“Abang dari mana?”
Suara wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini memecah kesunyian. Kujelaskan persis seperti apa yang kuceritakan kepada Bono tadi. Kulihat wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini diam sebentar, lalu berkata;
”Hari sudah gelap, dan hujan masih belum berhenti,
sebaiknya menginap saja disini. Dusun yang mau abang tuju itu setengah hari
perjalanan dari sini ini,” kata wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun ini, lalu meneruskan ucapannya sambil melihat kearah Bono yang tengah
duduk di sebelahku.
Bagian ini terkunci. Masukkan password untuk membaca selengkapnya.
Penghuni Rumah Panggung
*
DI UJUNG jalan, aku melihat ada kebun karet di
kejauhan, segera kupercepat langkah kakiku menuju ke tempat itu.
Tanaman karet di kebun ini sepertinya terawat
dengan baik, berarti ada pemiliknya di sini.
Ku ikuti jalanan setapak di antara batang-batang
pohon karet yang seperti mau tumbang di tiup angin itu,
Kupercepat langkah kakiku menuju ke Rumah Panggung[i] berwarna coklat tua yang sudah mulai terlihat dari sini.
Baru saja aku sampai di depan rumah panggung, hujan
turun dengan lebatnya, di sertai dengan suara petir yang mengggelegar,
Kuhampiri sepasang muda–mudi yang tengah duduk
di teras depan rumah panggung, segera ku ulurkan telapak tanganku pada
anak lelaki muda yang melangkah menghampiriku itu.
Sambil memperkenalkan diri, aku pamit untuk
numpang berteduh di tempat ini.
Setelah berkenalan, aku tau anak lelaki muda itu
bernama Bono.
Bono mempersilahkan aku masuk kedalam teras
rumahnya.
Perempuan muda yang kulihat sedang duduk bersama
Bono itu berdiri dari kursi yang sedang didudukinya. Lalu sambil berdiri, dia
mempersilahkan aku duduk.
Setelah mengucapkan terima kasih, ku turunkan tas
ransel yang sedari tadi ku panggul di pundakku, lalu, kutaruh tas ranselnya pas
di sebelah kursi tempat dudukku saat ini.
Perempuan muda bertubuh molek yang barusan pamit
masuk ke dalam rumah itu ternyata adalah adik Bono, namanya Dita, usianya
sekitar 15 tahun, memiliki rambut panjang sedikit bergelombang terurai hingga
sebahu, mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu serta celana kain berwarna
hitam.
**
SAMBIL menghisap sebatang rokok yang baru saja
selesai kubakar, mataku melirik ke arah Bono yang mengenakan kaos berwarna
coklat tua, saat ini, kulihat dia tengah meracik Rokok klembak Menyan[ii] di atas
meja. Bono sendiri kuperkirakan berusia sekitar 20 tahun.
Sambil merokok kami mengobrol tentang banyak hal,
hingga seorang wanita yang mengenakan kerudung bergo panjang berwarna merah marun
datang, membawa nampan berisi dua gelas kopi. Kuambil gelas kopi yang di
tawarkan oleh wanita tinggi semampai dan sudah cukup berumur yang di panggil
“Emak” oleh Bono barusan, kuperkirakan, wanita berkerudung[iii] bergo
panjang berwarna merah marun yang mengenakan celana kain berwarna hitam type
kulot berbahan katun dan terdapat karet di bagian pinggangnya ini berusia
sekitar 50 tahunan, walau sudah cukup berumur namun wanita berkulit sawo matang
ini kulihat masih menyimpan sisa–sisa kecantikan masa mudanya dulu.
Srupp..Eehm. terasa enak sekali kopi buatan emak
Bono ini...Entah karena cuaca lagi dingin akibat hujan lebat di sertai angin
kencang sore ini, entah karena memang jenis kopi ini memang berbeda dari kopi
yang biasa kuminum, namun rasa kopi ini terasa begitu pas di lidahku.
