Novel | Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun
Novel | Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun
Novel | Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun
Kuikuti jalanan setapak di antara batang-batang pohon karet yang seperti mau tumbang ditiup angin ini sambil terus mempercepat langkah kakiku, menuju ke Rumah Panggung berwarna coklat tua yang sudah mulai terlihat dari tempatku berada saat ini.
Baru saja aku sampai di depan rumah panggung, hujan turun dengan lebatnya, di sertai suara petir yang mengggelegar,
Kuhampiri sepasang muda–mudi yang tengah duduk di teras depan rumah panggung dan segera ku ulurkan telapak tanganku pada anak lelaki muda yang melangkah menghampiriku. Sambil memperkenalkan diri, aku pamit untuk menumpang berteduh di tempat ini.
Setelah berkenalan, aku tau anak lelaki muda itu bernama Bono. Bono mempersilahkan aku masuk kedalam teras rumahnya.
Perempuan muda yang kulihat sedang duduk bersama Bono itu berdiri dari kursi yang sedang di duduki-nya. Lalu sambil berdiri, dia mempersilahkan aku duduk. Setelah mengucapkan terima kasih, ku turunkan tas ransel yang sedari tadi ku panggul di pundakku, lalu, kutaruh tas ranselnya pas di sebelah kursi tempat dudukku saat ini.
Perempuan muda bertubuh molek yang barusan pamit masuk ke dalam rumah itu ternyata adalah adik Bono, namanya Dita, usianya sekitar 15 tahun, memiliki rambut panjang sedikit bergelombang terurai hingga sebahu, mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu serta celana kain berwarna hitam.
SAMBIL menghisap sebatang rokok yang baru saja selesai kubakar, mataku melirik ke arah Bono yang mengenakan kaos berwarna coklat tua, saat ini, kulihat dia tengah meracik Rokok klembak Menyan[ii] di atas meja. Bono sendiri kuperkirakan berusia sekitar 20 tahun.
Sambil merokok kami mengobrol tentang banyak hal, hingga seorang wanita mengenakan kerudung bergo panjang berwarna merah marun datang membawa nampan berisi dua gelas kopi. Kuambil gelas kopi yang di tawarkan oleh wanita tinggi semampai dan sudah cukup berumur yang di panggil “Emak” oleh Bono barusan, kuperkirakan, wanita berkerudung[iii] bergo panjang berwarna merah marun yang mengenakan celana kain berwarna hitam type kulot berbahan katun dan terdapat karet di bagian pinggangnya ini berusia sekitar 50 tahunan, walau sudah cukup berumur namun wanita berkulit sawo matang ini kulihat masih menyimpan sisa–sisa kecantikan masa mudanya dulu.
Srupp..Eehm. terasa enak sekali kopi buatan emak Bono ini...Entah karena cuaca lagi dingin akibat hujan lebat di sertai angin kencang sore ini, entah karena memang jenis kopi ini memang berbeda dari kopi yang biasa kuminum, namun rasa kopi ini terasa begitu pas di lidahku.
Kualihkan pandangan mataku ke tempat lain, ketika tanpa sengaja mataku beradu pandang dengan matanya. Entah kenapa jantungku berdetak sedikit lebih kencang setiap kali tanpa sengaja menatap dan beradu pandang dengan sepasang mata wanita berkerudung bergo panjang merah marun di depanku ini. Sorot matanya begitu tajam dan misterius, aku berusaha menepis dan mengusir jauh-jauh bayangan senyum manis wanita berkerudung Bergo panjang merah marun ini dari dalam pikiranku.
Duaarrr….
Aku dikejutkan oleh suara petir, kulirik jam di pergelangan tanganku, aku baru sadar ternyata jam tangan yang kukenakan ini mati. Kuperhatikan sekali lagi, ternyata jam tangan ini memang benar–benar sudah mati. Aku tidak tau sudah jam berapa saat ini, hari sudah gelap tapi belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti.
“Abang dari mana?”
Suara wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini memecah kesunyian. Kujelaskan persis seperti apa yang kuceritakan kepada Bono tadi. Kulihat wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini diam sebentar, lalu berkata;
”Hari sudah gelap, dan hujan masih belum berhenti, sebaiknya menginap saja disini. Dusun yang mau abang tuju itu setengah hari perjalanan dari sini ini,” kata wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini, lalu meneruskan ucapannya sambil melihat kearah Bono yang tengah duduk di sebelahku.
*
SETELAH selesai mandi dan mengganti pakaian yang ku kenakan sore tadi dengan pakaian yang lebih bersih, aku duduk di samping Bono. Kuperhatikan isi ruangan yang hanya di terangi oleh pelita minyak tanah, kuperhatikan Bono yang sedang duduk sambil menikmati Rokok klembak menyannya. Mataku berputar “menyapu” sekeliling ruangan, mataku tidak menemukan bingkai photo atau pun hiasan dinding lainnya di dalam ruangan ini.
“Bono..ajak abang makan malam sekalian..”
Terdengar suara wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun dari ruang tengah. Aku mengikuti Bono dari belakang berjalan menuju ke ruang tengah. Lalu mengambil posisi duduk di sebelah Bono. Sedangkan wanita yang mengenakan kerudung bergo panjang berwarna merah marun itu duduk di depanku, sementara Dita duduk di sebelahnya. Wanita berkulit hitam manis yang di panggil “Emak” oleh Bono dan Dita ini kulihat “cekatan” menuangkan air dari Kendi[iv]ke dalam gelas. Setelah semua gelasnya terisi air dia meletakan gelas-gelas tersebut di hadapan kami.
Bono mendekatkan Cething ke arahku, Cething adalah sebutan alat dapur yang berfungsi sebagai tempat menaruh nasi yang sudah matang dan siap di hidangkan untuk di santap, masyarakat Jawa dulu mengenal Cething terbuat dari anyaman bambu, berujud seperti mangkuk. Anyaman bambu itu di buat dengan diameter rata–rata sekitar 20 cm dan tinggi16 cm. Bagian atas belahan bambu berbentuk lingkaran, sementara bagian bawah di beri belahan bambu persegi empat berfungsi sebagai alas atau kaki.
