Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tanggal Sembilan Bulan Sembilan (All)

Ruang Berbagi dan Informasi

 



 

Novel |Tanggal Sembilan Bulan Sembilan [Premium]

**Bagian Satu**

Telah setahun lamanya tiada kabar berita tentangmu semenjak pertemuan terakhir kita di malam itu.

Jujur saja aku rindu mendengar suara sendu dan juga tawa manjamu. Dengan sisa tenaga dan harapan yang tersisa, kucoba tunaikan janjiku padamu untuk menjumpaimu di tanah kelahiranmu. Berbekal keyakinan dan rasa cintaku padamu, kudatangi alamat rumah yang engkau berikan padaku.

Sesuai permintaanmu setahun yang lalu dan sesuai janjiku padamu, hari ini, tepat di tanggal sembilan bulan sembilan, aku menjumpai kedua orang tuamu di kampung halamanmu.

Di kaki bukit, di sebuah desa terpencil, di tengah hamparan persawahan yang padinya tengah menguning, di atas bale-bale bambu halaman rumah yang sederhana, aku disambut hangat oleh orang-orang yang mengaku sebagai ayah, ibu, dan adikmu.

Siang menjelang sore, langit terlihat begitu cerah. Setelah meneguk kopi yang disuguhkan oleh ibumu, di hadapan ayah, ibu, dan adikmu, dengan segenap keberanian, kuutarakan niat dan tujuanku datang ke kampung halamanmu.

Di antara semilir angin yang meniup rumpun padi di sawah sempat kutatap wajah ibumu, seorang wanita yang usianya yang sudah terbilang tua, tetapi aku masih menemukan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Wajahnya persis seperti wajahmu yang terlihat begitu cantik alami di mataku saat terakhir kali kita bertemu di bawah sinar bulan purnama setahun yang lalu.

Wanita tua yang wajahnya begitu mirip dengan wajahmu itu sedikit terkejut menatap ke arahku saat kuutarakan niatku untuk melamarmu. Kulihat matanya berkaca-kaca. Sebelum aku sempat menanyakan keberadaanmu pada wanita yang biasa engkau panggil "emak" itu, sambil menahan tangisnya, wanita tua itu bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan aku, adik, dan ayahmu di bale-bale bambu di teras depan rumahmu.

****

Di pusaramu. Di temani adikmu, aku dibawa ke pusara, rumah peristirahatanmu yang terakhir. Kubaca nama yang tertulis di batu nisan itu. Ada namamu tertera di situ.

Dulu engkau pernah bertanya padaku, "Ayah, ajarkan aku arti cinta yang sesungguhnya," dan waktu itu, aku menjawab sekenaku, "Aku tidak bisa mengajarimu arti cinta yang sesungguhnya, karena aku pun sama sepertimu. Aku buta tentang arti cinta itu sendiri. Namun, sebelum engkau mencintaiku, mari kita sama-sama belajar mencintai Tuhan yang menciptakan engkau dan aku. Karena aku tidak ingin menjadi "berhala" bagimu. Aku tidak mau rasa cinta antara makhluk ciptaan itu menjadi dinding penghalang di antara aku dan Tuhanku. Yuk, kita sama-sama belajar mencintai-Nya melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Karena aku tahu, Dia Maha Pencemburu. Dia tidak akan pernah mengizinkanku untuk mencintai makhluk ciptaannya melebihi cintaku pada-Nya."

Di bawah siraman cahaya bulan, waktu itu engkau kembali bertanya, "Ayah, apakah buat orang-orang sepertiku, Tuhan masih mau mendengar dan mengabulkan permintaanku?"

Spontan aku menjawab, "Tentu saja, Dia akan selalu ada untuk hamba-Nya, hamba yang selalu ingat dan setiap saat selalu rindu ingin menyebut nama-Nya."

Perlahan gerimis mulai turun membasahi sekujur tubuhku, makam, dan juga bunga mawar yang baru saja kutabur di pusaramu.

"Ayah sayang Bunda. Tidurlah yang lelap. Semoga engkau mimpi indah di dalam tidur panjangmu."

