pasaran, tanggal, dan bulan
akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi
nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi. Tiap windu tersebut memiliki lambang
sendiri, yaitu Kulawu dan Langkir. Masing-masing lambang berumur delapan tahun,
sehingga siklus total dari lambang berumur 16 tahun.
Walau demikian, sebenarnya masih ada perbedaan perhitungan
antara tahun Jawa dan tahun Hijriah. Jadi dalam perhitungan ini maka setiap 120
tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari dalam kedua sistem penanggalan
tersebut. Inilah yang membuat pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu
hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup.
Sampai awal abad 21, telah terdapat empat khurup, yaitu
Khurup Jumuwah Legi/Amahgi (1555 J–1627 J/1633 M–1703 M), Khurup Kemis
Kliwon/Amiswon (1627 J–1747 J/1703 M–1819 M), Khurup Rebo Wage/Aboge (1867
J–1987 J/1819 M–1963 M), dan Khurup Selasa Pon/Asapon (1867 J–1987 J/1936
M–2053 M).
Nama khurup yang berlangsung mengacu kepada jatuhnya hari
pada 1 bulan Sura tahun Alip. Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun
Alip akan selalu jatuh hari Selasa Pon selama kurun waktu 120 tahun.
Wuku dan Neptu
Di dalam penanggalan Jawa, dikenal pula periode waktu yang
dianggap menentukan watak dari anak yang dilahirkan, seperti halnya astrologi
yang terkait dengan kalender Masehi. Periode ini disebut Wuku dan ilmu
perhitungannya disebut sebagai Pawukon. Terdapat 30 Wuku yang masing-masing
memiliki umur 7 hari, sehingga satu siklus Wuku memiliki umur 210 hari yang
disebut Dapur Wuku.
Selain Wuku, terdapat juga Neptu yang digunakan untuk
melihat nilai dari suatu hari. Ada dua macam Neptu, yaitu Neptu Dina dan Neptu
Pasaran. Neptu Dina adalah angka yang digunakan untuk menandai nilai hari-hari
dalam saptawara, sedangkan Neptu Pasaran digunakan untuk menandai nilai
hari-hari dalam pancawara. Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik
buruknya hari terkait kegiatan tertentu dan perwatakan seseorang yang lahir
pada hari tersebut.
Kalender Sultan Agungan yang dimulai pada Jumat Legi tanggal
1 Sura tahun Alip 1555 J, atau 1 Muharram 1043 H, atau 8 Juli 1633. Peristiwa
ini terdapat pada Windu Kuntara Lambang Kulawu dan ditandai dengan candra
sengkala yang berbunyi Jemparingen Buta Galak Iku (panahlah raksasa buas itu).
Sejak saat itu, Kesultanan Mataram dan penerusnya mampu
menyelenggarakan perayaan-perayaan adat seirama dengan hari-hari besar Islam.
Upacara-upacara tradisi seperti Garebeg tidak menjadi halangan bagi
perkembangan Islam, tetapi malah dimanfaatkan sebagai syiar agama itu sendiri.
Sistem penanggalan baru ini merupakan upaya seorang pemimpin
yang berpandangan jauh ke depan untuk menggabungan dua arus peradaban pada masa
itu, sebuah rekonsilasi antara gelombang kebudayaan Islam dengan peradaban pra
Islam. Peradaban baru yang kini dikenal sebagai Mataram Islam.