Mengenal Apa itu Kapitayan
Mengenal Ajaran Agama Kapitayan
Agama Kapitayan adalah sebuah kepercayaan atau sistem spiritual kuno yang diyakini dianut oleh masyarakat Nusantara sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Kapitayan sering disebut sebagai ajaran asli leluhur Nusantara, khususnya di wilayah Jawa, dan mencerminkan bentuk spiritualitas yang menekankan keharmonisan dengan alam, penghormatan kepada leluhur, dan penyembahan kepada kekuatan ilahi yang tidak berbentuk (monoteisme spiritualistik).
🔷 Asal-usul dan Makna "Kapitayan"
Istilah "Kapitayan" berasal dari kata dasar "Pitaya" yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti percaya atau keyakinan spiritual. "Ka-pitayan" berarti tempat atau sistem keyakinan. Ajaran ini berkembang di masa sebelum pengaruh India masuk ke Nusantara, sekitar sebelum abad ke-4 M.
Berbagai kajian telah dilakukan untuk mencari data tentang Etnis penghuni Nusantara, bahwa sejak masa "Berburu" pada jaman Purba, manusia sudah mengenal keyakinan dan harapan yang menjadi cikal bakal Agama Purba. Sejak jaman Pleistosen akhir para penghuni Nusantara sudah mengenal peradaban yang berkaitan dengan Agama, dari berbagai hasil budaya batu purba seperti Menhir, Dolmen, Yupa, Sarkofagus, dan punden berundak membuktikan bahwa penghuni Sudah mengenal Agama dengan berbagai ritual pemujaanya. berlanjut ke jaman perunggu sampai ke jaman logam banyak ditemukan hasil galian yang berhubungan dengan penguburan mayat dan kegiatan sosial yang mengindikasikan bahwa ada hubungan antara prilaku sosial dan Agama pada kehidupan penghuni Nusantara.

Mengenal Ajaran Agama Kapitayan
P. Mus dalam L.Inde vue de I'est. Cultes Indiens Etindigenes au Champa, menjelaskan bahwa pada zaman purbakala pernah terdapat kesatuan kebudayaan pada wilayah yang luas meliputi India, Indochina, dan Nusantara termasuk kepulauan di wilayah Pasifik, mereka percaya kepada sesuatu yang ghaib dibalik benda-benda yang besar dan luas yang telah memberi keberuntungan atau kesialan dalam kehidupan mereka, juga percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki kedaulatan untuk memanggil, mendamaikan atau mengusir kekuatan ghaib tersebut. Kepercayaan tersebut yang disalah artikan oleh Ilmuan Orientalis dengan istilah Animisme dan Dinamisme
kepercayaan yang disebut P. Mus sebagai Animisme Dinamisme tersebut pada hakikatnya adalah Agama Kuno penduduk Nusantara yang dalam istilah jawa dikenal dengan nama Kapitayan.
Agama yang sudah dianut sekian lama sejak Masa Paleolitikum hingga zaman Modern dengan nama yang berbeda-beda di setiap wilayahnya seiring dengan perkembangan ras manusia dan membentuk suku-suku di Nusantara, Seperti berbeda-bedanya bahasa di setiap suku, Nama agama ini pun menjadi berbeda-beda di setiap wilayahnya seperti Isilah Sunda Wiwitan pada suku Sunda, Kejawen pada suku Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku Dayak, Ugamo Malim pada suku Batak dan nama yang lain pada setiap suku yang berbeda sebelum datangnya pengaruh Indus dan China pada awal abad Masehi dan membentuk kerajaan-kerajaan baru dengan agama baru
Dalam keyakinan penganut kapitayan di Jawa, leluhur yang pertama kali dikenal sebagai penganjur Kapitayan adalah Danghyang Semar keturunan tegas dari Manusia Modern (Homo Sapiens) pertama yang di turunkan ke dunia yaitu Adam. Dalam kitab kuno Pramayoga dan Pustakaraja Purwa Silsilah Nabi Adam sampai Danghyang semar dijelaskan sebagai berikut :

Mengenal Ajaran Agama Kapitayan
Dalam keyakinan penganut Kapitayan, leluhur yang pertama kali sebagai penyebar Kapitayan adalah Dang Hyang Semar putera Sang Hyang Wungkuham keturunan Sang Hyang Ismaya. Yang mengungsi ke Nusantara bersama saudaranya Sang Hantaga (Togog) akibat banjir besar di Negara asalnya dan akhirnya Semar tinggal di Jawa dan Togog di luar Jawa. Sedangkan saudaranya yang lain yaitu Sang Hyang Manikmaya, menjadi penguasa alam ghaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-Hyang-an.
