Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Novel | Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun

Avatar

KONTEN PREMIUM

Rumahfiksi.com

Anda sedang membaca Konten Premium

LIHAT KAMI

 

 



 

Novel | Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun

Kuikuti jalanan setapak di antara batang-batang pohon karet yang seperti mau tumbang ditiup angin ini sambil terus mempercepat langkah kakiku, menuju ke Rumah Panggung berwarna coklat tua yang sudah mulai terlihat dari tempatku berada saat ini. 

Baru saja aku sampai di depan rumah panggung, hujan turun dengan lebatnya, di sertai suara petir yang mengggelegar,

Kuhampiri sepasang muda–mudi yang tengah duduk di teras depan rumah panggung dan segera ku ulurkan telapak tanganku pada anak lelaki muda yang melangkah menghampiriku. Sambil memperkenalkan diri, aku pamit untuk menumpang berteduh di tempat ini.

Setelah berkenalan, aku tau anak lelaki muda itu bernama Bono. Bono mempersilahkan aku masuk kedalam teras rumahnya. 

Perempuan muda yang kulihat sedang duduk bersama Bono itu berdiri dari kursi yang sedang di duduki-nya. Lalu sambil berdiri, dia mempersilahkan aku duduk. Setelah mengucapkan terima kasih, ku turunkan tas ransel yang sedari tadi ku panggul di pundakku, lalu, kutaruh tas ranselnya pas di sebelah kursi tempat dudukku saat ini.

Perempuan muda bertubuh molek yang barusan pamit masuk ke dalam rumah itu ternyata adalah adik Bono, namanya Dita, usianya sekitar 15 tahun, memiliki rambut panjang sedikit bergelombang terurai hingga sebahu, mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu serta celana kain berwarna hitam. 

SAMBIL menghisap sebatang rokok yang baru saja selesai kubakar, mataku melirik ke arah Bono yang mengenakan kaos berwarna coklat tua, saat ini, kulihat dia tengah meracik Rokok klembak Menyan[ii] di atas meja. Bono sendiri kuperkirakan berusia sekitar 20 tahun. 

Sambil merokok kami mengobrol tentang banyak hal, hingga seorang wanita mengenakan kerudung bergo panjang berwarna merah marun datang membawa nampan berisi dua gelas kopi. Kuambil gelas kopi yang di tawarkan oleh wanita tinggi semampai dan sudah cukup berumur yang di panggil “Emak” oleh Bono barusan, kuperkirakan, wanita berkerudung[iii] bergo panjang berwarna merah marun yang mengenakan celana kain berwarna hitam type kulot berbahan katun dan terdapat karet di bagian pinggangnya ini berusia sekitar 50 tahunan, walau sudah cukup berumur namun wanita berkulit sawo matang ini kulihat masih menyimpan sisa–sisa kecantikan masa mudanya dulu.

Srupp..Eehm. terasa enak sekali kopi buatan emak Bono ini...Entah karena cuaca lagi dingin akibat hujan lebat di sertai angin kencang sore ini, entah karena memang jenis kopi ini memang berbeda dari kopi yang biasa kuminum, namun rasa kopi ini terasa begitu pas di lidahku.

Kualihkan pandangan mataku ke tempat lain, ketika tanpa sengaja mataku beradu pandang dengan matanya. Entah kenapa jantungku berdetak sedikit lebih kencang setiap kali tanpa sengaja menatap dan beradu pandang dengan sepasang mata wanita berkerudung bergo panjang merah marun di depanku ini. Sorot matanya begitu tajam dan misterius, aku berusaha menepis dan mengusir jauh-jauh bayangan senyum manis wanita berkerudung Bergo panjang merah marun ini dari dalam  pikiranku.

Duaarrr….

Aku dikejutkan oleh suara petir, kulirik jam di pergelangan tanganku, aku baru sadar ternyata jam tangan yang kukenakan ini mati. Kuperhatikan sekali lagi, ternyata jam tangan ini memang benar–benar sudah mati. Aku tidak tau sudah jam berapa saat ini, hari sudah gelap tapi belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti.

“Abang dari mana?”

Suara  wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun  di depanku ini memecah kesunyian. Kujelaskan persis seperti apa yang kuceritakan kepada Bono tadi. Kulihat wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun  ini diam sebentar, lalu berkata;


”Hari sudah gelap, dan hujan masih belum berhenti, sebaiknya menginap saja disini. Dusun yang mau abang tuju itu setengah hari perjalanan dari sini ini,” kata wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini, lalu meneruskan ucapannya sambil melihat kearah Bono yang tengah duduk di sebelahku.

 

*

SETELAH selesai mandi dan mengganti pakaian yang ku kenakan sore tadi dengan pakaian yang lebih bersih, aku duduk di samping Bono. Kuperhatikan isi ruangan yang hanya di terangi oleh pelita minyak tanah, kuperhatikan Bono yang sedang duduk sambil menikmati Rokok klembak menyannya. Mataku berputar “menyapu” sekeliling ruangan, mataku tidak menemukan bingkai photo atau pun hiasan dinding lainnya di dalam ruangan ini.