**Bagian Dua**

Angin bertiup kencang, mendung datang. Di antara dedaunan yang mulai berguguran, dari trotoar jalanan, kutatap awan hitam yang mulai menutupi cahaya bulan. Aku tahu, begitu berat rasanya bagimu saat itu untuk bercerita tentang semua kehidupan pribadimu. Aku tahu, engkau wanita hebat. Kepasrahanmulah yang akhirnya berhasil memenangkan pertempuran yang saat itu tengah berlangsung di dalam kebimbangan hatimu.

Jauh di dalam relung hatimu yang paling dalam, aku bisa merasakan ketakutanmu yang membuatmu tidak pernah mau memberikan alamat rumah dan nomor ponselmu padaku. Namun malam itu, kulihat engkau begitu pasrah untuk siap dengan semua keputusanku setelah mendengarkan semua cerita tentang hal-hal yang selama ini menjadi momok yang begitu menakutkan bagimu. Sambil menghela nafas, di antara desiran angin malam, perlahan engkau mulai bercerita.

Novel |Tanggal Sembilan Bulan Sembilan [Premium]

Dulu, cerita tentang gemerlapnya ibu kota membulatkan tekadmu meninggalkan kampung halamanmu. Di iringi tangis teman-teman sepengajianmu, engkau lambaikan tanganmu pada kedua orangtuamu dan juga teman-temanmu yang mengantarmu sampai di batas antardusun di bawah kaki bukit.

Dengan hati riang engkau tinggalkan kampung halamanmu. Saat itu, engkau begitu berharap pada lelaki yang berkata bahwa dia begitu mencintaimu dan mengajakmu pergi merantau ke kota meninggalkan kampung halamannya yang juga adalah kampung halamanmu. Lelaki, yang baru kembali dari ibu kota itu dan sudah menjadi pacarmu, mengajakmu turut serta ke ibu kota demi mewujudkan mimpi-mimpi indahmu.

Dusunmu saat itu masih terlalu sepi bagi anak gadis cantik secantik kamu yang memiliki banyak keinginan dan baru beranjak dewasa sepertimu. Tontonan sinetron di layar televisi sepulang mengaji semakin melambungkan angan-anganmu tentang keindahan hidup di ibu kota. Jauh di lubuk hatimu, begitu ingin hatimu memiliki kehidupan seperti kehidupan gadis-gadis cantik yang sering engkau lihat di layar televisi milik Pak Juki, satu-satunya orang yang memiliki televisi di kampung halamanmu dulu.

Sebagai gadis dusun yang saat itu masih berusia 17 tahun, semua cerita tentang keindahan dan kebahagiaan hidup di ibu kota jauh lebih menarik hatimu daripada semua cerita tentang surga dan neraka yang sering di ceritakan oleh Pak Uban seusai mengaji. Pak Uban adalah orang tua yang selama ini menjadi guru mengaji di dusun terpencil di bawah kaki bukit tempatmu tinggal bersama ayah, ibu, dan adikmu.

Sambil menyeka air mata, engkau kembali bercerita. Lelaki sopan, yang dulu membawamu pergi ke ibu kota dengan janji akan mewujudkan semua mimpi-mimpimu, telah menodaimu di malam pertama engkau menginjakkan kaki di kota impianmu itu.

Semua cerita tentang keindahan dan kebahagian hidup di kota makin lama makin kabur dari pandangan matamu seiring berjalannya waktu bersama lelaki muda yang saat itu telah menjadi suamimu tanpa pernah menikahimu terlebih dahulu.

Lelaki yang di awal perkenalannya denganmu terlihat begitu sopan dan baik di matamu ternyata adalah serigala berbulu domba yang sengaja hendak memanfaatkan kecantikan dan kemolekan tubuhmu.

Di gemerlap malam ibu kota, di antara lolongan serigala jantan, di antara suara rintihan yang semakin lama semakin terdengar sumbang, engkau mencoba berontak dari keadaan. Engkau berteriak. Engkau meronta semampu engkau bisa. Namun, engkau terlalu lemah menghadapi serigala berwujud lelaki muda yang setelah puas menikmati kemolekan tubuhmu pun menawarkan tubuh indahmu pada kawanan serigala-serigala lapar yang saat itu begitu menginginkanmu.

Engkau hanya mampu merintih ketika tubuh indahmu jadi rebutan para serigala yang sering kali menjadikanmu bagian dari permaianan mereka bersama suami yang tidak pernah menikahimu secara sah itu. Bagi mereka, engkau hanyalah piala bergilir yang lebih asyik dijadikan rebutan di akhir permainan mereka.