Kualihkan pandangan mataku ke tempat lain, ketika
tanpa sengaja mataku beradu pandang dengan matanya. Entah kenapa jantungku
berdetak sedikit lebih kencang, setiap kali tanpa sengaja menatap dan beradu
pandang dengan sepasang mata wanita berkerudung bergo panjang merah marun di
depanku ini. Sorot matanya begitu tajam dan misterius, aku berusaha menepis dan
mengusir jauh-jauh bayangan senyum manis wanita berkerudung Bergo panjang merah
marun ini dari dalam pikiranku.
Duaarrr….
Aku dikejutkan oleh suara petir, kulirik jam di
pergelangan tanganku, aku baru sadar ternyata jam tangan yang kukenakan ini
mati. Kuperhatikan sekali lagi, ternyata jam tangan ini memang benar–benar
sudah mati. Aku tidak tau sudah jam berapa saat ini, hari sudah gelap tapi
belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti.
“Abang dari mana?”
Suara wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini memecah kesunyian. Kujelaskan persis seperti apa yang
kuceritakan kepada Bono tadi. Kulihat wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun ini diam sebentar, lalu berkata;
”Hari sudah gelap, dan hujan masih belum berhenti,
sebaiknya menginap saja di sini. Dusun yang mau abang tuju itu setengah hari
perjalanan dari sini,” kata wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun ini, lalu meneruskan ucapannya sambil melihat kearah Bono yang tengah
duduk di sebelahku.
Peta Jalan Yang Hilang
*
SETELAH selesai mandi dan mengganti pakaian yang ku
kenakan sore tadi dengan pakaian yang lebih bersih, aku duduk di samping Bono.
Kuperhatikan isi ruangan yang hanya di terangi oleh pelita minyak tanah,
kuperhatikan Bono yang sedang duduk sambil menikmati Rokok klembak menyannya.
Mataku berputar “menyapu” sekeliling ruangan, mataku tidak menemukan bingkai
photo atau pun hiasan dinding lainnya di dalam ruangan ini.
“Bono..ajak abang makan malam sekalian..”
Terdengar suara wanita berkerudung bergo panjang
warna merah marun dari ruang tengah. Aku berjalan mengikuti Bono dari belakang, berjalan
menuju ke ruang tengah. Lalu mengambil posisi duduk di sebelah Bono. Sedangkan
wanita yang mengenakan kerudung bergo panjang berwarna merah marun itu duduk di
depanku, sementara Dita duduk di sebelahnya. Wanita berkulit sawo matang yang
di panggil “Emak” oleh Bono dan Dita ini kulihat “cekatan” menuangkan air
dari Kendi[iv] ke dalam gelas. Setelah semua gelasnya terisi air
dia meletakan gelas-gelas tersebut di hadapan kami.
Bono mendekatkan Cething ke arahku, Cething adalah
sebutan alat dapur yang berfungsi sebagai tempat menaruh nasi yang sudah matang
dan siap di hidangkan untuk di santap, masyarakat Jawa dulu mengenal Cething
terbuat dari anyaman bambu, berujud seperti mangkuk. Anyaman bambu itu di buat
dengan diameter rata–rata sekitar 20 cm dan tinggi16 cm. Bagian atas belahan
bambu berbentuk lingkaran, sementara bagian bawah di beri belahan bambu persegi
empat berfungsi sebagai alas atau kaki.
Aku menyendokan nasi ke dalam piringku, “Makan yang
banyak Bang, jangan malu–malu, tadi Bono dapat Rusa, abang suka daging Rusa?”
tanya wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun sambil
menyodorkan daging Rusa[v] bakar ke
arahku. ”Iya mak..” jawabku, sambil mengambil sepotong daging Rusa bakar, lalu
memasukannya ke dalam piring nasiku.
**
SETELAH selesai makan malam, kami bertiga ngobrol
di ruang tengah, sambil membakar rokok, aku bertanya pada wanita berkerudung
bergo panjang warna merah marun di depanku ini.