Aku menyendokan nasi ke dalam piringku, “Makan yang banyak Bang, jangan malu–malu, tadi Bono dapat Rusa, abang suka daging Rusa?” tanya wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun sambil menyodorkan daging Rusa[v] bakar ke arahku. ”Iya mak..” jawabku, sambil mengambil sepotong daging Rusa bakar, lalu memasukannya ke dalam piring nasiku.
SETELAH selesai makan malam, kami bertiga ngobrol di ruang tengah, sambil membakar rokok, aku bertanya pada wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini.
“Bapak kemana mak..? dari tadi saya nggak ada melihat Bapak..?”
Wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun menatapku, mata kami beradu pandang sejenak, dan seperti sore tadi jantungku kembali berdetak lebih kencang dari biasanya. Sorot matanya begitu tajam. Seperti menyalurkan getaran aneh, dan sulit ku jelaskan dengan kata–kata. Tak sanggup menatap kedua matanya terlalu lama, ku coba alihkan pandangan mataku ke arah Dita yang baru saja datang dari dapur membawa nampan berisi empat gelas kopi kopi. Lalu meletakan masing-masing satu pas di hadapan kami.
”Sudah lima tahun yang lalu bapak pergi meninggalkan kami semua bang..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini sambil menatapku, dan entah kenapa aku jadi merasa tidak enak sendiri dengan pertanyaan yang barusan sempat terlontar keluar dari bibirku, seperti tau dengan perasaan ku yang merasa kurang enak, dia kembali berkata;
”Bapak sekarang sudah bahagia di tempat barunya. Sudah lima tahun ,tidak pernah ada tamu yang berkunjung ke rumah ini, dan baru abang, orang luar pertama yang mengunjungi rumah ini setelah kepergian bapak..” katanya lagi.
Aku diam, sambil menyeruput kopi dari gelas di tanganku. Jujur saja, sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang berputar–putar di kepalaku saat ini, mulai dari GPS[vi] yang biasa kupakai sebagai penunjuk arah, siang tadi setelah menyeberangi sungai yang kelima mendadak tidak berfungsi lagi. Hingga tatapan mata wanita yang begitu misterius ini.
Berdasarkan peta jalan yang kubawa sebelum GPS yang kubawa mati, seharus nya aku cuma membutuh waktu sekitar dua jam paling lama untuk sampai ke Dusun tujuan ku itu, tapi tadi aku merasa sudah berjalan jauh sekali hingga hampir setengah hari baru sampai ke kebun ini. Sementara menurut wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini, aku masih membutuhkan waktu sekitar setengah hari lagi untuk mencapai Dusun tujuan ku itu. Batrei Handphone milik ku ngedrop hingga mati total, juga jam tangan yang kukenakan saat ini ikut mati, praktis membuat ku tidak tau jam berapa dan sedang berada di mana saat ini.
“Apa emak dan anak–anak tidak takut tinggal sendirian di tempat ini mak..?” tanyaku pada wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku. “Takut apa bang..?” dia balik bertanya, sambil tertawa melihat ke arahku, barisan gigi putihnya terlihat bersih dan rapi ketika wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini tertawa lebar.
“Harimau atau binatang liar misalnya.” kataku, karena aku ingat, tadi pagi sebelum menyeberang ke tempat ini, pemilik sampan yang kunaiki sempat berpesan agar hati–hati melintas di wilayah ini.
SAMPAN adalah sebuah perahu
kayu yang memiliki dasar relative datar, dengan ukuran sekitar 3,5 hingga
4,5 meter yang di gunakan sebagai alat transportasi sungai dan danau atau
menangkap ikan. Sampan dapat mengangkut 2 - 8 orang, tergantung ukuran sampan.
Sampan adakalanya memiliki atap kecil dan dapat di gunakan sebagai tempat
tinggal permanen di perairan dekat daratan. Sampan tidak di gunakan untuk
berlayar jauh dari daratan, karena jenis perahu ini tidak memiliki perlengkapan
untuk menghadapi cuaca yang buruk.
Dan menurut orang Dusun, daerah ini adalah perlintasan satwa
liar, kususnya Harimau Sumatera[vii].
Harimau sumatera adalah subspecies harimau terkecil, Harimau sumatera mempunyai
warna[viii]
paling gelap di antara semua subspecies harimau lainnya, pola hitam berukuran
lebar dan jaraknya rapat kadang kala dempet.
”Emak dan anak – anak berteman dengan mereka semua
bang..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini tenang,
sambil tersenyum menatap lurus kedua mataku. Sepertinya dia memang sengaja
menggodaku. Di matanya, aku terlihat takut-takut menatap kedua matanya, namun
tak jarang, tanpa sengaja dia memergoki aku sedang mencuri-curi pandang ke
arahnya.
“Tadi kata Bono, Emak sering di mintai tolong sama
orang Dusun untuk mengobati orang sakit, dan ada pas ada orang yang mau melahirkan
anak. Kalau jaraknya saja dari sini sekitar setengah hari, gimana cara emak
kesana dan gimana cara orang Dusun menghubungi emak disini? sebab seingatku
tadi, pas mau menuju kemari, menyeberang sungai saja sampai lima kali ganti
sampan.” tanyaku.
“Besok abang akan tau sendiri, kan abang mau pergi ke Dusun
itu” jawab nya kalem.
Duh.. Aku benar-benar mati kutu di hadapan wanita berumur
yang masih menyimpan sisa-sisa kecantikan masa mudanya ini. Kulirik Bono yang
mulai berbaring meluruskan pinggang di sampingku, mungkin dia kelelahan siap
berburu rusa siang tadi. Kuambil kopi, dan;
Sruput,
Ehm…Memang kopi ini beda, dengan kopi yang biasa kuminum.
”Ini kopi apa mak..?” tanyaku penasaran. “Besok aku mau cari
kopi jenis ini" kataku lagi. ”Itu kopi hasil kebun sendiri bang..”
jawabnya singkat.