"Ayah". Begitu engkau sering memanggilku dan engkau ingin aku memanggilmu dengan "Bunda". Pernah kubertanya, "Kenapa engkau panggil aku dengan sebutan itu? Bukankah kita belum menikah dan belum menjadi pasangan suami istri yang sah?"

Sambil tersenyum, kala itu engkau hanya menjawab, "Aku ingin merasa kita saling memiliki antara satu dengan yang lainnya. Tubuh ini boleh menjadi milik mereka, tapi rasa dan cinta ini adalah milikmu seutuhnya."

"Jika itu dapat membuat hatimu lebih tenang dan bisa membuatmu kembali tersenyum, engkau boleh memanggilku dengan sebutan itu," kataku pelan sambil tersenyum menatapnya.

Ketika itu engkau kembali berkata, "Ayah, aku menyayangimu dan mencintaimu melebihi apa pun yang ada di dunia ini."

Begitu ingin kukatakan padamu saat itu, bahwa bukan kata-kata itu yang kuharapkan meluncur dari bibirmu. Namun, entah kenapa, mulutku seperti terkunci.

Engkau kembali berkata, "Ayah, ajari aku tentang arti cinta yang sesungguhnya. Dan, bolehkah aku mencintaimu?" Lagi-lagi aku hanya mampu diam tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun.


**Bagian Tiga**

Di antara bintang kulihat cahaya bulan bersinar terang. Indah sekali, mengingatkanku pada seorang wanita yang tiga tahun lalu pernah berbisik di telingaku, "Jika suatu saat engkau merindukanku, lihatlah! Di balik cahaya bulan itu ada wajahku. Wajah yang akan selalu tersenyum mengiringi setiap langkahmu."

"Kenapa berkata begitu? Memang engkau mau pergi kemana?" tanyaku masih bingung sambil menatapnya.

"Bunda tidak bisa memberitahukannya, tapi demi kebaikan Ayah dan juga demi kebaikan Bunda, ada baiknya kita tidak usah bertemu dulu di tempat ini seperti biasa," katanya lagi sambil menatap mataku berharap pengertianku saat itu.

"Izinkan aku mengantarmu kali ini. Pertemukan aku dengan lelaki itu. Aku akan meminta baik-baik padanya untuk melepaskanmu menikah denganku," kataku serius sambil menatap kedua  bola matanya.

"Tidak! Bunda kuatir dia akan menyakiti Ayah. Biarlah Bunda yang akan meminta dia untuk melepaskan Bunda. Bunda akan lakukan apa pun yang dia minta agar dia mengizinkan Bunda bisa hidup bersama Ayah. Akan tetapi, Ayah harus janji pada Bunda, jangan pernah mengikuti apalagi mencari tahu di mana Bunda berada. Nanti bunda yang akan menghubungi Ayah dan kita bertemu lagi di tempat ini seperti biasa," katanya serius sambil menatap kedua mataku dalam-dalam.

Aku berdiri tegak di antara benar dan salah. Kutatap temaram lampu trotoar jalanan ibu kota. "Berjanjilah," pintanya sekali lagi sambil mengecup pelan bibirku.

Hatiku beriak, naluriku berontak. Akal sehatku tidak terima melihat penderitaan wanita yang kukasihi ini berlangsung  lama.

"Berjanjilah! jika memang Ayah sayang Bunda, berjanjilah pada Bunda, Ayah tidak akan pernah menyusul dan mencari tahu keberadaan Bunda di kota ini." 


Tiga tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang sama dengan malam ini. Dia memintaku untuk datang menemui orang tuanya di kampung halamannya. Aku ingat, malam itu sebelum berpisah denganku, di tempat ini, dia memberikan secarik kertas yang berisi alamat rumahnya, seraya berpesan padaku, "Jika memang Ayah serius ingin menikahi Bunda, Bunda tunggu tanggal sembilan bulan sembilan di kampung halaman Bunda. Bunda sudah kangen pada bapak, emak, dan adek Bunda di kampung sana, nanti kita ketemu dan memulai hidup baru dari sana."