“Bapak kemana mak..? dari tadi saya nggak ada
melihat Bapak..?”
Wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun
menatapku, mata kami beradu pandang sejenak, dan seperti sore tadi jantungku
kembali berdetak lebih kencang dari biasanya. Sorot matanya begitu tajam.
Seperti menyalurkan getaran aneh, dan sulit ku jelaskan dengan kata–kata. Tak
sanggup menatap kedua matanya terlalu lama, ku coba alihkan pandangan mataku ke
arah Dita yang baru saja datang dari dapur membawa nampan berisi empat gelas
kopi kopi. Lalu meletakan masing-masing satu pas di hadapan kami.
”Sudah lima tahun yang lalu bapak pergi
meninggalkan kami semua bang..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun ini sambil menatapku, dan entah kenapa aku jadi merasa tidak enak
sendiri dengan pertanyaan yang barusan sempat terlontar keluar dari bibirku,
seperti tau dengan perasaan ku yang merasa kurang enak, dia kembali berkata;
”Bapak sekarang sudah bahagia di tempat
barunya. Sudah lima tahun,tidak pernah ada tamu yang berkunjung ke rumah ini,
dan baru abang, orang luar pertama yang mengunjungi rumah ini setelah kepergian
bapak..” katanya lagi.
Aku diam, sambil menyeruput kopi dari gelas di
tanganku. Jujur saja, sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang berputar–putar
di kepalaku saat ini, mulai dari GPS[vi] yang biasa kupakai sebagai penunjuk arah, siang tadi setelah
menyeberangi sungai yang kelima mendadak tidak berfungsi lagi. Hingga tatapan
mata wanita yang begitu misterius ini.
Berdasarkan peta jalan yang kubawa sebelum GPS nya
mati, seharus nya aku cuma membutuh waktu sekitar dua jam paling lama
untuk sampai ke Dusun tujuan ku itu, tapi tadi aku merasa sudah berjalan jauh
sekali hingga hampir setengah hari baru sampai ke kebun ini. Sementara menurut
wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini, aku masih
membutuhkan waktu sekitar setengah hari lagi untuk mencapai Dusun tujuan ku
itu. Batrei Handphone milik ku ngedrop hingga mati total, juga jam tangan yang
kukenakan saat ini ikut mati, praktis membuat ku tidak tau jam berapa dan
sedang berada di mana saat ini.
“Apa emak dan anak–anak tidak takut tinggal
sendirian di tempat ini mak..?” tanyaku pada wanita berkerudung bergo panjang
warna merah marun di depanku. “Takut apa bang..?” dia balik bertanya,
sambil tertawa melihat ke arahku, barisan gigi putihnya terlihat bersih dan
rapi, ketika wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini tertawa
lebar.
“Harimau atau binatang liar misalnya.” kataku,
karena aku ingat, tadi pagi sebelum menyeberang ke tempat ini, pemilik sampan
yang kunaiki sempat berpesan agar hati–hati melintas di wilayah ini.
Di lintasan Harimau Sumatera
*
SAMPAN adalah sebuah perahu kayu yang
memiliki dasar relative datar, dengan ukuran sekitar 3,5 hingga 4,5 meter yang
di gunakan sebagai alat transportasi sungai dan danau atau menangkap ikan.
Sampan dapat mengangkut 2 - 8 orang, tergantung ukuran sampan. Sampan
adakalanya memiliki atap kecil dan dapat di gunakan sebagai tempat tinggal
permanen di perairan dekat daratan. Sampan tidak di gunakan untuk berlayar jauh
dari daratan, karena jenis perahu ini tidak memiliki perlengkapan untuk
menghadapi cuaca yang buruk.