Aku makin penasaran dengan penghuni rumah panggung di tengah
kebun karet ini, ternyata selain menanam karet mereka juga menanam kopi disini.
Aku memang pernah membaca , bahwa karet bisa di tumpang sarikan dengan kopi,
sebagai mana halnya tumpang sari antara kelapa dengan kopi. Sifat kopi sendiri
merupakan tanaman yang perlu naungan, kanopi pohon tidak terlalu tinggi,
sementara karet merupakan pohon yang memerlukan pencahayaan penuh, yang
batangnya pun tinggi, hingga tumpang sari kopi dengan karet sangat padu.
"Kalau sudah ngantuk istirahat saja di kamar bono bang,
emak pun mau istirahat." kata wanita berkerudung bergo panjang merah marun
ini sambil beranjak dari tempat duduknya, di ikuti oleh Dita dari belakang.
“Iya Mak.” jawabku sambil mematikan puntung rokok di
asbak, sekilas mataku melirik ke arah punggung wanita berkerudung bergo panjang
warna merah marun yang menghilang masuk kedalam kamarnya.
RUMAH
PANGGUNG ini menurutku lumayan besar untuk ukuran rumah di tengah perkebunanan
karet seperti ini, di rumah ini setidaknya ada empat kamar, satu kamar yang
dindingnya berbatasan dengan ruang tamu, serta pintunya menghadap ke ruang
tengah tempat kami makan malam tadi, di tempati oleh wanita berkerudung bergo
panjang warna merah marun yang di panggil “Emak” oleh Bono dan Dita.
Di
sebelahnya adalah kamar Dita, yang pintu kamarnya juga menghadap ke ruang tengah,
sementara di sebelah kamar Dita adalah dapur yang cukup besar, dengan kamar
mandi yang juga berada di dalamnya, di sebelah dapur ada satu kamar kosong yang
aku tidak tau punya siapa.
Kamar
Bono Pintunya juga menghadap ke ruang tengah, persis di depan pintu dapur dan
kamar kosong, Dinding kamar Bono langsung berbatasan dengan Ruang Tamu. Selain
memiliki empat kamar, Rumah Panggung yang berlantai papan dari kayu-kayu
pilihan ini memiliki satu ruang tamu yang tidak ada kursinya, hanya ada tikar
pandan yang menjadi alas tempat kami duduk ngopi tadi.
**
AKU BERJALAN menuju dapur hendak ke
kamar mandi, pada saat melewati kamar kosong yang pintunya persis di sebelah
pintu dapur. Sekilas aku melihat pintu kamar itu sedikit terbuka, takut di
bilang tidak sopan, aku terus berjalan menuju dapur, setelah mengambil pelita
minyak tanah di atas meja. Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Keluar dari
kamar mandi, rasa penasaran mengalahkan akal sehatku yang masih saja terus
berdebat dengan diriku yang lainnya tentang masalah etika.
Aku mengintip dari celah gorden yang
tersingkap di depan pintu kamar kosong. Diam-diam aku melongok ke dalam kamar
yang hanya di terangi oleh pelita minyak tanah itu. Dari celah gorden, kulihat
wanita berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah
marun itu kulihat sedang berdiri di depan cermin di dekat meja berukir yang
terbuat dari kayu jati.
Aku terkejut, ketika tiba-tiba saja
wanita berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah
marun itu membalikan badannya, sambil tersenyum kearahku, dia melambaikan
tangan nya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja nafsu
birahiku tak terkendali melihat wanita berkulit sawo matang ini. Aku seperti
sudah tidak perduli jika ada ada orang lain di rumah ini, saat ini aku
betul–betul menginginkannya, nafasku berat. Aku tersengal-sengal sendiri
menahan nafsu “birahi”ku yang sepertinya sudah mencapai ubun–ubun ini. Kudekati
wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun, cukup lama kami
berpanggutan, sampai akhirnya wanita berkulit sawo matang yang mengenakan
kerudung bergo panjang warna merah marun ini menarik tangan ku menuju kasur
tipis di sudut ruang kamar kosong ini.
***
AKU
TERSENTAK, terbangun oleh suara petir yang tadi berbunyi keras sekali, kulihat
Bono masih tertidur pulas di sampingku, aku tidak tau pukul berapa saat ini,
karena memang aku tidak melihat ada jam di rumah ini. Cukup aneh juga
menurutku, sepertinya mereka memang tidak terlalu perduli dengan waktu. Saat
ini, aku merasa berada di dunia lain yang belum tersentuh oleh Waktu.
Di
luar Rumah Panggung ini masih terdengar suara hujan, walau tak sederas sore
tadi. Tapi sepertinya hari masih gelap. Aku beranjak bangkit, ku buka pintu
kamar, sepi. Ku tatap pintu kamar kosong, tidak ada cahaya lampu dari dalam
kamar yang terkunci. Tidak ada wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun seperti yang tadi kulihat di dalam mimpiku tadi. Sepertinya, wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun dan Dita masih tertidur pulas di
dalam kamarnya masing-masing.
Aku
berjalan menuju dapur, mengambil kendi, menuangkan air ke dalam gelas, lalu
meneguknya sampai habis. Selanjutnya, aku berjalan menuju ruang tamu
tempat kami ngobrol berempat malam tadi. Ku ambil sebatang rokok, ku selipkan
di bibir, kubakar, kuhisap perlahan. Lalu ku hembuskan asapnya pelan-pelan.
Cukup
lama aku sendirian di ruang tamu ini, terjaga di tengah malam seperti ini
membuatku kesulitan untuk memejamkan kedua mataku kembali. Ku matikan rokok
yang belum habis kuhisap, lalu ku masukan “puntung”nya ke dalam asbak. Aku
berjalan menuju kamar Bono, ku perhatikan Bono masih tertidur pulas seperti
tadi, ku rebahkan tubuh ku di samping kasur tipis yang di tiduri Bono.
PAGI INI aku bangun agak kesiangan,
kulihat Bono sudah tidak ada di sampingku, aku segera beranjak bangkit dari
tempat tidur, bergegas menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku menuju
teras depan, kulihat bono sedang menyeruput kopi di temani Rokok klembak menyan
kesayangannya.