Secara sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya yang bermakna hampa, kosong, suwung, awang uwung. Taya bermakna yang Absolute, yang tidak bisa dipikirkan dan dibayang bayangkan, tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat "Tan kena Kinaya Ngapa" yang artinya tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata Taya bermakna tidak ada tapi ada, ada tetapi tidak ada. Untuk itu agar bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna seutas benang, daya ghaib yang bersifat Adikodrati.

Mengenal Ajaran Agama Kapitayan
Tu atau To adalah tunggal dalam dzat, Satu pribadi. Tu Lazim disebut Sanghyang Tu-nggal, Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ke-tidak baikan.
Tu yang bersifat baik disebut Tu-han dengan nama Sanghyang Wenang, Tu yang bersifat tidak baik disebut han-Tu dengan nama Sang Manikmaya. Baik Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya adalah sifat saja dari sanghyang Tunggal yang Ghaib. Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat utamanya itu bersifat ghaib, untuk memujanya dibutuhkan sarana yang bisa didekati oleh panca indrera dan alam pikiran manusia. demikianlah, dalam ajaran kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan sang taya yang mempribadi dalam Tu atau To itu ada dibalik segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To seperti : wa-Tu (Batu), Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak), Tu-tud (hati,limpa), To-san (pusaka), Tu-ban (mata air), To-peng, Tu-rumbuk (pohon beringin), Tu-gu.

Mengenal Ajaran Agama Kapitayan
Dalam melakukan puja bakti sesembahan kepada Sanghyang Taya maka disediakan sesaji Tu-mpeng dalam Tu-mpi (keranjang anyaman bambu), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yang sifat gaibnya tersembunyi dibalik sesuatu yang memiliki daya ghaib seperti wa-Tu, Tu-gu, Tu-rumbuk, Tu-lang, Tu-ndak, To-san, To-ya.
Namun untuk melakukan permohonan yang tidak baik, persembahan ini akan ditujukan kepada han-Tu yang bernama sang Manikmaya dengan persembahan yang buruk bernama Tu-mbal. Berbeda dengan persembahan sesaji kepada Sanghyang Tu-nggal yang merupakan puja bakti melalui pelantara, para Rohaniawan kapitayan melakukan sembah-Hyang langsung kepada Sanghyang Tu-nggal di suatu ruangan khusus bernama Sanggar, bangunan persegi empat beratap Tu-mpang, dengan Tu-tuk (lubang) di dinding sebelah timur sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya, dengan mengikuti aturan tertentu :
-
Mula mula sang Rohaniawan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tu-tuk (lubang) dengan kedua tangan diangkat keatas menghadirkan Sanghyang Taya kedalam Tu-tud (hati), setelah merasa Sanghyang taya hadir didalam hati, kedua tangan diturunkan di dada tepat pada Tu-tud (hati), posisi ini disebut Swadikep (sidakep/memegang ke-akuan diri), proses Tulajeg ini dilakukan dalam tempo lama.
-
Setelah tulajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang kebawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama.