Dan menurut orang Dusun, daerah ini adalah
perlintasan satwa liar, kususnya Harimau Sumatera[vii]. Harimau sumatera adalah subspecies harimau terkecil, Harimau sumatera
mempunyai warna[viii] paling
gelap di antara semua subspecies harimau lainnya, pola hitam berukuran lebar
dan jaraknya rapat kadang kala dempet.
”Emak dan anak – anak berteman dengan mereka
semua bang..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini
tenang, sambil tersenyum menatap lurus kedua mataku. Sepertinya dia memang
sengaja menggodaku. Di matanya, aku terlihat takut-takut menatap kedua matanya,
namun tak jarang, tanpa sengaja dia memergoki aku sedang mencuri-curi pandang
ke arahnya.
“Tadi kata Bono, Emak sering di mintai tolong
sama orang Dusun untuk mengobati orang sakit, dan ada pas ada orang yang mau
melahirkan. Kalau jaraknya saja dari sini sekitar setengah hari, gimana
cara emak kesana dan gimana cara orang Dusun menghubungi emak di sini? Sebab
seingatku tadi, pas mau menuju kemari, menyeberang sungai saja sampai lima kali
ganti sampan.” tanyaku.
“Besok abang akan tau sendiri, kan abang mau pergi
ke Dusun itu ” jawab nya kalem.
Duh.. Aku benar-benar mati kutu di hadapan wanita
berumur yang masih menyimpan sisa-sisa kecantikan masa mudanya ini. Kulirik
Bono yang mulai berbaring, sepertinya hendak, meluruskan pinggang di sampingku, mungkin dia
kelelahan siap berburu rusa siang tadi. Kuambil kopi, dan;
Sruput,
Ehm…Memang kopi ini beda, dengan kopi yang biasa
kuminum.
”Ini kopi apa mak..?” tanyaku penasaran. “Besok aku
mau cari kopi jenis ini" kataku lagi. ”Itu kopi hasil kebun sendiri
bang..” jawabnya singkat.
Aku makin penasaran dengan penghuni rumah panggung
di tengah kebun karet ini, ternyata selain menanam karet mereka juga menanam
kopi disini. Aku memang pernah membaca, bahwa karet bisa di tumpang sarikan
dengan kopi, sebagai mana halnya tumpang sari antara kelapa dengan kopi. Sifat
kopi sendiri merupakan tanaman yang perlu naungan, kanopi pohon tidak terlalu
tinggi, sementara karet merupakan pohon yang memerlukan pencahayaan penuh, yang
batangnya pun tinggi, hingga tumpang sari kopi dengan karet sangat padu.
"Kalau sudah ngantuk istirahat saja di kamar
bono bang, emak pun mau istirahat." kata wanita berkerudung bergo panjang
merah marun ini sambil beranjak dari tempat duduknya, di ikuti oleh Dita dari
belakang.
“Iya Mak.” jawabku sambil mematikan puntung
rokok di asbak, sekilas mataku melirik ke arah punggung wanita berkerudung
bergo panjang warna merah marun yang menghilang masuk kedalam kamarnya.
Terjaga di Tengah Malam
*
RUMAH PANGGUNG ini menurutku lumayan besar untuk
ukuran rumah di tengah perkebunanan karet seperti ini, di rumah ini setidaknya
ada empat kamar, satu kamar yang dindingnya berbatasan dengan ruang tamu, serta
pintunya menghadap ke ruang tengah tempat kami makan malam tadi, di tempati
oleh wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun yang di panggil “Emak”
oleh Bono dan Dita.
Di sebelahnya adalah kamar Dita, yang pintu
kamarnya juga menghadap ke ruang tengah, sementara di sebelah kamar Dita adalah
dapur yang cukup besar, dengan kamar mandi yang juga berada di dalamnya, di
sebelah dapur ada satu kamar kosong yang aku tidak tau punya siapa.
