Kenapa Negara Makin Religius Tapi Makin Miskin?

Kenapa Negara Makin Religius Tapi Makin Miskin?
Mengurai Paradoks: Saat Religiusitas Meningkat, Mengapa Kemiskinan Mengikuti? Sebuah Tinjauan dari Filsafat Jawa
Sebuah pertanyaan provokatif kerap muncul di tengah masyarakat kita: Mengapa negara-negara dengan tingkat religiusitas yang tampak tinggi seringkali justru bergulat dengan masalah kemiskinan, korupsi, dan ketertinggalan? Video berjudul "Kenapa Negara Makin Religius Tapi Makin Miskin?" mencoba mengupas fenomena ini bukan dari kacamata ekonomi atau politik semata, melainkan melalui lensa filsafat Jawa, yang menekankan pentingnya "Kesadaran" sebagai akar dari kemajuan sejati.
Artikel ini akan menguraikan gagasan utama dari video tersebut, yang berargumen bahwa masalahnya bukan terletak pada agama itu sendiri, melainkan pada pergeseran makna dari spiritualitas yang mendalam menjadi religiusitas formal yang dangkal.
Perbedaan Mendasar: Religiusitas Formal vs. Spiritualitas Berkesadaran
Inti dari analisis ini adalah pembedaan krusial antara dua konsep:
Religiusitas Formal (Agama sebagai Simbol): Ini adalah praktik keagamaan yang berfokus pada aspek-aspek luar atau ritualistik. Cirinya adalah penekanan pada simbol, dogma, ibadah formal, dan orientasi yang kuat pada kehidupan setelah mati (akhirat). Seseorang dianggap "religius" jika ia rajin menjalankan ritual, menggunakan atribut keagamaan, dan fasih berbicara tentang dalil. Namun, seringkali pemahaman ini tidak meresap ke dalam perilaku sehari-hari di luar konteks ibadah.
Spiritualitas Berkesadaran (Agama sebagai Substansi): Ini adalah penghayatan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang termanifestasi dalam tindakan nyata. Konsep ini berakar pada "Kesadaran" (dalam filsafat Jawa disebut eling). Kesadaran di sini berarti pemahaman mendalam tentang hubungan sebab-akibat, tanggung jawab pribadi, serta keterhubungan antara manusia dengan Tuhan (Hablum Minallah), manusia dengan sesama (Hablum Minannas), dan manusia dengan alam (Hablum Minal 'Alam).
Jebakan Religiusitas Formal dan Dampaknya pada Kemiskinan
Menurut gagasan dalam video tersebut, ketika sebuah masyarakat terjebak dalam religiusitas formal, beberapa masalah cenderung muncul dan menghambat kemajuan:
Orientasi Transaksional dan Pasif: Agama diperlakukan seperti transaksi. "Saya sudah berdoa dan beribadah, maka Tuhan wajib memberikan saya kekayaan." Pola pikir ini mengabaikan hukum alam dan sosial bahwa kemakmuran adalah buah dari kerja keras, inovasi, ilmu pengetahuan, dan sistem yang adil. Fokusnya adalah "meminta" kepada Tuhan, bukan "bertindak" di dunia nyata.
Mengabaikan Dunia Demi Akhirat: Fokus yang berlebihan pada pahala dan surga seringkali membuat urusan duniawi—seperti menciptakan pemerintahan yang bersih, membangun ekonomi yang kuat, dan menjaga lingkungan—dianggap tidak sepenting urusan akhirat. Akibatnya, terjadi pembiaran terhadap korupsi, ketidakadilan, dan kemunduran, karena dianggap "hanya urusan dunia."
Rendahnya Etos Kerja dan Inovasi: Jika kekayaan dianggap sebagai "pemberian gaib" atau takdir semata, maka semangat untuk bekerja keras, belajar, dan berinovasi akan tumpul. Logika "bekerja keras pangkal kaya" digantikan oleh harapan akan keajaiban tanpa usaha yang sepadan.
Filsafat Jawa Menawarkan Solusi: Eling lan Waspada
Filsafat Jawa menawarkan sebuah jalan keluar melalui konsep Kesadaran, yang terangkum dalam prinsip "Eling lan Waspada."
Eling (Ingat/Sadar): Ini adalah kesadaran vertikal. Manusia harus selalu ingat akan asal-usul dan tujuan hidupnya, yaitu kesadaran akan Sang Pencipta. Ini adalah landasan spiritual yang memberi makna pada setiap tindakan.
Waspada (Waspada/Mawas Diri): Ini adalah kesadaran horizontal. Setelah eling, manusia harus waspada terhadap tindakannya di dunia. Ia harus memahami konsekuensi dari setiap perbuatannya terhadap sesama manusia dan alam. Bekerja dengan jujur, tidak korupsi, menjaga kebersihan, dan berlaku adil adalah manifestasi dari waspada.
Dalam perspektif ini, seorang yang benar-benar spiritual tidak akan memisahkan ibadah ritualnya dengan perilakunya di kantor atau pasar. Baginya, bekerja dengan profesional dan berintegritas adalah bentuk ibadah itu sendiri. Melawan korupsi adalah sebuah jihad. Menciptakan sistem yang adil adalah wujud dari rasa syukur kepada Tuhan.