-
Lalu dilanjut kan dengan posisi Tu-lumpuk (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki) dilakukan dalam relatif lama
-
Yang terakhir, dilakukan dengan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya) juga dilakukan dalam tempo yang lama.
-
Setelah melakukan sembahyang yang begitu lama itu, Rohaniawan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Sanghyang taya yang sudah disemayamkan didalam Tu-tud (hati).

Mengenal Apa itu Kapitayan
Seorang pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai Tu-ah (kekuatan gaib yang bersifat positif) dan Tu-lah (kekuatan gaib penangkal negatif).
Mereka yang memiliki Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat dengan gelar ra-Tu atau dha-Tu.
Dalam ajaran kapitayan, para ra-Tu atau dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah setiap gerak geriknya akan ditandai oleh Pi, yaitu kekuatan dari sanghyang taya yang tersembunyi. itu sebabnya ra-Tu atau dha-Tu menyebut diri dengan kata ganti Pi-nakahulun
-
Jika berbicara disebut Pi-dha-Tu (Pi-dato)
-
Jika memberi pengajaran disebut Pi-wulang
-
Jika memberi nasihat disebut Pi-tutur
-
jika memberi hukuman disebut Pi-dana
-
Jika memancarkan wibawa disebut Pi-deksa
-
Jika meninggal dunia disebut Pi-tara
-
Seorang ra-Tu atau dha-Tu adalah pengejawantahan kekuatan ghaib Sanghyang Taya, Citra pribadi sanghyang Tunggal.
Demikianlah ajaran yang dianut oleh bangsa Nusantara sejak zaman purba dan masih bertahan sampai hari ini dengan nama dan cara yang berbeda seiring dengan perkembangan ras manusia beserta kebudayaanya. pada masa Modern, ajaran tersebut masih secara utuh dianut oleh sebagian masyarakat suku pedalaman dengan istilahnya masing-masing seperti: Sunda Wiwitan pada suku Sunda, Kejawen pada suku Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku Dayak,Ugamo Malim pada suku Batak
Adapun agama-agama yang sekarang ada adalah pengaruh dari luar yang baru datang sejak awal Abad Masehi, seperti Agama Hindu dan Budha dari India dan China, Agama Kristen dari Eropa, dan Agama Islam yang merupakan pengaruh dari berbagai negeri seperti Persia, Arab, Rum, Gujarat, Tiongkok dan Champa.
Sumber : https://bloggueloe.blogspot.com/2016/10/nusantara-dan-agama-di-mata-sansekerta.html?m=1
🔷 Ajaran Utama Kapitayan
Berikut beberapa inti ajaran Kapitayan:
1. Tuhan Yang Esa (Sang Hyang Taya)
-
Dalam Kapitayan, Tuhan disebut sebagai Sang Hyang Taya, artinya yang tidak dapat dilihat, disentuh, dipikirkan, maupun dibayangkan.
-
Konsep ini mirip dengan monoteisme: satu Tuhan yang Maha Ada tapi tidak berwujud (nirguna), berbeda dari dewa-dewi dalam Hindu atau figur ilahi lainnya.
2. Keseimbangan Alam dan Kehidupan
-
Ajaran ini sangat menekankan keseimbangan (harmoni) antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual.
-
Konsep seperti Tri Tangtu atau Tri Hita Karana (manusia, alam, Tuhan) muncul dari pemikiran ini.
3. Pemuliaan Leluhur (Nenek Moyang)
-
Leluhur dianggap sebagai perantara antara manusia dan Sang Hyang Taya.
-
Praktik seperti sesajen, ritual bersih desa, dan upacara selamatan adalah bagian dari bentuk penghormatan terhadap arwah leluhur.
4. Tempat Pemujaan (Pundhen/Pundhi)
-
Tempat-tempat seperti batu besar, sumber air, pohon besar, atau gunung digunakan sebagai sarana spiritual, bukan untuk menyembah benda itu, tapi sebagai perantara komunikasi kepada Sang Hyang Taya.