Kamar Bono Pintunya juga menghadap ke ruang tengah,
persis di depan pintu dapur dan kamar kosong, Dinding kamar Bono langsung
berbatasan dengan Ruang Tamu. Selain memiliki empat kamar, Rumah Panggung yang
berlantai papan dari kayu-kayu pilihan ini memiliki satu ruang tamu yang tidak
ada kursinya, hanya ada tikar pandan yang menjadi alas tempat kami duduk ngopi
tadi.
**
AKU BERJALAN menuju dapur, hendak ke kamar mandi,
pada saat melewati kamar kosong yang pintunya persis di sebelah pintu dapur.
Sekilas aku melihat pintu kamar itu sedikit terbuka, takut di bilang tidak
sopan, aku terus berjalan menuju dapur, setelah mengambil pelita minyak tanah
di atas meja. Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Keluar dari kamar mandi,
rasa penasaran mengalahkan akal sehatku yang masih saja terus berdebat dengan
diriku yang lainnya tentang masalah etika.
Aku mengintip dari celah gorden yang tersingkap di
depan pintu kamar kosong. Diam-diam aku melongok ke dalam kamar yang hanya di
terangi oleh pelita minyak tanah. Dari celah horden, kulihat wanita
berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah marun
itu kulihat sedang berdiri di depan cermin di dekat meja berukir yang terbuat
dari kayu jati.
Aku terkejut, ketika tiba-tiba saja wanita berkulit
sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah marun itu
membalikan badannya, sambil tersenyum kearahku, dia melambaikan tangan nya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja nafsu birahiku tak
terkendali melihat wanita berkulit sawo matang ini. Aku seperti sudah tidak
perduli jika ada ada orang lain di rumah ini, saat ini aku betul–betul
menginginkannya, nafasku berat. Aku tersengal-sengal sendiri menahan nafsu
“birahi”ku yang sepertinya sudah mencapai ubun–ubun. Kudekati wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun, cukup lama kami berpanggutan,
sampai akhirnya wanita berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo
panjang warna merah marun ini menarik tangan ku menuju kasur tipis di sudut
ruang kamar kosong ini.
***
AKU TERSENTAK, terbangun oleh suara petir yang tadi
berbunyi keras sekali, kulihat Bono masih tertidur pulas di sampingku, aku
tidak tau pukul berapa saat ini, karena memang aku tidak melihat ada jam di
rumah ini. Cukup aneh juga menurutku, sepertinya mereka memang tidak terlalu
perduli dengan waktu. Saat ini, aku merasa berada di dunia lain yang belum
tersentuh oleh Waktu.
Di luar Rumah Panggung ini masih terdengar suara
hujan, walau tak sederas sore tadi. Tapi sepertinya hari masih gelap. Aku
beranjak bangkit, ku buka pintu kamar, sepi. Ku tatap pintu kamar kosong, tidak
ada cahaya lampu dari dalam kamar yang terkunci. Tidak ada wanita berkerudung
bergo panjang warna merah marun seperti yang tadi kulihat di dalam mimpiku
tadi. Sepertinya, wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun dan Dita
masih tertidur pulas di dalam kamarnya masing-masing.
Aku berjalan menuju dapur, mengambil kendi,
menuangkan air ke dalam gelas, lalu meneguknya sampai habis. Selanjutnya,
aku berjalan menuju ruang tamu tempat kami ngobrol berempat malam tadi. Ku
ambil sebatang rokok, ku selipkan di bibir, kubakar, kuhisap perlahan. Lalu ku
hembuskan asapnya pelan-pelan.
Cukup lama aku sendirian di ruang tamu ini, terjaga
di tengah malam seperti ini membuatku kesulitan untuk memejamkan kedua mataku
kembali. Ku matikan rokok yang belum habis kuhisap, lalu ku masukan
“puntung”nya ke dalam asbak. Aku berjalan menuju kamar Bono, ku perhatikan Bono
masih tertidur pulas seperti tadi, ku rebahkan tubuh ku di samping kasur tipis
yang di sebelah Bono.