Kusapa
Bono sebelum aku duduk di sampingnya, sambil tersenyum dia menawarkan minum dan
goreng pisang di atas meja kayu yang berada tepat di depannya. Aku duduk, lalu
mengambil Kendi yang berisi air putih di atas meja, lalu menuangkannya ke dalam
gelas. dan meminumnya sampai habis.
“Enggak
nyadap[ix]
getah karet Bon?” tanya ku memulai percakapan pagi ini, “Enggak bang.”jawab
Bono, kemudian meneruskan. ”Tadi malam hujan semalaman, dan pagi tadi baru berhenti,
kurang bagus getahnya.” katanya lagi sambil mengunyah Goreng Pisang di
tangannya.
Wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun datang menghampiri kami, sambil
tersenyum dia meletakan segelas kopi di hadapanku, melihat wajahnya yang
bersemu merah pagi ini, entah kenapa aku jadi ingat mimpi ku malam tadi,
sedikit canggung, ku ambil kopi yang di tawarkannya barusan. Sruput..Ehm memang
pas sekali rasa kopi ini di lidah ku.
“Gimana
tidurnya malam tadi bang..?” tanya wanita berkulit sawo matang di depan ku ini
sambil tersenyum manis ke arah ku.
Deg..hampir
saja gelas kopi yang berada dalam genggaman ku terlepas jatuh. “Pulas mak..”
jawabku sambil berusaha menghilangkan rasa kagetku barusan.
“Jadi
berangkat pagi ini ke Dusun bang? ” Suara Bono menimpali percakapan kami,
sambil melihat kearahku, belum sempat aku menjawab pertanyaan nya. Wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun bicara.
”Tadi
pakaian kotor abang yang tergantung di kamar mandi udah emak cuci sekalian“
katanya sambil melihat ke arahku, lalu melanjutkan.
“Tadi
pagi abang masih tidur, pas emak mau menyuci pakaian, emak liat pakaian abang
sudah kotor sekali, sudah berapa bulan nggak di cuci Bang?” katanya sambil
tertawa kearahku.
“Iya
mak, terima kasih. Baru setengah bulan.” jawabku berusaha mencandainya.
“Berarti
abang tidak jadi berangkat pagi ini” kata Bono sambil tersenyum melihat ke
arahku.
“Iya”
Jawab
ku sambil melihat ke arahnya.
“Mungkin
besok kalau pakaian abang sudah kering” tambahku lagi, sambil melihat ke arah
wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku.
“Ya
sudah pada sarapan sana,” kata Wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun menyuruh bono sambil melihat ke arahku. “Iya mak,” jawab Bono.
“Kalau
abang mau, siap sarapan kita ke ladang melihat tanaman kopi, kulihat abang suka
sekali dengan kopi.” kata bono padaku. “Boleh.” jawabku senang, karena jujur
saja aku memang menyukai segelas kopi murni yang di campur dengan susu tanpa
gula.
**
SETELAH
sarapan, aku ikut bono yang katanya akan menunjukan tanaman kopi di kebun nya,
kami menyusuri batang-batang karet yang kata Bono termasuk jenis tanaman
tahunan dan dapat tumbuh sampai umur 30 tahun, dengan tinggi tanaman bisa
mencapai 15–20 meter.
Menurutnya
modal utama dalam pengusahaan pengelolaan tanaman karet ini adalah batang
setinggi 2,5 sampai 3 meter dimana terdapat pembuluh latek, Oleh karena itu
fokus pengelolaan tanaman karet ini adalah bagaimana mengelola batang tanaman
ini seefisien mungkin.
Aku
terus berjalan mengikutinya dari belakang, sambil mendengarkan cerita Bono
tentang jenis tanaman ini. Tanaman karet ini menurutnya memiliki masa belum
menghasilkan selama lima tahun (masa TBM 5 tahun) dan sudah mulai dapat di
sadap pada awal tahun ke enam ini. Secara ekonomis tanaman karet ini dapat di
sadap selama 15 sampai 20 tahun.
Kami
berhenti di pas di depan tanaman kopi yang di tanam di antara batang karet,
jarak tanam nya antara satu batang dengan batang lain nya sedikit berbeda
dengan batang-batang karet yang kami lalui tadi.
“Dalam
tumpang sari, karet di tanam dengan jarak yang lebar dan luas. Tanpa tumpang
sari karet di tanam 3 meter x 7 meter. Dengan tumpang sari paling tidak 3 meter
x 8 meter atau 3 meter x 10 meter.“ kata Bono sambil menunjuk ke arah batang
karet, lalu meneruskan ucapan-nya.
”jarak
seperti ini akan membuat populasi karet agak sedikit, namun tidak akan
mengurangi jumlah produksi karet. Hanya saja perlu penggunaan pupuk yang lebih
optimal. Bahkan bisa membuat produksi karet menjadi tinggi, keuntungan nya
adalah akan ada tambahan penghasilan dari kopi.” katanya berhenti sejenak,
mengambil rokok klembak menyan dari kantung celananya, membakar-nya lalu
meng”hisap”nya dalam-dalam. Sambil menghembuskan asap nya dari mulut dan
hidungnya, dia kembali meneruskan.
”Saat
ini biji kopi di luaran sana sekitar Rp.40 ribu perkilogram. Bila di tumpang
sarikan satu hektar sekitar 200 populasi kopi. Satu kali panen bisa 100
kilogram, dalam satu tahun, bisa 4 kali panen. Hasilnya cukup lumayan untuk
menambah penghasilan.” katanya lagi sambil melihat ke arahku yang sedang
melihat-lihat biji kopi sambil mendengarkan penjelasannya.
Dia
mengambil buah kopi yang menurutnya sudah matang, Kemudian melanjutkan
pembicaraan-nya, “Ini adalah sumber bahan baku dari kopi yang abang minum pagi
tadi,” katanya sambil menyerahkan biji kopi itu padaku, ku perhatikan biji kopi
yang barusan di petik olehnya.
