Tanggal Sembilan Bulan Sembilan (All)
Novel |Tanggal Sembilan Bulan Sembilan [Premium] Telah setahun lamanya tiada kabar berita tentangmu semenjak pertemuan terakhir kita di malam itu. Jujur
saja aku rindu mendengar suara sendu dan juga tawa manjamu. Dengan sisa
tenaga dan harapan yang tersisa, kucoba tunaikan janjiku padamu untuk
menjumpaimu di tanah kelahiranmu. Berbekal keyakinan dan rasa cintaku
padamu, kudatangi alamat rumah yang engkau berikan padaku. Sesuai
permintaanmu setahun yang lalu dan sesuai janjiku padamu, hari ini,
tepat di tanggal sembilan bulan sembilan, aku menjumpai kedua orang
tuamu di kampung halamanmu. Di
kaki bukit, di sebuah desa terpencil, di tengah hamparan persawahan
yang padinya tengah menguning, di atas bale-bale bambu halaman rumah
yang sederhana, aku disambut hangat oleh orang-orang yang mengaku
sebagai ayah, ibu, dan adikmu. Siang
menjelang sore, langit terlihat begitu cerah. Setelah meneguk kopi yang
disuguhkan oleh ibumu, di hadapan ayah, ibu, dan adikmu, dengan segenap
keberanian, kuutarakan niat dan tujuanku datang ke kampung halamanmu. Di
antara semilir angin yang meniup rumpun padi di sawah sempat kutatap
wajah ibumu, seorang wanita yang usianya yang sudah terbilang tua,
tetapi aku masih menemukan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Wajahnya
persis seperti wajahmu yang terlihat begitu cantik alami di mataku saat
terakhir kali kita bertemu di bawah sinar bulan purnama setahun yang
lalu. Wanita
tua yang wajahnya begitu mirip dengan wajahmu itu sedikit terkejut
menatap ke arahku saat kuutarakan niatku untuk melamarmu. Kulihat
matanya berkaca-kaca. Sebelum aku sempat menanyakan keberadaanmu pada
wanita yang biasa engkau panggil "emak" itu, sambil menahan tangisnya,
wanita tua itu bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan aku, adik, dan
ayahmu di bale-bale bambu di teras depan rumahmu.
Di
pusaramu. Di temani adikmu, aku dibawa ke pusara, rumah
peristirahatanmu yang terakhir. Kubaca nama yang tertulis di batu nisan
itu. Ada namamu tertera di situ. Dulu
engkau pernah bertanya padaku, "Ayah, ajarkan aku arti cinta yang
sesungguhnya," dan waktu itu, aku menjawab sekenaku, "Aku tidak bisa
mengajarimu arti cinta yang sesungguhnya, karena aku pun sama sepertimu.
Aku buta tentang arti cinta itu sendiri. Namun, sebelum engkau
mencintaiku, mari kita sama-sama belajar mencintai Tuhan yang
menciptakan engkau dan aku. Karena aku tidak ingin menjadi "berhala"
bagimu. Aku tidak mau rasa cinta antara makhluk ciptaan itu menjadi
dinding penghalang di antara aku dan Tuhanku. Yuk, kita sama-sama
belajar mencintai-Nya melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Karena aku
tahu, Dia Maha Pencemburu. Dia tidak akan pernah mengizinkanku untuk
mencintai makhluk ciptaannya melebihi cintaku pada-Nya." Di
bawah siraman cahaya bulan, waktu itu engkau kembali bertanya, "Ayah,
apakah buat orang-orang sepertiku, Tuhan masih mau mendengar dan
mengabulkan permintaanku?" Spontan
aku menjawab, "Tentu saja, Dia akan selalu ada untuk hamba-Nya, hamba
yang selalu ingat dan setiap saat selalu rindu ingin menyebut nama-Nya." Perlahan gerimis mulai turun membasahi sekujur tubuhku, makam, dan juga bunga mawar yang baru saja kutabur di pusaramu. "Ayah sayang Bunda. Tidurlah yang lelap. Semoga engkau mimpi indah di dalam tidur panjangmu."
