Ketika Agama Tak Lagi Penuh Cinta

Ketika Agama Tak Lagi Penuh Cinta
Ketika Agama Tak Lagi Penuh Cinta: Menggali Kembali Kearifan Jawa tentang Rasa dan Dalil
Di tengah hiruk pikuk perdebatan agama yang seringkali terasa kering dan menghakimi, sebuah pertanyaan mendasar muncul: ke manakah perginya cinta dan welas asih yang menjadi inti setiap ajaran luhur? Fenomena ini menjadi keprihatinan banyak orang. Kita menyaksikan bagaimana ayat dan dalil—yang semestinya menjadi penunjuk jalan menuju kebaikan—justru kerap dijadikan senjata untuk menyalahkan, memukul, dan menegaskan kekuasaan. Ada semacam pergeseran yang mengkhawatirkan: orang lebih gigih membela teks suci daripada menyentuh dan merasakan esensi kemanusiaan itu sendiri.
Renungan inilah yang menjadi jantung dari pemikiran yang coba diangkat dalam video "Ketika Agama Tak Lagi Penuh Cinta | Renungan Anak Jawa tentang Dalil dan Kekuasaan." Video ini mengajak kita untuk menepi sejenak dari kebisingan dan melihat kembali pada sebuah kearifan kuno, khususnya dari tanah Jawa, yang menawarkan perspektif berbeda dalam memandang agama, Tuhan, dan manusia.
Filsafat Jawa: Menemukan Tuhan Lewat Rasa, Bukan Sekadar Dalil
Di zaman sekarang, banyak orang lebih sibuk membela dalil daripada merasakan makna yang terkandung di baliknya. Mereka mempertahankan teks, ayat, dan hukum secara kaku, seolah-olah itu adalah tujuan akhir. Padahal, dalam ajaran leluhur Jawa, teks atau dalil hanyalah sarana. Yang paling utama adalah rasa, yaitu kesadaran batin yang sejati, yang membawa manusia dekat kepada Sang Pencipta.
Tuhan Tidak Terjebak dalam Kata-kata
Leluhur Jawa tidak pernah menyembah teks atau huruf. Mereka sadar bahwa huruf hanyalah simbol, kata hanyalah jembatan, dan dalil hanyalah petunjuk. Yang mereka cari adalah makna terdalam, getaran rasa, dan kesadaran murni yang melampaui batas bahasa dan tulisan.
Tuhan dalam pandangan Jawa bukan sekadar konsep yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia adalah Rasa Sejati, sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang bening, oleh batin yang hening. Karena itu, orang Jawa zaman dulu tidak terpaku pada dalil-dalil harfiah. Mereka justru lebih sibuk membersihkan hatinya, menajamkan rasa, dan menjaga harmoni dengan alam dan sesama.
Dalil sebagai Peta, Bukan Tujuan
Persoalan utama yang disorot adalah pemberhalaan terhadap dalil. Dalam semangat zaman yang serba tekstual, dalil sering diposisikan sebagai kebenaran final yang kaku dan tak terbantahkan. Siapa yang paling hafal, paling fasih mengutip, dialah yang dianggap paling benar. Agama direduksi menjadi sebatas kompetisi argumentasi. Akibatnya, "rasa"—kemampuan untuk berempati, merasakan penderitaan orang lain, dan menangkap getaran keilahian dalam sanubari—menjadi terabaikan.
Padahal, jika kita telaah lebih dalam, dalil atau teks suci sejatinya adalah sebuah peta. Peta itu penting, ia memberikan arahan, petunjuk, dan rambu-rambu agar kita tidak tersesat. Namun, tujuan seorang pejalan bukanlah untuk menyembah peta itu, melainkan untuk sampai ke destinasi yang ditunjukkannya. Ketika seseorang terlalu sibuk memoles, menghafal, dan mendebatkan keindahan petanya, ia lupa untuk melangkahkan kaki dan mengalami sendiri perjalanan spiritual yang sesungguhnya.
Inilah kebutaan yang dimaksud: dalil tanpa rasa membuat manusia berhenti pada simbol dan melupakan substansi. Agama yang seharusnya membebaskan jiwa, justru menjadi penjara intelektual yang membatasi pengalaman batin.