-
Istilah seperti Sanggar atau Punden Berundak berasal dari tradisi ini.
5. Laku dan Tapabrata (Asketisme dan Disiplin Diri)
-
Penghayat Kapitayan menjalankan "laku" atau tirakat (puasa, meditasi, tapa) untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Taya.
-
Hidup sederhana, jujur, dan menjaga keharmonisan sosial dianggap bentuk ibadah.
🔷 Nilai-nilai Agung Leluhur Nusantara dari Kapitayan
-
Gotong Royong: Budaya tolong-menolong dan kolektivisme spiritual.
-
Tata Krama dan Etika: Menjaga sopan santun sebagai bagian dari keharmonisan batin dan sosial.
-
Kearifan Lokal: Penggunaan alam dan kearifan tradisional sebagai bagian dari kehidupan spiritual.
-
Spiritualitas Non-Dogmatis: Tidak kaku atau terikat pada kitab tertentu, melainkan berdasar pengalaman batin dan laku pribadi.
🔷 Warisan Kapitayan dalam Budaya Nusantara
Meskipun tidak lagi berdiri sebagai agama formal, nilai-nilai Kapitayan masih hidup dalam budaya lokal, seperti:
-
Ritual Ruwatan, Sedekah Bumi, Slametan, Nyepi Desa, dll.
-
Pengaruh dalam ajaran Kejawen di Jawa dan berbagai tradisi lokal lainnya.
Ajaran Kapitayan adalah kepercayaan asli Nusantara yang berkembang di Jawa sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam. Untuk memvisualisasikan ajaran Kapitayan, berikut ini adalah bentuk bagan/diagram sederhana yang menggambarkan struktur kepercayaannya:
🌿 Bagan Ajaran Kapitayan
TUHAN TERTINGGI
----------------
SANG HYANG TAYA
(Tidak berwujud, tidak bernama, tidak bisa dipikirkan)
|
---------------------------------------------------------
| |
TEMPAT SUCI SIMBOL / SIMBOLIK
----------------- ---------------------
- Pura / Punden (batu) - Tugu (phallus/Lingga)
- Sanggar lambang penciptaan
- Siti Hinggil (tanah tinggi) - Api, Air, Angin, Langit
|
---------------------------------
| |
AJARAN ETIKA MORAL PEMUJAAN & RITUAL
-------------------------- --------------------------
- Keselarasan dengan alam - Tidak ada patung/tuhan berwujud
- Kejujuran dan kesucian batin - Upacara: sesaji, meditasi
- Tujuan hidup: harmoni - Sesaji: bunga, air, makanan
- Tempat suci: punden berundak
|
PENGARUH KEMUDIAN
------------------------------------------------
| |
Hindu-Jawa Kejawen
(sinkretisme, muncul (ajaran spiritual Jawa kontemporer,
konsep Dewa, dewa lokal) warisan nilai Kapitayan)
🧠Penjelasan Singkat:
-
Sang Hyang Taya: Konsep Tuhan yang tidak bisa dijelaskan atau dibayangkan, mirip konsep Tao dalam Taoisme atau Brahman Nirguna dalam Hindu.
-
Ritual & Simbol: Tidak menyembah berhala. Penghormatan dilakukan melalui simbol-simbol alam dan kesucian tempat.
-
Etika: Inti ajaran adalah keselarasan dengan alam dan batin yang suci.
-
Warisan: Banyak unsur Kapitayan masih hidup dalam budaya Jawa seperti Kejawen, Slametan, dan upacara adat.
🔷 Penutup
Agama Kapitayan mencerminkan spiritualitas Nusantara yang dalam, luhur, dan penuh kearifan. Ia menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia telah memiliki sistem nilai tinggi dan ajaran monoteistik jauh sebelum datangnya pengaruh luar. Mengenali Kapitayan berarti menghargai akar spiritual leluhur kita sendiri.