Angin
bertiup kencang, mendung datang. Di antara dedaunan yang mulai
berguguran, dari trotoar jalanan, kutatap awan hitam yang mulai menutupi
cahaya bulan. Aku tahu, begitu berat rasanya bagimu saat itu untuk
bercerita tentang semua kehidupan pribadimu. Aku tahu, engkau wanita
hebat. Kepasrahanmulah yang akhirnya berhasil memenangkan pertempuran
yang saat itu tengah berlangsung di dalam kebimbangan hatimu.
Jauh
di dalam relung hatimu yang paling dalam, aku bisa merasakan
ketakutanmu yang membuatmu tidak pernah mau memberikan alamat rumah dan
nomor ponselmu padaku. Namun malam itu, kulihat engkau begitu pasrah
untuk siap dengan semua keputusanku setelah mendengarkan semua cerita
tentang hal-hal yang selama ini menjadi momok yang begitu menakutkan
bagimu. Sambil menghela nafas, di antara desiran angin malam, perlahan
engkau mulai bercerita.
Novel |Tanggal Sembilan Bulan Sembilan [Premium]
Dulu,
cerita tentang gemerlapnya ibu kota membulatkan tekadmu meninggalkan
kampung halamanmu. Di iringi tangis teman-teman sepengajianmu, engkau
lambaikan tanganmu pada kedua orangtuamu dan juga teman-temanmu yang
mengantarmu sampai di batas antardusun di bawah kaki bukit. Dengan
hati riang engkau tinggalkan kampung halamanmu. Saat itu, engkau begitu
berharap pada lelaki yang berkata bahwa dia begitu mencintaimu dan
mengajakmu pergi merantau ke kota meninggalkan kampung halamannya yang
juga adalah kampung halamanmu. Lelaki, yang baru kembali dari ibu kota
itu dan sudah menjadi pacarmu, mengajakmu turut serta ke ibu kota demi
mewujudkan mimpi-mimpi indahmu. Dusunmu
saat itu masih terlalu sepi bagi anak gadis cantik secantik kamu yang
memiliki banyak keinginan dan baru beranjak dewasa sepertimu. Tontonan
sinetron di layar televisi sepulang mengaji semakin melambungkan
angan-anganmu tentang keindahan hidup di ibu kota. Jauh di lubuk hatimu,
begitu ingin hatimu memiliki kehidupan seperti kehidupan gadis-gadis
cantik yang sering engkau lihat di layar televisi milik Pak Juki,
satu-satunya orang yang memiliki televisi di kampung halamanmu dulu. Sebagai
gadis dusun yang saat itu masih berusia 17 tahun, semua cerita tentang
keindahan dan kebahagiaan hidup di ibu kota jauh lebih menarik hatimu
daripada semua cerita tentang surga dan neraka yang sering di ceritakan
oleh Pak Uban seusai mengaji. Pak Uban adalah orang tua yang selama ini
menjadi guru mengaji di dusun terpencil di bawah kaki bukit tempatmu
tinggal bersama ayah, ibu, dan adikmu. Sambil
menyeka air mata, engkau kembali bercerita. Lelaki sopan, yang dulu
membawamu pergi ke ibu kota dengan janji akan mewujudkan semua
mimpi-mimpimu, telah menodaimu di malam pertama engkau menginjakkan kaki
di kota impianmu itu. Semua
cerita tentang keindahan dan kebahagian hidup di kota makin lama makin
kabur dari pandangan matamu seiring berjalannya waktu bersama lelaki
muda yang saat itu telah menjadi suamimu tanpa pernah menikahimu
terlebih dahulu. Lelaki
yang di awal perkenalannya denganmu terlihat begitu sopan dan baik di
matamu ternyata adalah serigala berbulu domba yang sengaja hendak
memanfaatkan kecantikan dan kemolekan tubuhmu. Di
gemerlap malam ibu kota, di antara lolongan serigala jantan, di antara
suara rintihan yang semakin lama semakin terdengar sumbang, engkau
mencoba berontak dari keadaan. Engkau berteriak. Engkau meronta semampu
engkau bisa. Namun, engkau terlalu lemah menghadapi serigala berwujud
lelaki muda yang setelah puas menikmati kemolekan tubuhmu pun menawarkan
tubuh indahmu pada kawanan serigala-serigala lapar yang saat itu begitu
menginginkanmu. Engkau
hanya mampu merintih ketika tubuh indahmu jadi rebutan para serigala
yang sering kali menjadikanmu bagian dari permaianan mereka bersama
suami yang tidak pernah menikahimu secara sah itu. Bagi mereka, engkau
hanyalah piala bergilir yang lebih asyik dijadikan rebutan di akhir
permainan mereka. "Ayah".