Saat itu, di bawah temaram lampu jalanan ibu kota, kutatap kepergian gadis cantik berambut panjang sebahu yang terus berjalan meninggalkanku. Kutatap punggung gadis cantik yang perlahan mulai menghilang di antara keramaian kota.


Kutatap kepergian gadis cantik yang kukenal dengan segala keterbatasannya mencoba untuk terus bertahan dari semua rasa sakit yang menderanya. Rasa sakit yang teramat pedih dikhianati oleh orang yang dia percaya sebelumnya atas nama cinta.


Tiga tahun sudah berlalu, tapi masih terasa seperti baru kemarin aku di sini bersamanya. Gadis cantik rambut panjang sebahu yang di awal mula perkenalanku dengannya itu tanpa sengaja kujumpai tengah menangis sesegukan di tempat ini.


Kutatap trotoar jalanan, tempat di mana gadis cantik rambut panjang sebahu itu dulu sering duduk di atasnya. Kutatap trotoar tempat pertama kali aku mengenalnya. Hingga hari demi hari kami selalu janjian bertemu dan berbincang di tempat ini.


Dari awal hingga akhir petemuanku dengannya tidak sekali pun dia mau aku mengantarkannya pulang ke tempat kediamannya.


Sambil membakar sebatang rokok di tanganku, kuhisap dalam-dalam, lalu kuhembuskan asapnya pelan-pelan. Kutatap bulan purnama yang perlahan mulai menghilang tertutupi awan hitam. Mendung datang, pertanda sebentar lagi akan hujan.


Di antara derasnya air hujan, perlahan kutinggalkan pisau belati yang masih berlumuran darah di pinggir trotoar jalanan. Di antara keremangan lampu jalanan, aku terus berjalan meninggalkan trotoar penuh kenangan di pinggir jalanan  kota impian.


Selamat malam, Dunia. Selamat malam, Bunda. Aku tahu saat ini engkau sedang menangis pilu menatap kehitamanku. Maafkan aku. Rasa cintaku padamu telah menghitamkan hati dan pikiranku. Jika yang aku lakukan ini adalah perbuatan dosa, biarlah dosa ini menjadi tanggung jawabku sendiri kelak di hadapan-Nya.


Aku telah memberlakukan Qisas pada mereka yang membunuhmu. Hari ini, tanggal Sembilan bulan Sembilan, di trotoar jalanan, di tempatku dulu pernah berdiri sambil memelukmu yang sedang menangis pilu, pisau belati di trotoar itu menjadi saksi betapa tangismu dulu mampu membuat bibir ini tersenyum melihat Badri yang dulu begitu buas terhadapmu, malam tadi, menangis dengan meratap dan memohon ampun sambil menyebut namamu sebelum ujung belatiku ini pelan-pelan menyayat dan memutuskan urat leher mereka satu persatu.


Tanggal sembilan bulan sembilan, karena cinta, hitamku menuntun langkah kakiku menuju ke tempat di mana dahulu engkau selalu melarangku untuk datang menemuimu.


Satu persatu, malam tadi, orang-orang yang dahulu melampiaskan nafsu binatangnya padamu hingga engkau meninggal karena kelelahan dan juga overdosis obat terlarang telah mengakui, bahwa engkau meninggal dunia karena eksploitasi seks mereka kepadamu secara berlebihan. Dan, malam itu, karena engkau sudah tidak sanggup melayani nafsu binatang mereka, Badri, suami yang tidak pernah menikahimu secara sah itu, kembali mencekokimu dengan obat terlarang hingga akhirnya engkau meregang nyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan.


Sekarang engkau sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu dulu, pertanyaan yang tidak pernah kujawab hingga akhir pertemuanku denganmu di trotoar jalan itu.


Cinta pada sesama makluk hanyalah fatamorgana. Manusia-manusia seperti Badri menutupi nafsunya dengan kata-kata cinta.


Nafsu yang dibungkus cinta hanya akan melahirkan penderitaan, sedangkan hakekat cinta yang sesungguhnya adalah rasa cinta pada Sang Pencipta. Karena, mencintai-Nya adalah keabadian.

 BANTUAN

KONTEN PREMIUM
Anda dapat membaca Konten Premium dengan Metode Pembayaran, silahkan masukan kode pembayaran untuk lanjut membaca
Login

Payment