Mari kita bandingkan sejarah Islamisasi Jawa dari perspektif filsafat, sejarah Islamisasi itu sendiri, dan peran Walisongo. Ini akan memberi kita pemahaman yang lebih komprehensif mengenai proses dan makna penyebaran Islam di Jawa.
1. Dari Perspektif Filsafat
Filsafat melihat Islamisasi bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi sebagai proses dialektika antara budaya lokal dan ajaran baru (Islam). Pendekatan ini menyoroti aspek:
-
Transformasi kultural: Islam masuk ke Jawa tidak dengan cara revolusioner, tetapi evolusioner. Ini sejalan dengan prinsip hermeneutika kultural, di mana ajaran Islam diinterpretasikan dan disesuaikan dengan nilai-nilai lokal seperti kejawen, animisme, dan Hindu-Buddha.
-
Hegemoni Gramscian: Dalam kerangka Antonio Gramsci, proses Islamisasi bisa dilihat sebagai bentuk hegemoni kultural, di mana Islam tidak memaksakan diri secara koersif, tetapi melalui persuasi budaya dan pengaruh sosial—terutama lewat seni, kesusastraan, dan simbolisme lokal.
-
Etika dan epistemologi: Filsafat juga memandang bahwa para tokoh seperti Walisongo menjalankan epistemologi praksis—yakni menyebarkan ilmu melalui tindakan nyata dalam kehidupan masyarakat, bukan semata lewat wacana formal.
2. Dari Perspektif Sejarah Islamisasi Jawa
Sejarah Islamisasi Jawa dapat dibagi dalam beberapa fase:
-
Abad ke-13–15: Islam mulai masuk lewat pelabuhan-pelabuhan pesisir seperti Gresik, Demak, dan Cirebon. Proses ini melibatkan pedagang dari Gujarat, Persia, dan Arab.
-
Abad ke-15–16: Munculnya peran Walisongo sebagai aktor penting dalam mengislamkan masyarakat Jawa secara lebih luas. Pendekatannya inklusif dan toleran, mengintegrasikan ajaran Islam dengan seni lokal (wayang, gamelan) dan sistem sosial yang ada.
-
Abad ke-17 ke atas: Islam mulai lebih formal dan institusional, terutama setelah runtuhnya kerajaan Hindu-Buddha seperti Majapahit. Muncul kerajaan Islam seperti Mataram Islam yang memperkuat identitas keislaman Jawa.
3. Dari Perspektif Peran Walisongo
Walisongo bukan sekadar penyebar agama, tetapi juga agen transformasi sosial dan budaya. Peran mereka mencakup:
-
Sinkretisme: Mengislamkan masyarakat tanpa memutus budaya lokal. Misalnya, Sunan Kalijaga memanfaatkan wayang dan seni sebagai media dakwah.
-
Pendidikan dan dakwah: Mereka mendirikan pesantren dan mengembangkan sistem pendidikan Islam yang melahirkan kader-kader dakwah lokal.
-
Kebijakan sosial: Mengatur struktur masyarakat agar lebih sesuai dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam, misalnya dalam hukum adat, pernikahan, dan perdagangan.
-
Politik dan legitimasi kekuasaan: Walisongo juga terlibat dalam membentuk kekuasaan politik Islam, misalnya membantu mendirikan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kesimpulan Perbandingan
Perspektif | Fokus | Ciri Khas | Nilai Tambah |
---|---|---|---|
Filsafat | Makna dan nilai | Transformasi budaya, hermeneutika, etika praksis | Menjelaskan mengapa Islam diterima luas tanpa konflik besar |
Sejarah | Kronologi dan peristiwa | Tahapan Islamisasi, aktor, konteks global | Memberi konteks waktu dan proses nyata penyebaran Islam |
Walisongo | Tokoh dan strategi | Dakwah kultural, pendidikan, politik lokal | Menunjukkan bagaimana Islam diakar dalam kehidupan sehari-hari |