“Kopi
adalah minuman hasil seduhan biji kopi yang telah di sangrai dan di haluskan
menjadi bubuk. Kopi merupakan salah satu komoditas di dunia yang di budidayakan
lebih dari 50 Negara. Dua varietas pohon kopi yang dikenal secara umum yaitu
Kopi Robusta (Coffea canephora) dan Kopi Arabika (coffea Arabica).
Kopi
yang abang minum tadi pagi itu sudah melalui proses panjang, mulai dari
pemanenan biji kopi yang telah matang baik dengan cara mesin maupun dengan
tangan, kemudian di lakukan pemrosesan biji kopi gelondong dan pengeringan
sebelum menjadi kopi gelondong. Proses selanjutnya yaitu penyangrai dengan
tingkat derajat yang bervariasi. Setelah penyangraian, biji kopi di
giling atau di haluskan menjadi bubuk kopi sebelum dapat di minum.
Kata
kopi sendiri awalnya berasal dari Bahasa Arab, qahwah yang artinya kekuatan,
karena pada awalnya kopi di gunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata
qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahweh yang berasal daribahasa Turki
dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam Bahasa Belanda. Penggunaan kata
koffie segera di serap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang di
kenal saat ini.” Aku cuma diam mendengar semua penjelasan nya
barusan, tak menyangka bahwa wawasan Bono seluas ini. Melihat kecerdasan Bono,
aku jadi ingat “Emak” nya, ingat emaknya, ku jadi senyum-senyum sendiri, ingat
dengan mimpiku tadi malam.
“TADI
kata Bono abang mau ngurut?” tanya wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun di depanku ini.
“Iya
mak, tadi saya tergelincir pas menyeberang titian[x].
Mungkin kaki dan tangan saya agak terkilir. ” jawabku.
“Ya
sudah, habiskan dulu kopinya, biar mak menyiapkan minyak urut sama bereskan
ruangan tempat ngurut-nya dulu.” kata wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun ini sambil beranjak dari tempat duduknya, di ikuti Dita dari
belakang. “Iya mak.” Jawabku sambil menatap punggung wanita berkerudung bergo
panjang warna merah marun yang menghilang masuk kedalam kamarnya.
“Ngurutnya
di kamar ini Bang..” terdengar suara wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun dari depan kamar kosong. Kuperhatikan Bono sudah tertidur pulas,
terdengar dari suara dengkurannya yang mulai teratur.
”Bawa
sarung nggak Bang? Kalau enggak disini ada sarung.” Suaranya kembali
mengagetkanku.
”Iya
mak,” jawabku sambil berjalan menuju kamar di mana wanita berkerudung bergo
panjang warna merah marun itu berada.
Kuperhatikan
isi kamar, ada wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di dekat meja
berukir yang terbuat dari kayu jati, satu kursi yang juga di penuhi ukiran
serta ada cermin besar di atas meja mengarah ke arah kasur tipis di sudut
ruangan.
“Kalau
enggak bawa kain sarung, pakai saja sarung itu,”
Wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun menunjuk kain sarung di atas kasur
tipis di sudut ruangan yang kulihat barusan. Lalu kembali meneruskan menuangkan
minyak urut ke dalam wadah di atas meja.
**
SEGERA
ku pakai kain sarung yang di tunjuk oleh wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun itu barusan. Ku rebahkan tubuhku di atas kasur tipis, badanku
pegal–pegal semua, sedikit terasa ngilu di kaki dan tanganku akibat terjatuh
siang tadi, mudah–mudahan tidak sampai terkilir.
Wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun mendekatiku, duduk di sampingku,
lalu memintaku untuk tengkurap, aku cuma bisa meringis menahan sakit,
ketika wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini mulai mengurut
kaki ku yang terkilir siang tadi.
Pelan–pelan
aku mulai merasa nyaman, ternyata memang benar. Wanita berkerudung bergo
panjang merah marun ini pintar ngurut, kaki, pinggang, dan punggung serta
tangan kiri yang tadi agak nyeri karena terkilir berangsur mulai membaik dan
terasa enak, mungkin aliran darahnya sudah kembali lancar.
“Balik
badan bang..”
Suara
wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di sampingku memecah
kesunyian. Aku segera membalikan badan, telentang, seperti tadi wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun kembali mengurut kaki ku. satu
persatu, ujung–ujung jari kaki ku bergemeletukan di tariknya.
“Emak
belajar ngurut dari siapa mak?” tanyaku.
”Emang
kenapa.?”
Wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun ini balik bertanya padaku.
“Enak
mak, ilmu turunan apa memang belajar, sebab yang saya tau ada tukang urut yang
memang turunan dari orang tuanya, ada juga yang memang kusus belajar mengurut
sama orang lain.” jawabku.
“Bapak
Bono yang menurunkan sama emak..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun ini sambil terus mengurut kedua pahaku.
Kuperhatikan
wajah wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di hadapanku ini,
pasti dulu waktu mudanya banyak lelaki yang naksir fikirku, sambil terus
memperhatikan wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun yang terus
memijat perut hingga ke dadaku.
Fikiranku
mulai nakal, di dalam kamar yang hanya di terangi oleh pelita minyak tanah.
Melihat sepasang payudara milik wanita berkulit sawo matang yang terlihat
membusung dari balik kerudung, serta lekuk tubuhnya yang terlihat membayang di
balik kerudung bergo panjang warna merah marun yang dikenakannya itu. Membuat
naluri hewan yang berada di dalam diriku berontak, menjadi liar dan beringas
tak terkendali.
Binatang
jalang ini, mencabik–cabik seluruh tubuhku, berusaha mencari jalan keluar dari
dalam diriku, kedua mataku menjadi liar, merayap ke sekujur tubuh wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini. Saat ini, dia
tengah jongkok mengangkangi kedua kakiku, dan pada saat yang sama, aku jug
merasakan ada benda hangat yang lembut dan kenyal menyentuh pahaku ini.
Diluar
rumah terdengar suara air hujan mulai turun. Walau tak sederas malam kemarin,
nafas ku agak tersengal dan memburu, binatang jalang di dalam diriku, dengan
kuku- kuku tajamnya, berusaha merobek kulit dadaku.