Sejarah Kopi
*
PAGI INI aku
bangun agak kesiangan, kulihat Bono sudah tidak ada di sampingku, aku segera
beranjak bangkit dari tempat tidur, bergegas menuju kamar mandi. Setelah
selesai mandi, aku menuju teras depan, kulihat bono sedang menyeruput kopi di
temani Rokok klembak menyan kesayangannya.
Kusapa Bono sebelum aku duduk di sampingnya, sambil
tersenyum dia menawarkan minum dan goreng pisang di atas meja kayu yang berada
tepat di depannya. Aku duduk, lalu mengambil Kendi yang berisi air putih di
atas meja, lalu menuangkannya ke dalam gelas. dan meminumnya sampai habis.
“Enggak nyadap[ix] getah
karet Bon?” tanya ku memulai percakapan pagi ini, “Enggak bang.”jawab Bono,
kemudian meneruskan. ”Tadi malam hujan semalaman, dan pagi tadi baru berhenti,
kurang bagus getahnya.” katanya lagi sambil mengunyah Goreng Pisang di
tangannya.
Wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun
datang menghampiri kami, sambil tersenyum dia meletakan segelas kopi di
hadapanku, melihat wajahnya yang bersemu merah pagi ini, entah kenapa aku jadi
ingat mimpi ku malam tadi, sedikit canggung, ku ambil kopi yang di tawarkannya
barusan. Sruput..Ehm memang pas sekali rasa kopi ini di lidah ku.
“Gimana tidurnya malam tadi bang..?” tanya wanita
berkulit sawo matang di depan ku ini sambil tersenyum manis ke arah ku.
Deg..hampir saja gelas kopi yang berada dalam
genggaman ku terlepas jatuh. “Pulas mak..” jawabku sambil berusaha
menghilangkan rasa kagetku barusan.
“Jadi berangkat pagi ini ke Dusun bang? ” Suara
Bono menimpali percakapan kami, sambil melihat kearahku, belum sempat aku
menjawab pertanyaan nya. Wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun
bicara.
”Tadi pakaian kotor abang yang tergantung di kamar
mandi udah emak cuci sekalian“ katanya sambil melihat ke arahku, lalu
melanjutkan.
“Tadi pagi abang masih tidur, pas emak mau menyuci
pakaian, emak liat pakaian abang sudah kotor sekali, sudah berapa bulan nggak
di cuci Bang?” katanya sambil tertawa kearahku.
“Iya mak, terima kasih. Baru setengah bulan.”
jawabku berusaha mencandainya.
“Berarti abang tidak jadi berangkat pagi ini”
kata Bono sambil tersenyum melihat ke arahku.
“Iya”
Jawab ku sambil melihat ke arahnya.
“Mungkin besok kalau pakaian abang sudah kering”
tambahku lagi, sambil melihat ke arah wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun di depanku.
“Ya sudah pada sarapan sana,” kata Wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun menyuruh bono sambil melihat ke
arahku. “Iya mak,” jawab Bono.
“Kalau abang mau, siap sarapan kita ke ladang
melihat tanaman kopi, kulihat abang suka sekali dengan kopi.” kata bono padaku.
“Boleh.” jawabku senang, karena jujur saja aku memang menyukai segelas kopi
murni yang di campur dengan susu tanpa gula.
**
SETELAH sarapan, aku ikut bono yang katanya akan
menunjukan tanaman kopi di kebun nya, kami menyusuri batang-batang karet yang
kata Bono termasuk jenis tanaman tahunan dan dapat tumbuh sampai umur 30 tahun,
dengan tinggi tanaman bisa mencapai 15–20 meter.
Menurutnya, modal utama dalam pengusahaan
pengelolaan tanaman karet ini adalah batang setinggi 2,5 sampai 3 meter dimana
terdapat pembuluh latek, Oleh karena itu fokus pengelolaan tanaman karet ini
adalah bagaimana mengelola batang tanaman ini seefisien mungkin.