Bahaya Dalil Tanpa Rasa
Ketika dalil dipisahkan dari rasa, manusia bisa jatuh pada kebutaan spiritual. Mereka mungkin hafal banyak ayat atau ucapan bijak, tapi hatinya keras dan tertutup. Mereka sibuk menilai siapa yang benar dan salah, tapi lupa merasakan kasih sayang yang seharusnya menjadi inti dari semua ajaran.
Inilah yang sering terjadi hari ini. Dalil digunakan untuk saling menyerang, bukan untuk saling memahami. Hukum digunakan untuk menghakimi, bukan untuk menuntun hati menuju kebaikan. Orang sibuk memaksakan keyakinan, tapi lupa menyentuh batin orang lain dengan kelembutan.
Kearifan Leluhur Jawa: Menyembah Rasa dan Kesadaran Sejati
Di sinilah filsafat Jawa memberikan oase penyejuk. Leluhur Jawa, dalam laku spiritualnya, tidak menjadikan teks sebagai Tuhan. Mereka "menyembah" atau lebih tepatnya memuliakan rasa dan kesadaran sejati (eling lan waspada).
Menyembah Rasa: "Rasa" dalam konteks Jawa bukanlah sekadar emosi sesaat. Ia adalah indra batin yang mendalam, kemampuan untuk merasakan kebenaran hakiki yang melampaui kata-kata. Melalui tepo seliro (tenggang rasa), orang Jawa dilatih untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Melalui olah batin, mereka mengasah kepekaan untuk menangkap "getaran" ilahiah di alam semesta dan di dalam diri. Rasa adalah kompas batin yang menghubungkan manusia langsung dengan sumber kehidupannya.
Kesadaran Sejati: Berbeda dengan penyembahan teks yang bersifat eksternal, leluhur Jawa menekankan perjalanan ke dalam (manunggaling kawula Gusti). Tujuannya adalah mencapai kesadaran tertinggi bahwa diri sejatinya adalah percikan dari Yang Mahakuasa. Agama bukanlah soal "aku" menyembah "Dia" yang jauh di sana, melainkan menyadari "Dia" yang bersemayam di dalam "aku". Kesadaran ini tidak bisa dicapai hanya dengan membaca, tapi harus dialami, dirasakan, dan dihidupi.
Menempatkan Tuhan di Atas Dalil
Bagi filsafat Jawa, Tuhan adalah sumber dari segala dalil, maka Dia sudah pasti lebih agung dari dalil itu sendiri. Menempatkan dalil di atas Tuhan (atau di atas rasa kemanusiaan yang merupakan percikan-Nya) adalah sebuah kekeliruan fatal. Itu sama seperti menganggap jari yang menunjuk bulan lebih penting daripada bulan itu sendiri.
Ketika agama dijalankan dengan landasan rasa dan kesadaran, dalil tidak akan pernah digunakan untuk menyakiti. Sebaliknya, setiap ayat akan dibaca dengan kacamata cinta. Dalil yang menyerukan keadilan akan dipahami sebagai panggilan untuk membela yang lemah, bukan untuk menghakimi yang berbeda. Dalil yang berbicara tentang kasih sayang akan menjadi inspirasi untuk merangkul, bukan memukul.
Panggilan untuk Kembali ke Hati Nurani
Renungan ini bukanlah ajakan untuk meninggalkan dalil atau teks suci. Sama sekali bukan. Ini adalah sebuah panggilan untuk kembali menempatkannya pada posisi yang semestinya: sebagai pemandu yang dihidupkan oleh cahaya hati nurani. Tanpa cahaya itu, sebaik apa pun petanya, kita akan berjalan dalam kegelapan.
Semoga refleksi ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua untuk tidak hanya menjadi pembaca teks, tetapi juga menjadi pelaku cinta kasih. Karena pada akhirnya, agama yang sejati adalah agama yang mampu membuat penganutnya semakin welas asih, semakin bijaksana, dan semakin terhubung dengan esensi kehidupan itu sendiri.
Rahayu… semoga kesadaran batin kita senantiasa terbangkitkan.
Kembali ke Jalan Rasa
Filsafat Jawa mengajak kita kembali ke jalan rasa, bukan sekadar jalan kata. Kita diajak untuk mengenali Tuhan di dalam diri sendiri dan di alam sekitar, bukan hanya dalam kitab atau ceramah. Rasa sejati itu hening, lembut, dan penuh welas asih. Tidak memaksakan, tidak menghakimi, tapi mengalir seperti air yang memberi kehidupan tanpa pamrih.
