Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tanggal Sembilan Bulan Sembilan (3)

 

 

 ***Bagian Tiga**

Di antara bintang kulihat cahaya bulan bersinar terang. Indah sekali, mengingatkanku pada seorang wanita yang tiga tahun lalu pernah berbisik di telingaku, "Jika suatu saat engkau merindukanku, lihatlah! Di balik cahaya bulan itu ada wajahku. Wajah yang akan selalu tersenyum mengiringi setiap langkahmu."

"Kenapa berkata begitu? Memang engkau mau pergi kemana?" tanyaku masih bingung sambil menatapnya.

"Bunda tidak bisa memberitahukannya, tapi demi kebaikan Ayah dan juga demi kebaikan Bunda, ada baiknya kita tidak usah bertemu dulu di tempat ini seperti biasa," katanya lagi sambil menatap mataku berharap pengertianku saat itu.

"Izinkan aku mengantarmu kali ini. Pertemukan aku dengan lelaki itu. Aku akan meminta baik-baik padanya untuk melepaskanmu menikah denganku," kataku serius sambil menatap kedua  bola matanya.

"Tidak! Bunda kuatir dia akan menyakiti Ayah. Biarlah Bunda yang akan meminta dia untuk melepaskan Bunda. Bunda akan lakukan apa pun yang dia minta agar dia mengizinkan Bunda bisa hidup bersama Ayah. Akan tetapi, Ayah harus janji pada Bunda, jangan pernah mengikuti apalagi mencari tahu di mana Bunda berada. Nanti bunda yang akan menghubungi Ayah dan kita bertemu lagi di tempat ini seperti biasa," katanya serius sambil menatap kedua mataku dalam-dalam.

Aku berdiri tegak di antara benar dan salah. Kutatap temaram lampu trotoar jalanan ibu kota. "Berjanjilah," pintanya sekali lagi sambil mengecup pelan bibirku.

Hatiku beriak, naluriku berontak. Akal sehatku tidak terima melihat penderitaan wanita yang kukasihi ini berlangsung  lama.

"Berjanjilah! jika memang Ayah sayang Bunda, berjanjilah pada Bunda, Ayah tidak akan pernah menyusul dan mencari tahu keberadaan Bunda di kota ini." 


Tiga tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang sama dengan malam ini. Dia memintaku untuk datang menemui orang tuanya di kampung halamannya. Aku ingat, malam itu sebelum berpisah denganku, di tempat ini, dia memberikan secarik kertas yang berisi alamat rumahnya, seraya berpesan padaku, "Jika memang Ayah serius ingin menikahi Bunda, Bunda tunggu tanggal sembilan bulan sembilan di kampung halaman Bunda. Bunda sudah kangen pada bapak, emak, dan adek Bunda di kampung sana, nanti kita ketemu dan memulai hidup baru dari sana."




Saat itu, di bawah temaram lampu jalanan ibu kota, kutatap kepergian gadis cantik berambut panjang sebahu yang terus berjalan meninggalkanku. Kutatap punggung gadis cantik yang perlahan mulai menghilang di antara keramaian kota.

Kutatap kepergian gadis cantik yang kukenal dengan segala keterbatasannya mencoba untuk terus bertahan dari semua rasa sakit yang menderanya. Rasa sakit yang teramat pedih dikhianati oleh orang yang dia percaya sebelumnya atas nama cinta.

Tiga tahun sudah berlalu, tapi masih terasa seperti baru kemarin aku di sini bersamanya. Gadis cantik rambut panjang sebahu yang di awal mula perkenalanku dengannya itu tanpa sengaja kujumpai tengah menangis sesegukan di tempat ini.

Kutatap trotoar jalanan, tempat di mana gadis cantik rambut panjang sebahu itu dulu sering duduk di atasnya. Kutatap trotoar tempat pertama kali aku mengenalnya. Hingga hari demi hari kami selalu janjian bertemu dan berbincang di tempat ini.

Dari awal hingga akhir petemuanku dengannya tidak sekali pun dia mau aku mengantarkannya pulang ke tempat kediamannya.

Sambil membakar sebatang rokok di tanganku, kuhisap dalam-dalam, lalu kuhembuskan asapnya pelan-pelan. Kutatap bulan purnama yang perlahan mulai menghilang tertutupi awan hitam. Mendung datang, pertanda sebentar lagi akan hujan.

Di antara derasnya air hujan, perlahan kutinggalkan pisau belati yang masih berlumuran darah di pinggir trotoar jalanan. Di antara keremangan lampu jalanan, aku terus berjalan meninggalkan trotoar penuh kenangan di pinggir jalanan  kota impian.

Selamat malam, Dunia. Selamat malam, Bunda. Aku tahu saat ini engkau sedang menangis pilu menatap kehitamanku. Maafkan aku. Rasa cintaku padamu telah menghitamkan hati dan pikiranku. Jika yang aku lakukan ini adalah perbuatan dosa, biarlah dosa ini menjadi tanggung jawabku sendiri kelak di hadapan-Nya.

Aku telah memberlakukan Qisas pada mereka yang membunuhmu. Hari ini, tanggal Sembilan bulan Sembilan, di trotoar jalanan, di tempatku dulu pernah berdiri sambil memelukmu yang sedang menangis pilu, pisau belati di trotoar itu menjadi saksi betapa tangismu dulu mampu membuat bibir ini tersenyum melihat Badri yang dulu begitu buas terhadapmu, malam tadi, menangis dengan meratap dan memohon ampun sambil menyebut namamu sebelum ujung belatiku ini pelan-pelan menyayat dan memutuskan urat leher mereka satu persatu.

Tanggal sembilan bulan sembilan, karena cinta, hitamku menuntun langkah kakiku menuju ke tempat di mana dahulu engkau selalu melarangku untuk datang menemuimu.

Satu persatu, malam tadi, orang-orang yang dahulu melampiaskan nafsu binatangnya padamu hingga engkau meninggal karena kelelahan dan juga overdosis obat terlarang telah mengakui, bahwa engkau meninggal dunia karena eksploitasi seks mereka kepadamu secara berlebihan. Dan, malam itu, karena engkau sudah tidak sanggup melayani nafsu binatang mereka, Badri, suami yang tidak pernah menikahimu secara sah itu, kembali mencekokimu dengan obat terlarang hingga akhirnya engkau meregang nyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Sekarang engkau sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu dulu, pertanyaan yang tidak pernah kujawab hingga akhir pertemuanku denganmu di trotoar jalan itu.

Cinta pada sesama makluk hanyalah fatamorgana. Manusia-manusia seperti Badri menutupi nafsunya dengan kata-kata cinta.

Nafsu yang dibungkus cinta hanya akan melahirkan penderitaan, sedangkan hakekat cinta yang sesungguhnya adalah rasa cinta pada Sang Pencipta. Karena, mencintai-Nya adalah keabadian.

Selesai


Catatan : Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bulan Sembilan Tanggal Sembilan".

Halaman
123All

Mau donasi lewat mana?

Paypal
Bank BNI - An.warkasa / Rek - 0223432494
Traktir creator minum kopi dengan cara memberi sedikit donasi. klik icon panah di atas