Begitu engkau sering memanggilku dan engkau ingin aku memanggilmu
dengan "Bunda". Pernah kubertanya, "Kenapa engkau panggil aku dengan
sebutan itu? Bukankah kita belum menikah dan belum menjadi pasangan
suami istri yang sah?" Sambil
tersenyum, kala itu engkau hanya menjawab, "Aku ingin merasa kita
saling memiliki antara satu dengan yang lainnya. Tubuh ini boleh menjadi
milik mereka, tapi rasa dan cinta ini adalah milikmu seutuhnya." "Jika
itu dapat membuat hatimu lebih tenang dan bisa membuatmu kembali
tersenyum, engkau boleh memanggilku dengan sebutan itu," kataku pelan
sambil tersenyum menatapnya. Ketika itu engkau kembali berkata, "Ayah, aku menyayangimu dan mencintaimu melebihi apa pun yang ada di dunia ini." Begitu
ingin kukatakan padamu saat itu, bahwa bukan kata-kata itu yang
kuharapkan meluncur dari bibirmu. Namun, entah kenapa, mulutku seperti
terkunci. Engkau
kembali berkata, "Ayah, ajari aku tentang arti cinta yang sesungguhnya.
Dan, bolehkah aku mencintaimu?" Lagi-lagi aku hanya mampu diam tanpa
mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Di
antara bintang kulihat cahaya bulan bersinar terang. Indah sekali,
mengingatkanku pada seorang wanita yang tiga tahun lalu pernah berbisik
di telingaku, "Jika suatu saat engkau merindukanku, lihatlah! Di balik
cahaya bulan itu ada wajahku. Wajah yang akan selalu tersenyum
mengiringi setiap langkahmu." "Kenapa berkata begitu? Memang engkau mau pergi kemana?" tanyaku masih bingung sambil menatapnya. "Bunda
tidak bisa memberitahukannya, tapi demi kebaikan Ayah dan juga demi
kebaikan Bunda, ada baiknya kita tidak usah bertemu dulu di tempat ini
seperti biasa," katanya lagi sambil menatap mataku berharap pengertianku
saat itu. "Izinkan
aku mengantarmu kali ini. Pertemukan aku dengan lelaki itu. Aku akan
meminta baik-baik padanya untuk melepaskanmu menikah denganku," kataku
serius sambil menatap kedua bola matanya. "Tidak!
Bunda kuatir dia akan menyakiti Ayah. Biarlah Bunda yang akan meminta
dia untuk melepaskan Bunda. Bunda akan lakukan apa pun yang dia minta
agar dia mengizinkan Bunda bisa hidup bersama Ayah. Akan tetapi, Ayah
harus janji pada Bunda, jangan pernah mengikuti apalagi mencari tahu di
mana Bunda berada. Nanti bunda yang akan menghubungi Ayah dan kita
bertemu lagi di tempat ini seperti biasa," katanya serius sambil menatap
kedua mataku dalam-dalam. Aku
berdiri tegak di antara benar dan salah. Kutatap temaram lampu trotoar
jalanan ibu kota. "Berjanjilah," pintanya sekali lagi sambil mengecup
pelan bibirku. Hatiku beriak, naluriku berontak. Akal sehatku tidak terima melihat penderitaan wanita yang kukasihi ini berlangsung lama. "Berjanjilah!
jika memang Ayah sayang Bunda, berjanjilah pada Bunda, Ayah tidak akan
pernah menyusul dan mencari tahu keberadaan Bunda di kota ini." Tiga
tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang sama dengan malam ini. Dia
memintaku untuk datang menemui orang tuanya di kampung halamannya. Aku
ingat, malam itu sebelum berpisah denganku, di tempat ini, dia
memberikan secarik kertas yang berisi alamat rumahnya, seraya berpesan
padaku, "Jika memang Ayah serius ingin menikahi Bunda, Bunda tunggu
tanggal sembilan bulan sembilan di kampung halaman Bunda. Bunda sudah
kangen pada bapak, emak, dan adek Bunda di kampung sana, nanti kita
ketemu dan memulai hidup baru dari sana." Saat
itu, di bawah temaram lampu jalanan ibu kota, kutatap kepergian gadis
cantik berambut panjang sebahu yang terus berjalan meninggalkanku.
