Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan?

Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan?

Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan?


Sebuah Perenungan Filsafat Jawa tentang Kesadaran Ketuhanan

Kalimat syahadat, "Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah," adalah gerbang utama menuju Islam. Ia adalah pilar pertama, fondasi dari seluruh bangunan keimanan. Secara harfiah, artinya adalah "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah."

Namun, sebuah pertanyaan fundamental seringkali luput dari perenungan kita: Ketika kita berkata "aku bersaksi", apa sebenarnya yang sedang kita saksikan? Dan dengan apa kita menyaksikannya?

Jika kesaksian ini hanya sebatas ucapan lisan, ia menjadi rapuh. Ibarat seorang saksi di pengadilan yang hanya mengulang perkataan orang lain tanpa pernah melihat kejadiannya secara langsung. Inilah titik di mana filsafat dan spiritualitas Jawa memberikan kacamata yang kaya untuk menyelami makna "kesaksian" (syahadat) hingga ke dasarnya yang paling dalam, yaitu kesadaran.

Dua Tingkatan Syahadat: Lisan dan Batin

Syahadat pada dasarnya memiliki dua level:

  1. Syahadat Lisan (Syahadat al-Iqrar): Ini adalah pengakuan verbal. Kita mengucapkannya, orang lain mendengarnya, dan secara syariat, kita telah dianggap sebagai seorang Muslim. Ini adalah pintu gerbang yang penting dan tak bisa diabaikan.

  2. Syahadat Batin (Syahadat al-Hal): Inilah kesaksian yang sesungguhnya. Ia bukan lagi tentang "mengatakan" tetapi tentang "mengalami". Ia adalah kondisi (hal) di mana batin kita, kesadaran kita, benar-benar menyaksikan kebenaran dari apa yang diucapkan lisan.

Persoalannya, banyak yang berhenti pada tingkat pertama. Kita bersyahadat, tapi batin kita kosong dari penyaksian. Kita menyatakan tiada Tuhan selain Allah, namun hati kita masih "bertuhan" pada harta, takhta, ego, dan ketakutan. Di sinilah relevansi pertanyaan itu muncul: Bersyahadat, tapi tak tahu apa yang disaksikan.

Perspektif Filsafat Jawa: Mengenal Diri untuk Menyaksikan Tuhan

Filsafat Jawa, khususnya dalam tradisi mistik (kejawen/makrifat), sangat menekankan pada pengalaman batin (rasa) dan pengetahuan tentang diri sejati. Ada beberapa konsep kunci yang bisa membantu kita memahami "penyaksian" ini.

1. Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Kehidupan)

Filsafat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal dari Zat yang sama (Tuhan) dan akan kembali kepada-Nya. Manusia adalah dumadi (ciptaan) yang memiliki percikan sangkan (asal) di dalam dirinya. Menyadari hal ini adalah langkah awal untuk "menyaksikan" bahwa tidak ada entitas lain yang menjadi sumber dan tujuan sejati selain Dia. Kesaksian "Laa ilaaha illallaah" menjadi sebuah realisasi bahwa hanya Allah-lah Sangkan Paran yang sesungguhnya.

2. Manunggaling Kawula Gusti (Kesatuan Hamba dan Tuhan)

Konsep ini sering disalahpahami sebagai penyatuan fisik. Padahal, Manunggaling Kawula Gusti adalah kondisi kesadaran di mana seorang hamba (kawula) sudah tidak lagi merasakan "keakuannya" yang terpisah dari kehendak Tuhannya (Gusti).

  • Kawula: Adalah ego, nafsu, pikiran, dan perasaan kita yang selalu berkata "aku". "Aku" ingin ini, "aku" takut itu, "aku" yang berkuasa.

  • Gusti: Adalah Realitas Absolut, Kehendak Tuhan, Sumber Kehidupan.

"Menyaksikan" dalam konteks ini adalah proses menyingkirkan selubung "keakuan" (kawula) sehingga yang tersisa untuk disaksikan hanyalah Realitas Mutlak (Gusti). Ketika ego kita sirna, barulah kita bisa menyaksikan bahwa satu-satunya "Aktor" yang sejati, yang Maha Hidup, yang Maha Berkehendak, adalah Allah. Inilah puncak penyaksian batin.

