Apakah Tuhan Paham Bahasa Jawa?

Apakah Tuhan Paham Bahasa Jawa?
Apakah Tuhan Paham Bahasa Jawa? Inilah Ajaran Leluhur yang Terlupakan!
Apakah benar Tuhan hanya bisa dimengerti lewat satu bahasa kitab tertentu? Apakah doa dan pujian hanya sah jika dilafalkan dalam bahasa Arab, Ibrani, atau Sanskerta?
Lalu bagaimana dengan bahasa ibu kita—bahasa Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, atau bahasa-bahasa Nusantara lainnya? Apakah semua itu tak bisa dipakai untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta?
Sebuah pertanyaan menggelitik seringkali muncul dalam benak kita saat merenungi spiritualitas: Apakah Tuhan hanya bisa dimengerti lewat bahasa kitab tertentu? Seolah-olah, Dia yang Maha Luas hanya menurunkan firman-Nya dalam satu atau dua bahasa "suci", yang seringkali bukan bahasa ibu kita. Lalu, bagaimana dengan kekayaan bahasa Nusantara—Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak—yang telah membentuk cara kita merasa dan berpikir selama ribuan tahun?
Pertanyaan ini bukanlah sebuah sanggahan, melainkan sebuah undangan untuk menyelami kembali kedalaman spiritualitas warisan leluhur kita, khususnya dari tanah Jawa. Sudah saatnya kita menyadari bahwa petuah-petuah simbah (kakek/nenek) kita di masa lalu bukanlah sekadar nasihat biasa, melainkan sarat dengan nilai spiritual luhur yang tidak kalah dalamnya.
Kesalahpahaman tentang "Bahasa Suci"
Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa untuk benar-benar terhubung dengan Yang Ilahi, kita harus fasih dalam bahasa Arab, Ibrani, Sanskerta, atau bahasa-bahasa lain tempat kitab suci agung diturunkan. Tidak ada yang salah dengan mempelajari bahasa-bahasa tersebut, namun keyakinan bahwa Tuhan hanya mengerti bahasa itu bisa menciptakan jarak. Spiritualitas terasa asing, jauh, dan harus diterjemahkan.
Padahal, esensi pesan ilahi bersifat universal. Tuhan, dengan segala kemahaluasan-Nya, tentu memahami setiap getaran hati dan untaian doa, tak peduli dalam bahasa apa itu diucapkan. Bahkan, dalam banyak ajaran agama samawi pun ditegaskan bahwa Tuhan mengutus pembawa risalah bagi setiap kaum dengan bahasa kaumnya sendiri, agar pesan tersebut dapat dipahami dengan jelas dan tidak menjadi teka-teki.
Ini menyiratkan sebuah kebenaran fundamental: Kebenaran itu seperti air, ia akan mengambil bentuk wadahnya. Wadahnya adalah budaya dan bahasa lokal.
Kebijaksanaan Leluhur Nusantara
Di tanah Jawa, ada wejangan-wejangan para simbah yang telah diwariskan turun-temurun. Meski tidak tertulis dalam kitab suci yang kita kenal sekarang, ajaran mereka tetap sarat dengan nilai-nilai luhur: cinta kasih, keikhlasan, kesadaran diri, dan keharmonisan dengan alam semesta.
Mereka tidak mengenal istilah Tuhan dalam bahasa asing, tapi menyebut-Nya dengan kata-kata seperti Sang Hyang Widi, Gusti, Batara, Yang Maha Kuwasa. Bahasa boleh berbeda, tetapi rasa ketundukan, cinta, dan kekaguman pada Yang Maha Esa tetap sama.
Menemukan Tuhan dalam Falsafah Jawa
Ketika kita membuka kembali khazanah kearifan Jawa, kita akan menemukan mutiara-mutiara spiritual yang luar biasa. Falsafah ini tidak diucapkan dengan jargon yang rumit, melainkan dengan bahasa sehari-hari yang merasuk ke dalam jiwa. Inilah beberapa di antaranya:
"Gusti Ora Sare" (Tuhan Tidak Tidur)
Ini bukan sekadar ucapan untuk menenangkan hati yang gelisah. "Gusti Ora Sare" adalah penegasan tentang keadilan dan pengawasan Ilahi yang tak pernah berhenti. Dalam setiap tindakan, baik atau buruk, ada kesadaran bahwa tidak ada yang luput dari penglihatan-Nya. Ini adalah ajaran tentang kewaspadaan diri (eling lan waspada) dan integritas.
"Urip Iku Urup" (Hidup itu Menyala)
Sebuah falsafah hidup yang mendalam terangkum dalam tiga kata. Hidup kita diibaratkan sebagai nyala api atau cahaya. Makna sejatinya bukanlah sekadar "ada", tetapi menjadi sumber terang dan kehangatan bagi sesama dan lingkungan sekitar. Hidup yang bermakna adalah hidup yang memberi manfaat, sekecil apapun itu. Bukankah ini esensi dari ajaran tentang menjadi rahmat bagi semesta alam?
