Filosofi Jawa dan Konsep "Rasa"

Filosofi Jawa dan Konsep "Rasa"

Filosofi Jawa dan Konsep "Rasa"

Masyarakat Jawa dikenal akan kedalaman akal budi dan budayanya, yang terefleksi dalam setiap perilaku, perkataan, tindakan, dan pemikiran. Hal ini membentuk karakter masyarakat Jawa sebagai bangsa yang adiluhung, sebuah gambaran yang juga dicatat oleh penjelajah Portugis Tomé Pires dalam bukunya Suma Oriental, yang menyebut masyarakat Jawa sebagai bangsa yang berani, bijaksana, dan memiliki rasa percaya diri tinggi (superiority). Keunggulan inilah yang diyakini akan melahirkan peradaban Jawa yang maju, baik dalam aspek budaya, teknologi, maupun pemikiran.


Filosofi Jawa dan Konsep "Rasa"

Kemajuan peradaban Jawa sejalan dengan cara berpikir masyarakatnya, yang kemudian melahirkan konstruksi filsafat Jawa yang khas. Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran filosofis Jawa sangat kental dengan nuansa spiritual, transendental, dan reflektif. Ini terlihat dalam kehidupan masyarakat Jawa yang secara implisit selalu menekankan harmoni antar komponen, baik dengan Tuhan, manusia, alam, maupun makhluk hidup lainnya (baik yang terlihat maupun tidak), serta kecintaan mereka terhadap perenungan filosofis-religius.

Salah satu keunikan filsafat Jawa dibanding filsafat Barat terletak pada konsep "roso" atau "raos" (rasa/emosi). Jika filsafat Barat umumnya mengakui dua kekuatan intelektual manusia, yaitu "menalar" dan "menghendaki", filsafat Jawa menambahkan dimensi "roso". Istilah "rasa" dalam masyarakat Jawa memiliki makna yang sangat dalam dan luas, mencakup aspek spiritual, etik-estetika, fisik, mental/emosi, dan batin. Clifford Geertz (1973) menjelaskan bahwa "rasa" memiliki arti ganda: "feeling and meaning", yang menggambarkan dinamika batiniah yang mendalam dari pikiran dan emosi individu. Pemahaman ini menjadi konsep tak terpisahkan dari identitas orang Jawa.


Ki Ageng Suryomentaram dan Kawruh Jiwa

Seorang tokoh dan pujangga Jawa yang mengkonstruksi pemikiran filsafat melalui pendekatan "rasa" adalah Ki Ageng Suryomentaram. Pemikirannya dikenal sebagai Kawruh Jiwa. Ki Ageng adalah seorang pangeran dari Kasultanan Yogyakarta, putra ke-55 Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Namun, ia memilih meninggalkan kehidupan istana dan berkelana sebagai rakyat biasa. Dalam pengembaraannya, Ki Ageng memperoleh pencerahan batin yang melahirkan Kawruh Jiwa sebagai buah pengamatan empiris serta sintesis-antitesis dari pengalamannya.

Kawruh Jiwa menawarkan napas baru yang berbeda dari corak pemikiran masyarakat dan pujangga Jawa pada masanya. Menariknya, Ki Ageng tidak serta-merta menghilangkan warisan pemikiran pendahulunya. Justru, Kawruh Jiwa merupakan upaya redefinisi dan purifikasi terhadap hal-hal yang sebelumnya memiliki konotasi mistis. Hal ini sejalan dengan prinsip Jawa "Mikul dhuwur, mendem jero" (menjunjung tinggi dan mengubur dalam-dalam jasa serta prinsip leluhur).


Makna dan Dimensi "Rasa" dalam Filsafat Jawa

Konsepsi tentang "rasa" sejatinya sudah ada jauh sebelum Ki Ageng. Masyarakat Jawa memandang "rasa" sebagai sesuatu yang sangat penting dan transendental, serupa dengan "rasa" spiritual (iman). "Rasa" menjadi sarana bagi masyarakat Jawa untuk memahami fenomena di sekitarnya, seperti politik, psikologi, tatanan kosmik, agama, dan sosial. Oleh karena itu, "rasa" diartikan sebagai konsep kebenaran, keindahan, dan kebaikan, serta cara pandang yang disukai berdasarkan pengalaman, rasa bebas, keintiman, dan ketenangan.