3. Rasa Sejati

Jika mata fisik menyaksikan dunia benda, lalu apa yang menyaksikan Tuhan yang Gaib? Filsafat Jawa menyebutnya rasa sejati—bukan emosi sesaat, melainkan intuisi batin yang paling dalam, sebuah organ spiritual untuk menangkap kebenaran hakiki.

Syahadat yang sejati terjadi ketika rasa sejati ini aktif dan "merasakan" atau "mengetahui" secara langsung keesaan Allah. Bukan lagi "katanya", tetapi sebuah keyakinan yang mengakar dari pengalaman batin yang tak tergoyahkan.

Jadi, Bagaimana Cara "Menyaksikan"?

Penyaksian batin bukanlah proses yang instan. Ia adalah buah dari perjalanan spiritual yang disebut laku atau riyadhah.

  1. Hening dan Heneng (Diam dan Tenang): Langkah pertama adalah menenangkan gejolak pikiran dan nafsu. Dalam keheningan (hening) dan ketenangan batin (heneng), suara-suara selain suara kebenaran akan meredup.

  2. Mengenal Diri: Sejalan dengan hadis "Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa Rabbahu" (Siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya). Perjalanan ini adalah tentang menyelam ke dalam diri. Siapakah "aku" yang mengaku bersaksi ini? Ketika kita mengupas lapis demi lapis topeng ego, kita akan menemukan hakikat diri yang terhubung langsung dengan Sang Pencipta.

  3. Memandang Alam sebagai Cermin: Kesaksian juga bisa dilatih dengan memandang seluruh alam semesta sebagai tajalli (manifestasi) dari sifat-sifat Allah. Keindahan bunga adalah cermin dari sifat Al-Jamil (Maha Indah), dahsyatnya ombak adalah cermin dari Al-Jabbar (Maha Perkasa). Dengan begitu, setiap momen adalah kesempatan untuk "menyaksikan".


Mari kita bedah pertanyaan mendalam ini: "Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan?" melalui kacamata filsafat Jawa dan konsep kesadaran ketuhanan.

Ini adalah sebuah kritik spiritual yang tajam, bukan hanya dalam konteks Islam Kejawen, tetapi juga dalam tasawuf secara umum. Pertanyaan ini menunjuk pada jurang antara ritual formal (syariat) dan pengalaman batiniah (hakikat).


Makna Ganda Persaksian (Syahadat)

Secara mendasar, Syahadat memiliki dua lapisan makna:

  1. Syahadat Syariat (Persaksian Lahiriah): Ini adalah ucapan lisan, "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah." Di level ini, syahadat adalah gerbang formal untuk menjadi seorang Muslim. Ia adalah ikrar, penanda identitas, dan pemenuhan rukun Islam yang pertama. Ini adalah level kulit.

  2. Syahadat Hakikat (Persaksian Batiniah): Ini adalah level isi. Di sini, "bersaksi" bukan lagi sekadar ucapan, melainkan sebuah pengalaman langsung dan kesadaran penuh akan apa yang diucapkan. Inilah inti dari pertanyaan Anda. Seseorang yang hanya berada di level syariat tanpa menyentuh level hakikat inilah yang diibaratkan "bersyahadat tapi tak tahu apa yang disaksikan."

Perspektif Filsafat Jawa: Dari Kulit Menuju Isi

Filsafat Jawa, terutama yang telah bersintesis dengan ajaran Islam (seperti yang diajarkan oleh para Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga), sangat menekankan pada perjalanan batin untuk menemukan "isi" atau inti sari dari setiap ajaran. Konsep ini disebut "ngudi kasampurnan," atau mencari kesempurnaan hidup.

Dalam konteks ini, "bersyahadat tanpa tahu apa yang disaksikan" adalah sebuah kondisi spiritual yang belum "sempurna". Ia masih terjebak di kulit luar. Filsafat Jawa menawarkan beberapa konsep untuk membongkar masalah ini:

1. Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Kehidupan)

  • Konsep: Falsafah ini mengajarkan bahwa untuk hidup secara sadar, manusia harus memahami dari mana ia berasal (sangkan) dan ke mana ia akan kembali (paran). Keduanya bermuara pada sumber yang satu, yaitu Gusti (Tuhan).