"Sangkan Paraning Dumadi" (Asal dan Tujuan Kehidupan)
Ajaran ini mengajak manusia untuk merenungkan eksistensinya secara mendalam. Dari mana kita berasal (sangkan) dan ke mana kita akan kembali (paran)? Ini adalah pertanyaan spiritual paling mendasar yang dijawab oleh setiap agama dan tradisi kebijaksanaan. Leluhur Jawa mengajak kita untuk tidak menjalani hidup secara buta, tetapi dengan kesadaran penuh akan tujuan akhir kita, yaitu kembali kepada Sang Pencipta.
"Memayu Hayuning Bawana" (Memperindah Keindahan Dunia)
Ini adalah sebuah konsep adiluhung tentang tanggung jawab kosmis manusia. Kita tidak hanya ditugaskan untuk hidup, tetapi untuk secara aktif menjaga, merawat, dan memperindah dunia—baik alam fisik, tatanan sosial, maupun kedamaian batin. Ini adalah spiritualitas yang aktif, yang membumi, yang melihat ibadah dalam setiap tindakan menjaga harmoni.
Nabi Setiap Bangsa
Dalam banyak kitab suci, disebutkan bahwa Tuhan mengutus pembawa risalah kepada setiap kaum, dengan bahasa yang mereka pahami. Artinya, Tuhan tidak memaksakan satu bahasa tertentu untuk semua umat manusia.
Kitab suci Al-Qur'an sendiri menyebut:
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan kepada mereka." (QS. Ibrahim: 4)
Ini menunjukkan bahwa bahasa hanyalah alat, bukan inti dari pesan itu sendiri.
Bahasa Rasa, Bahasa Jiwa
Leluhur kita mewariskan satu prinsip penting dalam berhubungan dengan Tuhan: bahasa yang utama adalah bahasa rasa, bahasa hati yang tulus.
Maka tidak heran jika dalam filsafat Jawa ada ungkapan:
"Sadurung Adam, wis ana manungso sing ngasta rasa."
(Sebelum Adam, sudah ada manusia yang mengemban rasa).
Artinya, spiritualitas itu lebih tua daripada nama dan gelar-gelar agama. Sebelum konsep agama formal hadir, manusia sudah memiliki rasa ketuhanan.
Mengapa Kita Lupa?
Sayangnya, seiring waktu, banyak dari kita yang melupakan akar spiritualitas lokal. Kita terjebak pada formalitas bahasa kitab tertentu, lalu menganggap bahasa ibu kita sendiri tidak suci, tidak sah, atau bahkan dianggap sesat.
Padahal, Tuhan tidak pernah membatasi komunikasi-Nya dengan bahasa manusia tertentu. Tuhan memahami isi hati kita, entah diucapkan dalam bahasa Jawa, Sunda, Batak, atau bahkan dalam diam sekalipun.
Mengapa Ajaran Ini "Terlupakan"?
Arus zaman, kolonialisme, dan cara pandang yang terkadang menganggap kearifan lokal sebagai sesuatu yang "kuno" atau "tidak murni" secara perlahan mengikis pengetahuan ini. Kita diajarkan untuk mencari kebenaran di tempat yang jauh, tanpa menyadari bahwa mata air kebijaksanaan itu ada di halaman belakang rumah kita sendiri.
Mempelajari kembali ajaran luhur Nusantara bukan berarti menolak ajaran agama yang sudah kita anut. Justru sebaliknya, ini adalah cara untuk memperkaya dan memperdalam pemahaman spiritual kita. Dengan memahami "bahasa" spiritual leluhur, pesan-pesan universal dalam kitab suci justru akan terasa lebih dekat, lebih relevan, dan lebih menyentuh hati.
Kembali Memahami dengan Hati
Maka mari kita kembalikan spiritualitas ini ke dalam keseharian kita. Tak perlu malu mendoakan anak dalam bahasa ibu kita. Tak perlu ragu mengucapkan syukur kepada Gusti dalam bahasa yang kita pahami sejak kecil.
Karena sejatinya, Tuhan itu Mahapaham, bukan hanya memahami bahasa Arab, Ibrani, atau Sanskerta, tapi juga bahasa Jawa, Sunda, Bugis, dan semua bahasa ciptaan-Nya.
Kesimpulan: Tuhan Memahami Bahasa Hati
Jadi, apakah Tuhan paham bahasa Jawa? Tentu saja. Dia memahami bahasa Sunda, Batak, Bugis, dan ribuan bahasa lainnya. Lebih dari itu, Dia memahami bahasa universal yang melampaui kata-kata: bahasa ketulusan, bahasa kasih sayang, dan bahasa perbuatan baik.
Ajaran luhur para leluhur adalah bukti bahwa percikan ilahi ditaburkan di setiap sudut bumi, dalam setiap budaya. Menyelaminya kembali adalah sebuah perjalanan pulang—menemukan kembali jati diri, kearifan, dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keakraban bahasa ibu yang kita gunakan setiap hari.
Apakah Tuhan Paham Bahasa Jawa? Inilah Ajaran Leluhur yang Terlupakan!