Menurut Darmanto Jatman, "rasa" dipahami sebagai substansi dalam diri manusia akibat pertemuan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Para pujangga dan masyarakat Jawa juga memandang "rasa" sebagai sesuatu yang sakral, layaknya "rasa" spiritual (iman) sebagai sarana terhubung dengan Tuhan. Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam Serat Wirid Hidayat Jati menyebut "rasa" sebagai "rahsa", dan menyatakan:

"Sejatine manungsa iku rahsaningsun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa…"

(Sejatinya, manusia itu rasa Aku, dan Aku tersebut rasa manusia)

Dalam konteks ini, "rahsa" identik dengan "jumbuhing kawula Gusti" atau rasa menyatu dengan Tuhan, di mana "Ingsun" merujuk pada Tuhan. Konsep "rasa" juga termuat dalam Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang membahas hubungan antara rasa-pangrasa (rasa dan perasaan/hati/pikiran), cipta-ripta (cipta/kreasi dan pengkreasi), hingga hubungan transendental antara kang nembah-kang sinembah (yang menyembah dan yang disembah).


"Rasa" dalam Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram mengkonstruksi "rasa" sebagai konsep utama dalam filsafat Kawruh Jiwa-nya. Baginya, "rasa" sangat penting bagi manusia untuk memahami realitas sekitar, terutama untuk memahami diri sendiri atau "mawas diri". Namun, Ki Ageng memiliki konsep "rasa" yang unik, tak hanya bersifat transendental atau berkutat pada dimensi emosi dan intuitif, tetapi juga memuat dimensi rasional dan empiris yang mengedepankan pengetahuan reflektif.

Kawruh Jiwa dibangun dari upaya Ki Ageng memahami diri dan realitas. Pandangannya tentang "rasa" sangat kompleks. Ia memandang manusia secara keseluruhan melalui dimensi "rasa" sebagai hakikat utuh kemanusiaan, yang terdiri dari raga/inderawi, pikiran/rasionalitas, dan hati/perasaan. Manusia harus dipandang sebagai makhluk "unitas multiplex" yang dipahami secara utuh (jangkep) melalui dimensi-dimensi yang melekat padanya. Pandangan ini merupakan antitesis terhadap filsafat Barat yang cenderung memecah-mecah manusia secara dikotomis.

Konsep "rasa" Ki Ageng menjadi wahana bagi manusia untuk menganalisis diri (pangawikan pribadi), cara berpikir, dan bertindak. "Rasa" berfungsi sebagai sarana penghayatan individu karena memiliki kemampuan spiritual, intelektual, hingga intuitif. "Rasa" menghubungkan jiwa manusia yang tak berwujud (intangible) namun dapat dirasakan. Oleh karena itu, Kawruh Jiwa juga dikenal sebagai Kawruh Raos (ilmu tentang rasa), sebagaimana diungkapkan Ki Ageng:

"Dados Kawruh Jiwa punika kawruh raos. Kawruh jiwa punika dede agami lan dede wulangan awon sae, ingkang ngangge pepacuh ‘Aja mangkono lan dudu mangkono’ lan dede lampah-lampah utawi sirikan. Dados Kawruh Jiwa punika kawruh, ingkang meruhi dhateng jiwa lan sawateg-wategipun, kados dene kawruh kewan lan kawruh tetaneman lan sapanunggalipun, lan sawateg-wategipun."

(Jadi Kawruh Jiwa itu Kawruh Raos/ilmu tentang rasa. Kawruh Jiwa itu bukan agama dan bukan pelajaran baik buruk, yang memakai acuan ‘jangan seperti itu dan bukan seperti itu’ dan bukan ajaran tata laku atau penolakan. Jadi Kawruh Jiwa adalah pengetahuan/ilmu, yang memahami jiwa dan segala gerak-geriknya, seperti ilmu hewan dan tanaman dan lain-lain, beserta segala gerak-geriknya.)


Dimensi dan Fungsi "Rasa" Menurut Ki Ageng

Ki Ageng mengkorelasikan jiwa dan rasa dalam Kawruh Jiwa tidak hanya sebagai pengetahuan kognitif, tetapi melibatkan batin dan keseluruhan akal budi manusia. Nanik Prihartanti (dalam Sofiyullah, 2021) menjelaskan bahwa "rasa" dapat dipahami melalui dua dimensi:

  • Dimensi kelengkapan (prabot/piranti): "Rasa" sebagai kuantitas dalam bentuk fisik, emosi, kognisi, dan intuisi (yang melahirkan konsep Ukuran Kaping Sekawan).

