Hari-hari berikutnya, mereka semakin dekat.
Clara mengajarkan hal-hal kecil: seperti bagaimana caranya menikmati secangkir kopi, bagaimana tertawa tanpa alasan dan bagaimana menangis tanpa harus merasa malu.
Bagi Arka, itu semua adalah hal yang baru. Saat ini Ia merasa seperti anak kecil yang baru mengenal dunia di depan Clara.
Bagian ini terkunci. Masukkan password untuk membaca selengkapnya.
Lelaki dari Masa Depan dan Cinta yang Tak Pernah Usai
Malam itu, hujan turun pelan, tetesan air terlihat jelas di jendela-jendela kaca kota yang tak pernah benar-benar tidur.
Seorang lelaki muda terlihat sedang berdiri di sudut jalan, basah kuyup namun tak bergeming.
Namanya Arka, seorang pengembara yang datang dari abad ke-29
Ia datang bukan untuk menaklukkan masa kini, bukan untuk mengubah sejarah,
tetapi untuk mencari sesuatu yang sudah lama hilang di masanya: perasaan cinta, kasih sayang dan ketulusan yang telah lama hilang di masa nya.
Dunia di masa depan, tempat dimana Arka berada terlalu dingin dan begitu membosankan. Di masa itu sudah tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi pelukan kasih sayang, yang ada hanyalah algoritma, mesin, dan keabadian yang terasa begitu hampa.
Arka begitu lelah dengan semua itu di masa nya. Ia ingin merasakan kehangatan, hangatnya jiwa yang hidup—sesuatu yang tidak pernah ada di tempat asalnya.
Dan di situlah ia melihatnya.
Seorang perempuan dengan payung merah, berdiri di bawah cahaya lampu jalanan kota.
Wajahnya sederhana, tapi senyumnya terasa sangat menggoda, di bawah payung, senyumnya terlihat bak fajar pertama yang menyibak gaun hitam milik sepertiga malam.
Namanya Clara.
Pertemuan yang Mengikat Waktu
“Clara…” Arka berbisik lirih, meski di tempat ini Clara belum mengenalnya.
Saat tatap mata mereka bertemu, ada sesuatu yang bergetar—seakan waktu merestui perjumpaan mereka berdua saat ini.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Clara, ketika melihat Arka basah kuyup.
Arka hanya tersenyum samar. Ia tak bisa berkata bahwa dirinya adalah pengembara dari masa depan yang datang karena ingin menemuinya di tempat ini. Ia tak bisa menjelaskan bahwa setiap detik bersamanya di tempat ini adalah detik yang mencuri dari takdir.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin dekat.
Clara mengajarkan hal-hal kecil: seperti bagaimana caranya menikmati aroma dari secangkir kopi, bagaimana tertawa tanpa alasan dan bagaimana menangis tanpa harus merasa malu.
Bagi Arka, itu semua adalah hal yang baru. Saat ini Ia merasa seperti anak kecil yang baru mengenal dunia di depan Clara.
Di malam sunyi, Clara pernah berkata:
“Kalau kau tersesat, kembalilah ke belakang, pulanglah ke rumah, ada aku yang menunggumu di rumah ini.”
Arka menunduk, menahan getar dalam dadanya. Baginya, kata-kata itu lebih berharga daripada seluruh teknologi yang Ia miliki di masa depan.
Luka yang Mengintai
Namun, rahasia selalu menunggu untuk terbuka.
Suatu malam, Clara menemukan sebuah benda aneh di tas Arka—sebuah perangkat kecil yang berkilau biru, bukan dari dunia ini.
“Apa ini?” tanyanya dengan mata penuh curiga.
Arka terdiam. Ia tahu, inilah saatnya kebenaran harus keluar.
“Aku… bukan dari masa ini. Aku datang dari masa depan.”
sesaat Clara membeku. Hatinya seperti runtuh menerima kenyataan ini
“Jadi selama ini… kau hanya sementara? Semua ini… semua yang kau berikan… hanya pinjaman waktu?”
Arka menggenggam tangan Clara yang tampak gemetar.
“Clara, aku tidak pernah main-main denganmu, dengan hubungan kita. Aku datang karena aku ingin merasakan… cinta. Dan aku menemukannya… bersamamu.”