Kutatap punggung gadis cantik yang perlahan mulai menghilang di antara
keramaian kota. Kutatap
kepergian gadis cantik yang kukenal dengan segala keterbatasannya
mencoba untuk terus bertahan dari semua rasa sakit yang menderanya. Rasa
sakit yang teramat pedih dikhianati oleh orang yang dia percaya
sebelumnya atas nama cinta. Tiga
tahun sudah berlalu, tapi masih terasa seperti baru kemarin aku di sini
bersamanya. Gadis cantik rambut panjang sebahu yang di awal mula
perkenalanku dengannya itu tanpa sengaja kujumpai tengah menangis
sesegukan di tempat ini. Kutatap
trotoar jalanan, tempat di mana gadis cantik rambut panjang sebahu itu
dulu sering duduk di atasnya. Kutatap trotoar tempat pertama kali aku
mengenalnya. Hingga hari demi hari kami selalu janjian bertemu dan
berbincang di tempat ini. Dari awal hingga akhir petemuanku dengannya tidak sekali pun dia mau aku mengantarkannya pulang ke tempat kediamannya. Sambil
membakar sebatang rokok di tanganku, kuhisap dalam-dalam, lalu
kuhembuskan asapnya pelan-pelan. Kutatap bulan purnama yang perlahan
mulai menghilang tertutupi awan hitam. Mendung datang, pertanda sebentar
lagi akan hujan. Di
antara derasnya air hujan, perlahan kutinggalkan pisau belati yang
masih berlumuran darah di pinggir trotoar jalanan. Di antara keremangan
lampu jalanan, aku terus berjalan meninggalkan trotoar penuh kenangan di
pinggir jalanan kota impian. Selamat
malam, Dunia. Selamat malam, Bunda. Aku tahu saat ini engkau sedang
menangis pilu menatap kehitamanku. Maafkan aku. Rasa cintaku padamu
telah menghitamkan hati dan pikiranku. Jika yang aku lakukan ini adalah
perbuatan dosa, biarlah dosa ini menjadi tanggung jawabku sendiri kelak
di hadapan-Nya. Aku
telah memberlakukan Qisas pada mereka yang membunuhmu. Hari ini,
tanggal Sembilan bulan Sembilan, di trotoar jalanan, di tempatku dulu
pernah berdiri sambil memelukmu yang sedang menangis pilu, pisau belati
di trotoar itu menjadi saksi betapa tangismu dulu mampu membuat bibir
ini tersenyum melihat Badri yang dulu begitu buas terhadapmu, malam
tadi, menangis dengan meratap dan memohon ampun sambil menyebut namamu
sebelum ujung belatiku ini pelan-pelan menyayat dan memutuskan urat
leher mereka satu persatu. Tanggal
sembilan bulan sembilan, karena cinta, hitamku menuntun langkah kakiku
menuju ke tempat di mana dahulu engkau selalu melarangku untuk datang
menemuimu. Satu
persatu, malam tadi, orang-orang yang dahulu melampiaskan nafsu
binatangnya padamu hingga engkau meninggal karena kelelahan dan juga
overdosis obat terlarang telah mengakui, bahwa engkau meninggal dunia
karena eksploitasi seks mereka kepadamu secara berlebihan. Dan, malam
itu, karena engkau sudah tidak sanggup melayani nafsu binatang mereka,
Badri, suami yang tidak pernah menikahimu secara sah itu, kembali
mencekokimu dengan obat terlarang hingga akhirnya engkau meregang nyawa
dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Sekarang
engkau sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu dulu, pertanyaan yang tidak
pernah kujawab hingga akhir pertemuanku denganmu di trotoar jalan itu. Cinta pada sesama makluk hanyalah fatamorgana. Manusia-manusia seperti Badri menutupi nafsunya dengan kata-kata cinta. Nafsu
yang dibungkus cinta hanya akan melahirkan penderitaan, sedangkan
hakekat cinta yang sesungguhnya adalah rasa cinta pada Sang Pencipta.
Karena, mencintai-Nya adalah keabadian.**Bagian Satu**
****
**Bagian Dua**
**Bagian Tiga**
Payment