Menulis: Melawan Lewat Kata, Bertahan Lewat Ingatan
Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan bising, ironisnya, banyak hal yang seharusnya didengar justru tenggelam dalam diam. Ketika kekuasaan terlalu kuat untuk disanggah secara langsung, dan ketika masyarakat terlalu lelah untuk melawan secara terbuka, menulis muncul sebagai salah satu bentuk perlawanan paling tenang—namun paling mengancam.
Menulis adalah tindakan. Ia bukan hanya bentuk ekspresi, melainkan juga alat perjuangan. Kata-kata yang ditulis dengan jujur dan berani bisa lebih tajam dari teriakan, lebih mengganggu dari demonstrasi, dan lebih abadi daripada suara yang hanya berlalu di udara.
Dalam sejarah, banyak penguasa otoriter takut pada tulisan. Buku dibakar, surat kabar disensor, dan penulis dikriminalisasi bukan tanpa alasan. Mereka tahu, tulisan memiliki kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan sepenuhnya. Tulisan bisa melintasi ruang dan waktu, menyusup ke dalam pikiran, dan membangkitkan kesadaran. Di sinilah letak kekuatan tulisan sebagai alat perlawanan: ia tidak membakar bangunan, tetapi bisa menggoyahkan pondasi kekuasaan.
Ketika seseorang menulis tentang ketidakadilan, ia sedang menolak untuk bungkam. Ketika seseorang mencatat penderitaan, ia sedang berusaha menyelamatkan kebenaran dari penghapusan. Menulis menjadi tindakan politis—meski secara kasat mata hanya terlihat seperti aktivitas pribadi yang sunyi.
Namun menulis tidak selalu harus berbentuk opini tajam atau kritik langsung. Bahkan tulisan-tulisan yang terlihat sederhana—seperti catatan harian, puisi, cerpen, atau kisah nyata—bisa memuat daya tahan dan perlawanan. Di balik setiap paragraf yang jujur, ada penolakan terhadap norma yang membungkam. Ada keberanian untuk tetap hadir, tetap berbicara, meskipun dunia terus menyuruh kita diam.
Lebih dari itu, menulis adalah cara kita melawan pelupaan. Dalam masyarakat yang gemar bergerak cepat, segala hal yang tidak viral dengan mudah dilupakan. Penderitaan masyarakat adat, penindasan terhadap kelompok minoritas, kekerasan berbasis gender, atau eksploitasi buruh—semuanya bisa lenyap dari percakapan publik jika tidak dicatat. Maka, menulis adalah upaya untuk mengabadikan apa yang seharusnya diingat. Ia adalah bentuk dokumentasi yang tidak hanya menyimpan data, tetapi juga perasaan, luka, dan keberanian yang menyertainya.
Seseorang mungkin bertanya: “Apa gunanya menulis kalau dunia tetap tidak berubah?”
Pertanyaan itu valid. Tidak semua tulisan akan dibaca. Tidak semua kebenaran akan didengar. Tetapi menulis bukan semata-mata soal hasil. Ia adalah sikap. Dalam dunia yang dipenuhi informasi palsu, apatisme, dan ketakutan, menulis adalah pernyataan bahwa kita belum menyerah.
Dan dalam skala kolektif, tulisan-tulisan ini membentuk kekuatan yang lebih besar. Lihatlah sejarah reformasi, gerakan antikolonial, perjuangan hak asasi manusia—semuanya memiliki akar dalam tulisan. Para pejuang, intelektual, dan rakyat biasa pernah menulis dengan darah, air mata, dan keteguhan. Tulisan mereka tidak hanya membangun kesadaran, tapi juga memberi arah.
Di era digital seperti sekarang, menulis menjadi lebih mudah—dan sekaligus lebih genting. Di satu sisi, siapa pun bisa menulis dan menyebarkan opini. Di sisi lain, ruang digital juga penuh dengan distorsi, disinformasi, dan kekacauan informasi. Justru karena itu, menulis dengan integritas menjadi bentuk perlawanan yang semakin penting. Bukan hanya melawan kekuasaan eksternal, tetapi juga melawan banalitas, kekacauan, dan ketidakpedulian.
Menulis adalah bentuk perlawanan yang bisa dilakukan siapa saja. Ia tidak butuh pangkat, jabatan, atau modal besar. Ia hanya membutuhkan keberanian untuk jujur, dan kemauan untuk tidak tinggal diam. Dalam tulisan, suara kecil bisa terdengar. Dalam tulisan, orang biasa bisa menjadi saksi. Dan dari saksi-saksi itulah, kebenaran memperoleh kekuatannya.
Maka teruslah menulis. Untuk mencatat, untuk bertanya, untuk menggugat. Untuk mengingatkan bahwa kita masih ada—dan belum selesai.
Karena selama kata-kata masih ditulis, diam bukanlah satu-satunya pilihan.