“Bapak
dulu Tukang urut juga mak..?” tanyaku, tak perduli pada tatapan matanya yang
melihat aneh ke arahku.
“Bukan,
bapak dulu dukun Harimau, tapi kalau ada yang membutuhkan, bapak juga bisa
mengurut dan mengobati berbagai macam jenis penyakit, seperti mengobati orang
yang kesurupan, mengusir setan dan jin jahat yang suka mengganggu anak-anak.”
katanya lagi.
“JADI bapak dulu dukun Harimau mak.?” tanyaku sekali lagi.
“Iya..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun ini singkat.
“Bisa berubah jadi harimau juga mak..?’ tanyaku penasaran.
“Iya..” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun ini lagi.
“Jadi bapak dulu menurunkan ilmu itu sama emak,
berarti Emak bisa berubah menjadi harimau juga seperti bapak?” tanyaku lagi
pada wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun yang hanya diam tak
menjawab di atas tubuhku ini.
Saat ini birahiku benar–benar sudah memuncak, melihat
wanita berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang berwarna
merah marun ini, aku seperti sudah tidak perduli jika ada ada orang lain di
rumah ini selain kami berdua, saat ini aku betul–betul menginginkan nya,
nafasku berat dan tersengal-sengal menahan nafsu birahi sendiri. Seperti tau
apa yang ada di dalam fikiranku, wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun ini menatap tajam ke arah bola mataku, mata kami beradu pandang, dan
tiba-tiba.
“Duar…”
Suara petir di luar rumah membuyarkan bayangan yang muncul
di kedua pelupuk mataku barusan, masih dengan nafas sedikit memburu, dan
tersengal. Kulihat wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini
memalingkan wajahnya ke tempat lain, wajahnya memerah, aku tak perduli.
”Ajarkan saya mak..” pintaku pada wanita berkerudung
bergo panjang warna merah marun yang kembali menatap tajam kearahku.
“Makkk..”
Suaraku bergetar. Birahiku memuncak, bayangan mimpi semalam
kembali muncul.
“Ilmu itu hanya bisa dimiliki dan di gunakan oleh orang yang
memang benar–benar berjodoh dengan ilmu tersebut, ilmu itu di turun kan secara
turun temurun, jika pemiliknya sudah meninggal maka Harimau Ghaib itu akan
pergi dengan sendirinya. meninggalkan pemiliknya tersebut, kembali ke Alam
Ghaib sampai nanti ada lagi anak manusia yang akan berjodoh dengannya,
kecuali..”
Wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun ini tidak
menerus kan ucapan nya.
“Kecuali apa Mak?” tanyaku penasaran pada wanita berkulit
sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah marun di depan
ku ini.
Setelah ku tunggu sekian lama dan tetap tidak ada jawaban
darinya, aku kembali berucap. “Aku ingin ilmu itu mak..” pintaku setengah
memaksa.
ENTAH kenapa saat ini aku begitu berani terhadap wanita
berkerudung bergo panjang warna merah marun di depanku ini, dorongan nafsu
birahi yang saat ini tengah menguasi diriku, sepertinya sudah mengalahkan akal
sehatku. Aku seperti lupa dengan semua cerita pemilik sampan yang ku naiki sebelum
sampai ke tempat ini, yang menurutnya. Selain ada harimau asli di sini, menurut
kepercayaan orang–orang tua-nya dulu. Tempat ini adalah tempat tinggal para
siluman Harimau[xi].
Saat ini aku bahkan tidak perduli lagi jika seandainya
wanita di hadapanku ini berubah menjadi harimau lalu mencabik–cabik sekujur
tubuhku. Mataku terus terus menatap liar wajahnya yang bersemu merah, merayap
turun ke bawah, menikmati setiap lekukan tubuh di balik kerudung bergo panjang
warna merah marun yang di kenakan nya, sedikit nakal ku gerakan pahaku, agar
bisa lebih menyentuh “kewanitaan”nya yang sedari tadi terasa hangat menindih
kedua pahaku.
Kain celana hitam tipis yang dikenakannya, tak cukup kuat
menahan serangan bertubi-tubi nafsu birahiku yang terus bergerak liar, merayap
masuk lalu mengobrak–abrik jantung pertahanan iman-nya. tubuhnya bergetar hebat
menahan gejolak birahi yang mulai menguasai nya saat ini.
“Berat saratnya bang, bukan seperti ilmu lainnya yang bisa
di pelajari semua orang, taruhan-nya nyawa, jika abang tidak berjodoh dengan
ilmu itu maka abang akan mati mengenaskan, dengan tubuh tercabik–cabik oleh
cakaran dan gigitan Harimau.” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah
marun ini, suaranya mendesah serak, berusaha menahan gejolak birahi nya
sendiri.
”Aku tidak perduli mak, apa syaratnya? ” tanyaku sedikit
memaksa.
Setelah cukup lama diam tak bersuara, akhirnya dia membuka
mulutnya.
”Jika pemilik ilmu itu adalah seorang wanita, maka abang
harus menyetubuhinya.” jawab wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun
ini lirih, mukanya memerah, suaranya serak nyaris tak terdengar.
**
BINATANG JALANG yang sedari tadi berusaha keluar dari dalam
diriku berhasil merobek kulit “dada”ku, sambil meraung keras dia melompat, lalu
menerkam wanita berkerudung bergo panjang warna merah marun di atas ku, taring
tajam nya berhasil menggigit lehernya, wanita berkerudung bergo panjang warna
merah marun ini diam terpaku, matanya mendelik, melihat binatang jalang itu
sudah siap untuk mencabik–cabik seluruh tubuhnya.
Mata kami beradu pandang, wanita berkerudung bergo panjang
warna merah marun itu memahami betul apa keinginanku saat ini. “Bangg…” Wanita
berkulit sawo matang yang sudah cukup berumur ini merintih serak, sebelum
kembali melanjutkan ucapannya. ”Emak takut bang.. Seandainya abang tidak
berjodoh dengan ilmu itu, tubuh abang akan tercabik- cabik oleh cakaran dan
gigitan harimau..” aku tak menjawab, nafasku memburu. Aku tidak memperdulikan
ucapan nya.