  • Koneksi dengan Syahadat:

    • "La ilaha illallah" (Tiada Tuhan selain Allah): Persaksian ini, dalam kacamata Sangkan Paran, bukan sekadar pernyataan tentang Tuhan yang jauh di langit. Ia adalah kesadaran bahwa seluruh eksistensi, termasuk "diri" kita, berasal dari Sumber Tunggal (Allah) dan akan kembali kepada-Nya.

    • Tak Tahu Apa yang Disaksikan: Jika seseorang tidak menyadari hakikat ini, syahadatnya menjadi kosong. Ia mengakui Allah sebagai Tuhan, tetapi tidak menyadari bahwa Allah adalah sumber dan tujuan dari napasnya sendiri, dari kesadarannya sendiri. Ia menyaksikan "Tuhan" sebagai objek eksternal, bukan sebagai Realitas Mutlak yang meliputi segalanya, termasuk dirinya.

2. Manunggaling Kawula Gusti (Kesatuan Hamba dan Tuhan)

  • Konsep: Ini adalah konsep yang paling sering disalahpahami. Manunggaling Kawula Gusti bukanlah peleburan fisik di mana manusia menjadi Tuhan. Ia adalah sebuah keadaan kesadaran di mana ego (si kawula/hamba) telah sirna, sehingga yang ada dan dirasakan dalam kesadaran hanyalah Kehendak dan Kehadiran Tuhan (Gusti). Kehendak pribadi luluh dalam Kehendak Ilahi.

  • Koneksi dengan Syahadat:

    • Siapa yang Bersaksi? Pertanyaan krusial dalam filsafat Jawa adalah: Ketika engkau mengucapkan "Aku bersaksi...", siapakah "Aku" yang bersaksi ini? Apakah "aku" sang ego yang penuh keinginan, ketakutan, dan kebanggaan? Atau "Aku Sejati" (Sejatining Aku)—percikan Ilahi dalam diri yang telah bersih dari selubung ego?

    • Tak Tahu Apa yang Disaksikan: Bersyahadat dengan "aku" ego adalah persaksian palsu. Sang ego tidak akan pernah bisa benar-benar menyaksikan ketiadaan tuhan-tuhan lain, karena ego itu sendiri adalah "tuhan kecil" yang selalu menuntut untuk diperturutkan. Syahadat yang sejati hanya bisa terjadi ketika ego telah menepi, memungkinkan Rasa Sejati (intuisi spiritual) untuk menyaksikan Kebenaran Tunggal (Allah) tanpa perantara. Persaksian ini adalah pengalaman, bukan sekadar opini.

3. Ngolah Rasa (Mengolah Perasaan Batin)

  • Konsep: Filsafat Jawa tidak terlalu bertumpu pada argumen logis-rasional semata, tetapi pada rasa. Rasa di sini bukan emosi sesaat, melainkan fakultas batin yang mampu menangkap kebenaran-kebenaran halus yang tak terjangkau oleh panca indera dan akal pikiran.

  • Koneksi dengan Syahadat:

    • Dari Tahu Menjadi Merasakan: Mengetahui bahwa Allah itu Esa adalah pekerjaan akal. Merasakan ke-Esa-an Allah dalam setiap tarikan napas, dalam detak jantung, dalam kesunyian—itulah pekerjaan rasa.

    • Tak Tahu Apa yang Disaksikan: Ini adalah kondisi di mana rasa seseorang masih tumpul, tertutup oleh hiruk pikuk dunia dan keinginan nafsu (hawa nepsu). Lidahnya bersyahadat, tapi batinnya buta dan tuli terhadap kehadiran Tuhan yang senantiasa meliputi. Ia "tahu" tentang Tuhan, tapi tidak "kenal" (makrifat) dengan Tuhan.

Maka, "Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan" adalah kritik terhadap keberagamaan yang dangkal dan formalistik. Dari perspektif filsafat Jawa dan kesadaran ketuhanan, problem ini diselesaikan dengan sebuah perjalanan spiritual ke dalam diri (laku batin) untuk:

  1. Mengenal Diri Sendiri: "Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." Perjalanan ini adalah tentang menyingkap lapisan-lapisan ego untuk menemukan Sejatining Aku (Diri Sejati).