Aku terus berjalan mengikutinya dari belakang,
sambil mendengarkan cerita Bono tentang jenis tanaman ini. Tanaman karet ini
menurutnya memiliki masa belum menghasilkan selama lima tahun (masa TBM 5
tahun) dan sudah mulai dapat di sadap pada awal tahun ke enam ini. Secara
ekonomis tanaman karet ini dapat di sadap selama 15 sampai 20 tahun.
Kami berhenti di pas di depan tanaman kopi yang di
tanam di antara batang karet, jarak tanam nya antara satu batang dengan batang
lain nya sedikit berbeda dengan batang-batang karet yang kami lalui tadi.
“Dalam tumpang sari, karet di tanam dengan jarak
yang lebar dan luas. Tanpa tumpang sari karet di tanam 3 meter x 7 meter.
Dengan tumpang sari paling tidak 3 meter x 8 meter atau 3 meter x 10 meter.“
kata Bono sambil menunjuk ke arah batang karet, lalu meneruskan ucapan-nya.
”jarak seperti ini akan membuat populasi karet agak
sedikit, namun tidak akan mengurangi jumlah produksi karet. Hanya saja perlu
penggunaan pupuk yang lebih optimal. Bahkan bisa membuat produksi karet menjadi
tinggi, keuntungan nya adalah akan ada tambahan penghasilan dari kopi.” katanya
berhenti sejenak, mengambil rokok klembak menyan dari kantung celananya,
membakar-nya lalu meng”hisap”nya dalam-dalam. Sambil menghembuskan asap nya
dari mulut dan hidungnya, dia kembali meneruskan.
”Saat ini biji kopi di luaran sana sekitar Rp.40
ribu perkilogram. Bila di tumpang sarikan satu hektar sekitar 200 populasi
kopi. Satu kali panen bisa 100 kilogram, dalam satu tahun, bisa 4 kali panen.
Hasilnya cukup lumayan untuk menambah penghasilan.” katanya lagi sambil melihat
ke arahku yang sedang melihat-lihat biji kopi sambil mendengarkan
penjelasannya.
Dia mengambil buah kopi yang menurutnya sudah
matang, Kemudian melanjutkan pembicaraan-nya, “Ini adalah sumber bahan baku
dari kopi yang abang minum pagi tadi,” katanya sambil menyerahkan biji kopi itu
padaku, ku perhatikan biji kopi yang barusan di petik olehnya.
“Kopi adalah minuman hasil seduhan biji kopi yang
telah di sangrai dan di haluskan menjadi bubuk. Kopi merupakan salah satu
komoditas di dunia yang di budidayakan lebih dari 50 Negara. Dua varietas pohon
kopi yang dikenal secara umum yaitu Kopi Robusta (Coffea canephora) dan Kopi
Arabika (coffea Arabica).
Kopi yang abang minum tadi pagi itu sudah melalui
proses panjang, mulai dari pemanenan biji kopi yang telah matang baik dengan
cara mesin maupun dengan tangan, kemudian di lakukan pemrosesan biji kopi
gelondong dan pengeringan sebelum menjadi kopi gelondong. Proses selanjutnya
yaitu penyangrai dengan tingkat derajat yang bervariasi. Setelah
penyangraian, biji kopi di giling atau di haluskan menjadi bubuk kopi sebelum
dapat di minum.
Kata kopi sendiri awalnya berasal dari Bahasa Arab,
qahwah yang artinya kekuatan, karena pada awalnya kopi di gunakan sebagai
makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi
kahweh yang berasal daribahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie
dalam Bahasa Belanda. Penggunaan kata koffie segera di serap ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi kata kopi yang di kenal saat ini.” Aku cuma
diam mendengar semua penjelasan-nya barusan, tak menyangka bahwa wawasan Bono
seluas ini. Melihat kecerdasan Bono, aku jadi ingat “Emak” nya, ingat emaknya,
aku jadi senyum-senyum sendiri, ingat dengan mimpiku tadi malam.
Baca selengkapnya di sini