“Sekalipun nanti ternyata aku akan mati dengan tubuh
tercabik–cabik oleh cakaran dan gigitan emak yang sudah berubah menjadi
harimau, aku iklas..” kataku setengah berbisik di telinganya. Aku semakin liar.
Wanita berkulit sawo matang yang sudah cukup berumur itu mencoba berontak,
berusaha melepaskan diri.
“Lepaskan emak Bang.” kata wanita berkulit sawo matang yang
sudah cukup berumur dengan suara serak.
“Kulepaskan tapi mak harus janji menurunkan ilmu itu pada
ku,” jawabku, setengah memaksa, sebelum melepaskannya.
“Iya emak janji..”
Akhirnya pelan–pelan ku lepaskan pelukanku pada tubuh wanita
berkulit sawo matang yang sudah cukup berumur ini.
“Sebelum kita melakukan ritual Pernikahan ghaib ini
abang harus berjanji sama emak, sekarang atau tidak sama sekali.” tiba-tiba
nada suara wanita berkulit sawo matang yang sudah cukup berumur berubah jadi
tegas.
“Iya mak..” jawabku.
”Abang harus berjanji bahwa abang tidak akan menggunakan
ilmu ini untuk kejahatan, atau mencelakai orang yang tidak bersalah. Harimau
ghaib ini akan bersama abang, baik dalam suka dan duka selama dunia, kelak
setelah abang meninggal dia akan pergi meninggalkan abang dan kembali ke alam
ghaib.” kata wanita berkulit sawo matang ini, lalu kembali melanjutkan
ucapannya,
“Semua dosa yang abang lakukan selama di dunia ini menjadi
tanggung jawab abang sendiri, atas izin Tuhan Yang Maha Esa serta di saksikan
para penghuni alam ghaib yang berada di langit dan di bumi malam ini, apakah
abang bersedia menikahi emak.? ”Wanita berkulit sawo matang yang sudah cukup
berumur ini bertanya sambil menatap mataku.
“Saya bersedia mak.” jawabku yakin. Kemudian wanita berkulit
sawo matang yang sudah cukup berumur ini kembali melanjutkan ucapannya.
“Pernikahan ghaib ini akan mengikat antara abang dan
emak selama abang masih hidup di dunia ini, jika abang melanggar perjanjian ini
maka segala akibatnya akan kembali kepada abang, apakah abang bersedia ? “Iya
mak, saya bersedia..” jawabku yakin.
Sambil komat–kamit membaca sesuatu, wanita berkulit sawo
matang yang sudah cukup berumur ini memutarkan asap gaharu ke sekujur
tubuhku, dan ketubuh nya sendiri, tubuh kami tertutup asap yang mengeluarkan
aroma wangi khas gaharu.
Mataku nanar dan seperti hilang kesimbangan, aku oyong,
sebelum terjatuh kelantai, wanita berkulit sawo matang yang sudah cukup berumur
ini menangkap tubuhku. selanjutnya aku sudah tidak sadarkan diri.
SEMUA PROSES
PERNIKAHAN berlangsung begitu cepat, saat ini aku tengah duduk di atas
pelaminan, mengenakan baju pengantin, bersanding dengan seorang wanita cantik
yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota
kecil di kepalanya. Wajahnya begitu mirip dengan wanita berkulit sawo matang
yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah marun, hanya saja wanita ini
masih muda, usianya sekitar 27 tahun.
Wanita
cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan
Mahkota kecil di kepalanya ini mengajakku turun dari kursi pelaminan.
Meninggalkan kemeriahan pesta pernikanan kami, perlahan dia membawaku berjalan
menuju kamar pengantin, membuka pintu kamar, lalu menarikku masuk ke dalam
kamar. Dan tiba--tiba saja kami sudah berada di dalam kamar tempat di mana
Wanita berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah
marun ini tadi membakar Damar wangi.
Aroma khas
wangi gaharu masih tercium santar, Wanita cantik yang mengenakan Kebaya
Pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan Mahkota kecil di kepalanya yang
baru saja kunikahi ini memelukku, ku balas pelukan nya. Kulumat bibir nya,
cukup lama kami berpelukan sampai tiba-tiba wanita cantik yang mengenakan
kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota kecil dikepalanya
ini berubah menjadi wanita berkulit sawo matang yang sudah cukup berumur yang
tadi mengurutku. Secara reflek aku melepaskan pelukanku ketubuhnya.
"Kenapa?
Abang kecewa karena perempuan cantik tadi berubah jadi jelek kayak emak
ini.?" katanya sambil tersenyum menatap mataku, ketika tadi tiba-tiba aku
melepaskan pelukanku karena kaget. tidak ku jawab, tapi aku langsung menariknya
kembali, ku peluk erat. Sambil berbisik di telinga nya.
"Kenapa
harus kecewa? Emak tau nggak, apa yang ku fikirkan waktu pertama kali bertemu
emak, pas membawakan kopi kemarin?" tanya ku balik pada wanita yang masih
berada di dalam dekapan ku ini.
"Apa
yang abang fikirkan" Jawabnya, sambil menatap mataku. " Jujur saja,
pada saat pertama kali melihat emak kemarin, aku begitu menginginkan ini"
kata ku sambil meraba “itu” nya, lalu ter tawa lepas.Tangan nya langsung
bergerak mencubit perut ku, lalu setengah berbisik, dia berkata di telingaku.
"Dasar
mesum.." katanya lagi sambil tertawa. "Tapi emak suka kan..?"
jawab ku balik menggoda-nya. Dia hanya diam, muka nya bersemu merah, semerah
kerudung bergo panjang warna merah marun yang di kenakannya.
SEEKOR HARIMAU SUMATERA telah
menewaskan dua orang warga di Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir
(Inhil) Provinsi Riau, tepatnya berada di dalam konsesi PT Tabung Haji Indo
Plantation (THIP) yang sebelumnya di sebut dengan PT Multi Gambut Industri
(MGI)[xiii].
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau BKSDA masih berupaya menangkap
hewan yang di lindungi tersebut.