Orang Jawa dulu berkata:
"Sapa sing ngerti rasa, ngerti Gusti."
(Siapa yang memahami rasa, dia memahami Tuhan.)
Itulah sebabnya dalam tradisi Jawa ada banyak laku batin seperti tapa, semedi, dan olah rasa. Semua itu bukan sekadar ritual kosong, melainkan cara untuk menyucikan batin agar bisa merasakan kehadiran Tuhan yang sejati.
Penutup: Rahayu untuk Semua
Semoga kita bisa belajar dari kebijaksanaan leluhur. Jangan sampai kita terjebak pada perdebatan dalil yang tidak membawa kita ke mana-mana. Sebaliknya, mari kita hidupkan kembali rasa dalam hati kita, sehingga kita bisa merasakan Tuhan yang hadir dalam setiap nafas, dalam setiap langkah, dan dalam setiap pertemuan.
🌾 Rahayu... semoga kesadaran batin kita senantiasa terang dan jernih
Berikut beberapa kutipan dari Serat-serat Jawa dan ajaran filsuf Nusantara yang relevan dengan pernyataan “Banyak orang hari ini lebih membela dalil daripada menyentuh rasa. Padahal leluhur Jawa tidak menyembah teks, tapi menyembah rasa dan kesadaran sejati.”:
"Wruhana ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani."
(Pahamilah ilmu itu hanya bisa tercapai dengan laku (pengalaman batin), yang berangkat dari rasa, bukan sekadar kata-kata.)
Penjelasan: Leluhur Jawa menekankan pentingnya laku batin, bukan sekadar hafalan atau argumentasi teks. Ilmu yang sejati bukan diperdebatkan, tapi dijalani dengan rasa dan pengalaman hidup.
"Zaman edan yen ora edan ora keduman."
(Di zaman gila, kalau tidak ikut gila, tidak akan kebagian rejeki.)
Penjelasan: Kritik Ranggawarsita atas zaman yang kacau, di mana orang lebih sibuk dengan kepentingan duniawi dan argumentasi kosong. Ia mengajak untuk tetap menjaga kesadaran batin, bukan sekadar mengikuti arus logika duniawi.
"Ana ngelmu kang tanpa laku, iku padha karo mangan tanpa rasa."
(Ada ilmu tanpa laku, itu sama dengan makan tanpa rasa.)
Penjelasan: Pengetahuan tanpa praktik batin hanyalah kosong belaka. Leluhur menekankan pentingnya mengalami, bukan hanya memahami secara logis atau tekstual.
"Rasa itu luwih penting tinimbang pikir. Sebab pikir mung alat rasa kanggo nggayuh urip becik."
(Rasa lebih penting daripada pikir, karena pikir hanyalah alat rasa untuk mencapai hidup yang baik.)
Penjelasan: Ki Ageng Suryomentaram menegaskan bahwa kesadaran rasa adalah pusat kehidupan, sedangkan pikiran dan logika hanya alat bantu.
"Saben wong anganggo agama, nanging sapa kang ngerti rasa sejati saka agama iku?"
(Setiap orang menggunakan agama, tapi siapa yang benar-benar memahami rasa sejati dari agama itu?)
Penjelasan: Kritik terhadap orang yang beragama hanya sebatas kulit luarnya (ritual, hukum, dalil), tanpa merasakan inti spiritualitasnya.
Inti Ajaran:
-
Rasa (pengalaman batiniah) lebih penting daripada dalil (teks/logika).
-
Kesadaran sejati tidak ditemukan dalam kata-kata, melainkan dalam pengalaman hidup, ketulusan hati, dan laku spiritual.
-
Leluhur Nusantara tidak anti-ilmu, tapi menempatkan ilmu di bawah kebijaksanaan rasa.
Ketika Agama Tak Lagi Penuh Cinta | Renungan Anak Jawa tentang Dalil dan Kekuasaan
Banyak orang hari ini lebih membela dalil daripada menyentuh rasa. Padahal leluhur Jawa tidak menyembah teks, tapi menyembah rasa dan kesadaran sejati.
Video ini membahas bagaimana filsafat Jawa menempatkan Tuhan di atas dalil, dan mengapa dalil tanpa rasa bisa membutakan manusia. 🌾 Rahayu… semoga video ini membangkitkan kesadaran batin Anda.