Air mata Clara jatuh ke pipinya.
“Tapi kau akan pergi, bukan? Kau akan meninggalkanku di sini dengan luka?”
Pertarungan Antara Cinta dan Takdir
Hari-hari setelah pengakuan itu dipenuhi dilema.
Arka ingin bertahan. Ia ingin melawan takdir, melawan mesin waktu yang menuntutnya harus segera kembali ke masa nya.
Tetapi Ia juga sadar, bahwa jika ia tetap memaksa untuk tetap tinggal, maka sejarah bisa runtuh, masa depan bisa kacau dan putaran waktu akan berubah.
“Kalau aku tinggal, mungkin dunia ini akan berubah. Mungkin kau tidak akan pernah lahir. Aku tidak bisa membayangkan kehilanganmu dengan cara itu…” kata Arka, suaranya patah.
Clara menggenggam wajahnya.
“Kalau begitu, tinggallah. Biarkan dunia kacau, asal hatiku tidak hancur karena harus kehilanganmu.”
Arka menutup mata. Ia ingin, oh betapa ia ingin sekali berada di tempat ini bersama Clara, seorang wanita yang baru nengenalnya di masa kini tapi sudah menggoreskan cerita yang begitu indah di kehidupannya. Tapi ia tahu, cinta sejati bukan hanya tentang memiliki—kadang, cinta adalah tentang mengorbankan diri demi yang lain.
Malam Perpisahan
Di malam terakhir, di bawah langit penuh bintang, mereka duduk berdua.
Arka menggenggam tangan Clara, seakan itu adalah hal terakhir yang bisa ia genggam.
“Clara…” suaranya pecah, “kalau suatu hari kau melihat bintang jatuh, anggaplah itu aku… yang masih mencoba kembali padamu.”
Clara tersenyum pahit, matanya basah.
“Dan kalau suatu hari kau merindukanku… lihatlah ke dalam hatimu. Aku akan selalu ada dan tinggal di sana untukmu. Selamanya. Aku ingin abadi bersamamu Arka.”
Mereka berpelukan. Tak ada janji yang harus ditepati, mereka hanya tidak ingin melewatkan setiap detik demi detik yang terasa begitu berharga saat ini, mereka sadar bahwa malam ini mungkin adalah malam terakhir kebersamaan mereka berdua di tempat ini, tidak banyak kata yang terucap, yang ada hanyalah ketulusan, cinta dan kehangatan.
Saat fajar merekah, cahaya biru menyelimuti Arka.
Dan dalam sekejap, ia menghilang dari tempat ini.
Cinta yang Tak Pernah Pergi
Clara berdiri, beranjak dari tempat tidurnya, sendiri, menatap cermin besar meja rias di depannya. Clara menggigit bibir tebal mungil miliknya, saat kembali mengingat ucapan Arka, "Aku menyukai aroma dan rasa nya." sesaat dia menatap seisi kamarnya dari dalam cermin besar di hadapannya, kamar tidurnya yang bernuansa putih semua, sprei kasur yang masih berantakan, pintu kamar mandi di sudut kamar tidurnya, juga selimut tebal dimana tidak lagi ada Arka di dalamnya.
mata nya sedikit berkaca-kaca saat kembali menyadari bahwa
kamar ini telah kosong kembali seperti sebelum kedatangan Arka ke tempat ini, namun jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ia melihat betapa Arka sebenarmya tidak pernah benar-benar pergi meninggalkan diri nya. di dalam kamar lain yang terletak jauh di dalam ruang hatinya, Arka ada, menemani hari-harinya, baik di dalam suka maupun duka,
Di masa depan yang dingin dan hampa, Arka terlihat tengah duduk sendirian, menatap ruang kosong di depannya sambil tersenyum, mengingat rasa dan aroma dari secangkir kopi yang pernah Ia nikmati di masa kini bersama Clara.
Di tengah sunyi, ia masih bisa mendengar suara Clara berbisik pelan jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam:
“Cinta mungkin tidak mengenal masa. Tapi Ia tahu bagaimana caranya untuk terus bertahan di dalam jiwa yang tulus karena cinta.”
:
Kadang cinta hadir hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat hidup terasa berarti. Waktu bisa memisahkan raga, tapi tidak pernah bisa memisahkan jiwa yang saling mencinta.