BERITA
YANG KUBACA dari salah satu media ini mengingatkanku akan kejadian beberapa
waktu yang lalu, ketika berada di Desa Pulau Muda Kecamatan Teluk Meranti
Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Aku
terjaga di tengah kerumunan orang-orang yang sebagian tidak kukenal, mataku
menyapu sekeliling ruangan, menangkap satu wajah yang sudah tidak asing lagi
buatku. Asril, teman ku yang asli orang sini tersenyum, lalu mendekat ke
arahku. "Abang dah siuman" katanya senang sambil mendekat dan melihat
ke arahku.
"Siuman?"
Aku
cuma membatin, ingin bertanya lebih jauh, tapi aku merasa, saat ini tubuhku
lemas sekali, bahkan untuk menggerakan mulut pun terasa berat sekali.
"Jangan
banyak gerak dulu," kata seorang lelaki tua yang datang membawa mangkuk
yang berisi air, duduk bersila disampingku, mulutnya komat-kamit membaca
sesuatu, selanjutnya kulihat dia mulai memotong-motong jeruk purut lalu
memasukannya ke dalam mangkuk yang di bawanya.
Lelaki
tua yang mengenakan ikat kepala dan pakaian serba hitam ini memercikan air dari
dalam mangkuk yang berisi irisan jeruk purut ke sekujur tubuh dan pakaianku,
membasahi telapak tangan-nya dengan air dari dalam mangkuk, lalu membasuhkan ke
wajah dan ke kedua kakiku. Masih dalam keadaan lemas dan belum tau apa yang
sedang terjadi saat ini, aku cuma diam, terbaring pasrah, melihat lelaki tua
yang kuperkirakan berusia sekitar 65 tahun lebih itu mulai “mengasapi” seluruh
tubuhku dengan asap rokok yang mengeluarkan aroma kemenyan.
"Temanmu
“Tesapo” Siluman Harimau." ku dengar suara lelaki tua itu berbicara kepada
Asril menggunakan bahasa kampung waktu itu. Menurut Asril Pak Jumadi adalah
seorang Dukun[xiv]
yang cukup terkenal dikampungnya.
Menurut
Asril, waktu itu aku pingsan, dan tidak jauh dari tempat mereka menemukanku,
mereka juga menemukan ada banyak jejak Harimau, mereka fikir saat itu aku telah
meninggal dunia karena di terkam oleh Harimau. Aku ingat, saat itu aku, Asril
dan beberapa orang dusun pergi memancing ikan di salah satu kanal milik PT.
Arara Abadi -- Pulau Muda. Selanjutnya setelah menemukan lokasi memancing yang
menurut kami pas, maka kami pun menambatkan sampan, selanjutnya kami berpisah
dengan membawa pancing, umpan dan bekal kopi masing-masing.
Menurut
Asril mereka mencariku karena hingga sore hari aku belum kembali ketempat
sampan yang kami tumpangi tadi. Aku tidak ingat persis semua kejadian yang
kualami saat itu, hanya saja saat itu aku merasa sedang berada di kebun karet,
bersama Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun dan dua anaknya.
Jujur
saja, kejadian waktu itu telah berhasil merubah pola fikirku selama ini, lima
tahun lamanya aku menduduki posisi Asisten Manager di salah satu perusahaan
perkebunan kelapa Sawit.
Dan
wanita berkerudung bergo panjang merah marun yang begitu hidup di alam
imajinasiku, lambat laun mulai merubah kepribadianku, ku tinggalkan pekerjaan
beserta semua fasilitas yang kudapatkan saat itu. Saat ini aku begitu menyukai
segala sesuatu yang berhubungan dengan harimau. Entah sudah berapa banyak
literatur tentang Harimau Sumatera dan segala sesuatu yang berhungan dengan
Legenda Manusia Harimau telah kubaca.
*
AKU
TERUS BERJALAN, membelah rimba raya yang saat ini telah berganti nama menjadi
pemukiman dan perkebunan, di antara batang-batang kelapa sawit yang menjulang
tinggi, di banyak kampung dan dusun-dusun yang baru singgahi. Aku terus
bertanya dimana wanita berkerudung bergo panjang merah marun dan dua anaknya
itu berada.
Aku
tak lagi memperdulikan tatapan mata orang-orang yang melihat aneh ke arahku.
Ditengah ancaman kehilangan habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok
hutan dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam
pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan
oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan.
Di
tengah habitatnya yang semakin sempit dan berkurang, aku seperti melihat wanita
berkerudung bergo panjang merah marun menatap sayu ke arahku. Dan dari mata
wanita berkerudung bergo panjang merah marun itu, aku seperti melihat Harimau
Sumatera memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dan seringkali
mereka membunuh atau dibunuh hingga ditangkap karena tersesat memasuki daerah
pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia.
Kelemahan
tata kelola hutan dalam banyak kasus adalah karena penegakan hukum yang lemah,
termasuk terjadinya tumpang tindih atau ketidak jelasan aturan yang ada,
kemampuan teknis dan peta yang akurat, kurangnya transparansi publik dan
korupsi.
DAN
MENURUTKU, ini bukan soal pohon terakhir yang ditebang. Tapi ini soal pesan
yang harus di sampaikan. Semoga kedepannya, tata kelola hutan dan lahan mengacu
pada proses, mekanisme, aturan dan lembaga untuk memutuskan bagaimana hutan,
tanah dan sumber daya alam itu dapat di manfaatkan.
Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau. Dan
menurutku, Fatwa Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk
Keseimbangan Ekosistem itu sangat pas dengan kondisi bangsa ini. karena aku
percaya, bahwa keberadaan makhluk hidup dengan segala fungsinya itu adalah
salah satu cara Tuhan memberi petunjuk akan kekuasaan-Nya. Dan keterlibatan
seluruh pihak, menurutku, sangatlah penting dan diperlukan guna melestarikan,
dan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada.
Selesai
Cerita ini hanya fiksi
belaka, jika ada kesamaan nama, tokoh ataupun cerita itu adalah kebetulan
semata dan tidak ada unsur kesengajaan.