“Bono..ajak abang makan malam sekalian..”

Terdengar suara wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun dari ruang tengah. Aku mengikuti Bono dari belakang berjalan menuju ke ruang tengah. Lalu mengambil posisi duduk di sebelah Bono. Sedangkan wanita yang mengenakan kerudung bergo panjang berwarna merah marun itu duduk di depanku, sementara Dita duduk di sebelahnya. Wanita berkulit hitam manis yang di panggil “Emak” oleh Bono dan Dita ini kulihat “cekatan” menuangkan air dari Kendi[iv] ke dalam gelas. Setelah semua gelasnya terisi air dia meletakan gelas-gelas tersebut di hadapan kami. 

Bono mendekatkan Cething ke arahku, Cething adalah sebutan alat dapur yang berfungsi sebagai tempat menaruh nasi yang sudah matang dan siap di hidangkan untuk di santap, masyarakat Jawa dulu mengenal Cething terbuat dari anyaman bambu, berujud seperti mangkuk. Anyaman bambu itu di buat dengan diameter rata–rata sekitar 20 cm dan tinggi16 cm. Bagian atas belahan bambu berbentuk lingkaran, sementara bagian bawah di beri belahan bambu persegi empat berfungsi sebagai alas atau kaki.

 

Aku menyendokan nasi ke dalam piringku, “Makan yang banyak Bang, jangan malu–malu, tadi Bono dapat Rusa, abang suka daging Rusa?” tanya wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun  sambil menyodorkan daging Rusa[v] bakar ke arahku. ”Iya mak..” jawabku, sambil mengambil sepotong daging Rusa bakar, lalu memasukannya ke dalam piring nasiku.

SETELAH selesai makan malam, kami bertiga ngobrol di ruang tengah, sambil membakar rokok, aku bertanya pada wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun  di depanku ini.

“Bapak kemana mak..? dari tadi saya nggak ada melihat Bapak..?”

Wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun menatapku, mata kami beradu pandang sejenak, dan seperti sore tadi jantungku kembali berdetak lebih kencang dari biasanya. Sorot matanya begitu tajam. Seperti menyalurkan getaran aneh, dan sulit ku jelaskan dengan kata–kata. Tak sanggup menatap kedua matanya terlalu lama, ku coba alihkan pandangan mataku ke arah Dita yang baru saja datang dari dapur membawa nampan berisi empat gelas kopi kopi. Lalu meletakan masing-masing satu pas di hadapan kami.

”Sudah lima tahun yang lalu bapak pergi meninggalkan kami semua bang..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini sambil menatapku, dan entah kenapa aku jadi merasa tidak enak sendiri dengan pertanyaan yang barusan sempat terlontar keluar dari bibirku, seperti tau dengan perasaan ku yang merasa kurang enak, dia kembali berkata;

 ”Bapak sekarang sudah bahagia di tempat barunya. Sudah lima tahun ,tidak pernah ada tamu yang berkunjung ke rumah ini, dan baru abang, orang luar pertama yang mengunjungi rumah ini setelah kepergian bapak..” katanya lagi. 

Aku diam, sambil menyeruput kopi dari gelas di tanganku. Jujur saja, sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang berputar–putar di kepalaku saat ini, mulai dari  GPS[vi] yang biasa kupakai sebagai penunjuk arah, siang tadi setelah menyeberangi sungai yang kelima mendadak tidak berfungsi lagi. Hingga tatapan mata wanita yang begitu misterius ini. 

Berdasarkan peta jalan yang kubawa sebelum GPS yang kubawa mati, seharus nya aku cuma membutuh waktu sekitar dua jam paling lama untuk sampai ke Dusun tujuan ku itu, tapi tadi aku merasa sudah berjalan jauh sekali hingga hampir setengah hari baru sampai ke kebun ini. Sementara menurut wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini, aku masih membutuhkan waktu sekitar setengah hari lagi untuk mencapai Dusun tujuan ku itu. Batrei Handphone milik ku ngedrop hingga mati total, juga jam tangan yang kukenakan saat ini ikut mati, praktis membuat ku tidak tau jam berapa dan sedang berada di mana saat ini.

 “Apa emak dan anak–anak tidak takut tinggal sendirian di tempat ini mak..?” tanyaku pada wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku.  “Takut apa bang..?” dia balik bertanya, sambil tertawa melihat ke arahku, barisan gigi putihnya terlihat bersih dan rapi ketika wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini tertawa lebar.

“Harimau atau binatang liar misalnya.” kataku, karena aku ingat, tadi pagi sebelum menyeberang ke tempat ini, pemilik sampan yang kunaiki sempat berpesan agar hati–hati melintas di wilayah ini.

    KONTEN PREMIUM
    Anda sedang membaca Konten Premium dengan Metode Pembayaran, silahkan BERLANGGANAN untuk lanjut membaca

    PAYMENT

Pilih Layanan Kami

Nikmati akses tanpa batas dan mari bergabung bersama Warkasa1919.com

  • Artikel Premium

  • Jasa

  • Buku

Pesan Sekarang