  2. Membersihkan Hati: Membersihkan "wadah" batin dari sifat-sifat tercela agar mampu menerima cahaya Ilahi.

  3. Mengalami, Bukan Sekadar Mempercayai: Mengubah keyakinan (iman) dari sekadar konsep di kepala menjadi sebuah pengalaman langsung dalam kesadaran (kasunyatan).

Syahadat yang sejati, menurut pandangan ini, bukanlah kata pembuka, melainkan puncak dari pencarian spiritual. Ia adalah momen ketika sang saksi (syahid), yang disaksikan (masyhud), dan persaksian itu sendiri (syahadah) melebur dalam satu kesadaran tunggal akan Kebenaran Absolut. Itulah makna sesungguhnya dari "menyaksikan" dengan segenap jiwa dan raga.

Kesimpulan: Syahadat sebagai Puncak Kesadaran

Bersyahadat tanpa tahu apa yang disaksikan adalah seperti memiliki peta tetapi tidak pernah melakukan perjalanan. Filsafat Jawa mengajak kita untuk tidak hanya memegang peta itu, tetapi untuk benar-benar menempuh perjalanannya.

Syahadat yang sejati bukanlah sebuah pernyataan, melainkan sebuah pencapaian kesadaran. Ia adalah kondisi di mana sang penyaksi (asyhadu) lebur dalam apa yang disaksikan (laa ilaaha illallaah). Pada titik itu, kesaksian bukan lagi diucapkan oleh lidah, tetapi digetarkan oleh seluruh jiwa raga yang telah menyadari bahwa tiada daya, tiada kekuatan, tiada wujud hakiki, kecuali Allah semata.

Pertanyaan reflektifnya bukanlah, "Sudahkah kita bersyahadat?" melainkan, "Sudahkah kita memulai perjalanan untuk benar-benar menyaksikan?"

Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan? | Filsafat Jawa & Kesadaran Ketuhanan

Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan? | Filsafat Jawa & Kesadaran Ketuhanan

Bersyahadat Tapi Tak Tahu Apa yang Disaksikan? | Filsafat Jawa & Kesadaran Ketuhanan

Apakah kita benar-benar paham makna syahadat?

Kita mengucap “aku bersaksi”, tapi… apa yang sebenarnya kita saksikan? Video berikut ini akan mengajak Anda menyelami makna terdalam dari syahadat dalam Islam—dan bagaimana filsafat Jawa sejak dahulu juga mengajarkan kesadaran tentang kehadiran Tuhan, meskipun tak terlihat. Kita sering merasa Tuhan jauh, padahal dalam Al-Qur’an disebut bahwa Dia “lebih dekat dari urat leher”. Tapi kenapa kita tidak merasa dekat? Apakah mungkin… kita melihat Tuhan setiap hari, tapi tidak menyadarinya? Video ini memadukan nilai-nilai Islam dan kebijaksanaan leluhur Jawa, dikemas dalam bahasa sederhana, penuh contoh kehidupan nyata, dan disampaikan dengan gaya pribadi.
Baca Juga

Rekomendasi untuk Anda

Rp 3.410.445
Jasa Pembuatan Website siap pakai di Pekanbaru
Rp 1.878.293
Jasa pembuatan blog siap pakai di Pekanbaru
Rp.25.000,
Berlangganan Konten Premium Rp.25.000,00 sekali baca atau Rp.120.000,00 per tahun
Rp.110.000,
Toko Buku Onlie
Lihat harga
Jika Anda berminat bisa menghubungi kami
Lihat harga
Jasa Pembuatan Peta dan Pemetaan yang 1919 Mapping

Lihat Peta

atrbpn
OpenStreetMap
Pusat Database BMKG
Google

Tanya AI

Google
ChatGPT
Meta

  • Tentang
  • Profil

    Warkasa1919
    Warkasa1919

    Lihat Profil

    Warkasa1919.com adalah sebuah platform blog dan publikasi online yang menyediakan berbagai macam konten menarik dan bermanfaat. Kami fokus membahas topik seputar Bisnis Online, Informasi Teknologi, dan berbagai artikel fiksi seperti Novel, Cerpen, dan Puisi.



  • Perlu Bantuan?

© 2025 - Warkasa1919.com.All rights reserved