Pertanyaan “Kenapa negara makin religius tapi makin miskin?” adalah pertanyaan kritis yang sering muncul dalam diskusi sosial, politik, dan ekonomi. Jawabannya tidak sederhana, tetapi berikut adalah beberapa faktor utama yang sering dikaji dalam sosiologi, ekonomi politik, dan filsafat agama:
1. Religiusitas Tidak Otomatis Berarti Kemajuan Ekonomi
Religiusitas masyarakat atau negara tidak secara otomatis mendorong produktivitas, inovasi, atau tata kelola ekonomi yang baik. Dalam banyak kasus:
Religiusitas bersifat spiritual atau ritual, bukan aplikatif dalam etika kerja, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
Agama berperan besar dalam moral individu, tapi jika tidak diiringi dengan kebijakan ekonomi yang efektif, hasilnya tetap stagnan.
2. Potensi Salah Arah: Simbolisme vs Substansi
Di beberapa negara, makin religius seringkali berarti:
Fokus pada simbol-simbol agama (pakaian, jargon, aturan formal),
Tapi kurang pada substansi etika sosial, seperti keadilan ekonomi, distribusi kekayaan, antikorupsi, dan perlindungan yang lemah terhadap kaum miskin.
3. Korupsi dan Tata Kelola Buruk
Banyak negara dengan tingkat religiusitas tinggi justru memiliki indeks korupsi yang juga tinggi. Artinya:
Agama tidak menjadi rem untuk perilaku menyimpang.
Hukum-hukum agama dijadikan alat politik, tapi pengelolaan negara tetap buruk.
4. Dogmatisme Menghambat Ilmu Pengetahuan
Negara-negara yang terlalu menekankan agama secara dogmatis kadang:
Meminggirkan sains, riset, dan teknologi, yang sebenarnya adalah kunci kemajuan ekonomi modern.
Fokusnya lebih pada kehidupan akhirat daripada perbaikan nasib di dunia, sehingga investasi pendidikan dan inovasi rendah.
5. Ekonomi Bukan Hanya Masalah Moral
Ekonomi berkaitan dengan:
Struktur produksi, distribusi sumber daya,
Pasar global, investasi, teknologi,
Dan bukan sekadar soal moral atau religiusitas pribadi.
Negara maju cenderung mengutamakan efisiensi, inovasi, dan akuntabilitas, terlepas dari tingkat religiusitas warganya.
6. Contoh Empiris
Negara paling maju ekonominya (misalnya Jepang, Jerman, Swedia) bukan negara paling religius.
Negara paling religius (misalnya beberapa negara Afrika atau Timur Tengah) banyak yang masih berjuang dengan kemiskinan dan ketidakstabilan politik.
Kesimpulan
➡️ Religiusitas yang tidak diimbangi etika sosial, ilmu pengetahuan, dan tata kelola yang baik malah bisa menciptakan stagnasi.
➡️ Yang dibutuhkan bukan sekadar religiusitas simbolik, tetapi penerapan nilai-nilai agama dalam keadilan sosial, etos kerja, pendidikan, antikorupsi, dan inovasi.
Pada akhirnya, filsafat Jawa ini membawa kita pada sebuah refleksi mendalam. Kemiskinan di tengah masyarakat yang religius bukanlah kesalahan agamanya, melainkan akibat dari pemahaman yang keliru. Agama yang seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan bersama, justru direduksi menjadi sekadar ritual pribadi untuk mengejar surga individual.
Kemajuan sejati, baik secara material maupun spiritual, hanya bisa dicapai ketika religiusitas formal ditingkatkan menjadi spiritualitas yang berkesadaran. Artinya, setiap ritual ibadah harus mampu membangkitkan kesadaran untuk bertindak lebih baik, lebih adil, lebih jujur, dan lebih produktif di dunia nyata. Kemakmuran sebuah bangsa tidak hanya dibangun dengan doa di ruang-ruang ibadah, tetapi juga oleh tangan-tangan yang bekerja jujur, pikiran-pikiran yang inovatif, dan sistem yang berkeadilan—semua didasari oleh kesadaran mendalam akan tanggung jawab kita di hadapan Tuhan dan sesama.
Kenapa Negara Makin Religius Tapi Makin Miskin? | Filsafat Jawa dan Kesadaran
Pernahkah Anda bertanya dalam hati:
Mengapa semakin banyak tempat ibadah dibangun, tapi kesenjangan sosial justru melebar? Mengapa masyarakat makin religius, tapi negara makin tertinggal? Video ini bukan mengkritik keyakinan, melainkan mengajak Anda merenung — tentang iman, logika, dan jalan yang terlupakan: kesadaran. Lewat kacamata filsafat Jawa, mari belajar untuk menggali kenapa bangsa ini stagnan meski doa terus dipanjat, kenapa rakyat terus diminta sabar, padahal kebodohan dibiarkan. Ini bukan ujaran kebencian, tapi suara hati — agar kita tidak terus tertidur dalam kemasan simbol suci.