  • Dimensi kesempurnaan (kasampurnan): "Rasa" sebagai tingkat kualitas kesadaran manusia, di mana Ki Ageng menyebut ada "rasa" yang dangkal, dalam, dan sangat dalam.

Ki Ageng juga menyebutkan tiga aspek kapasitas "rasa" pada manusia:

  1. "Rasa" untuk memotret (motret): menangkap realitas secara empiris.

  2. "Rasa" untuk menggagas/mengarang (nganggit): proses berpikir atau menerka.

  3. "Rasa" sebagai daya kreasi (nyipta): upaya merekonstruksi atau menciptakan.

Pengetahuan yang diperoleh dari motret dan nyipta akan menghasilkan kebenaran, sedangkan pengetahuan dari nganggit saja cenderung jauh dari kebenaran. Ini menunjukkan bahwa "rasa" tidak hanya sekadar perasaan mendalam, tetapi juga melibatkan kesadaran panca indera (empiris), proses berpikir, dan upaya kreasi.

Ki Ageng memandang jiwa individu secara utuh melalui dimensi-dimensi kemanusiaan seperti rasio (akal pikiran), empiris (panca indera), dan "rasa" (perasaan/emosi). Ia berpendapat bahwa setiap dimensi harus dikelola dan difungsikan sebagaimana mestinya karena saling berkorelasi.

"Wujudipun pirantos-pirantos ingkang kedah dipun upakara, kadosta manah, pikiran, lan ukuran kaping sekawan. Manah punika pirantos kangge ngraosaken raosipun piyambak, pikiran punika kangge mikir, lan ukuran kaping sekawan punika pirantos kangge ngraosaken raosing sanes."

(Wujudnya perangkat-perangkat yang harus dididik/dikelola, adalah hati, pikiran, dan ukuran keempat. Hati merupakan perangkat untuk merasakan rasa pribadi, pikiran (otak) adalah untuk berpikir, dan ukuran keempat adalah perangkat untuk merasakan rasa orang lain.)

Ki Ageng membedakan "rasa" yang bersumber dari hati (manah), pikiran, dan Ukuran Kaping Sekawan. Hati (manah) adalah perangkat untuk memahami "rasa" pribadi, yang dibagi menjadi "rasa" yang dapat dirasakan (emosi dan feeling) dan "rasa" yang merasakan (diri yang memahami). Pemahaman "rasa" ini meningkatkan kepekaan diri, sehingga tindakan seseorang menjadi benar dan baik.

Pikiran berfungsi untuk memikirkan dan memahami "rasa" serta objek material. Sementara itu, Ukuran Kaping Sekawan atau dimensi keempat mengarahkan individu untuk memilah dan menghayati "rasa" diri sendiri dan orang lain (empati dan mawas diri). Ketika seseorang mampu memahami "rasa" diri dan orang lain secara sadar, maka akan lahirlah pengetahuan (kawruh).


Kesimpulan

Pada akhirnya, kita dapat memahami keluhuran pemikiran filsafat Jawa ini melalui kontemplasi dan penyelaman diri terhadap "rasa". "Rasa" yang dipahami oleh orang Jawa, serta yang dikonstruksi oleh Ki Ageng dalam Kawruh Jiwa, menjadi wahana bagi manusia untuk melakukan aktualisasi diri. Aktualisasi ini dicapai melalui pengaktifan fitur-fitur atau esensi kemanusiaan secara utuh dan jangkep.

Berbeda dengan filsafat Barat yang cenderung memecah belah dimensi kemanusiaan (rasionalisme, empirisme, pragmatisme), Ki Ageng menyatukan harmonisasi berbagai pemikiran tersebut melalui "rasa". "Rasa" menjadi sarana bagi manusia untuk mencapai pencerahan (enlightenment), pengayaan (enrichment), dan pemberdayaan (empower) bagi diri sendiri, jiwa, dan sesama manusia.



Baca Juga

Rekomendasi untuk Anda

Rp 3.410.445
Jasa Pembuatan Website siap pakai di Pekanbaru
Rp 1.878.293
Jasa pembuatan blog siap pakai di Pekanbaru
Rp.25.000,
Berlangganan Konten Premium Rp.25.000,00 sekali baca atau Rp.120.000,00 per tahun
Rp.110.000,
Toko Buku Onlie
Lihat harga
Jika Anda berminat bisa menghubungi kami
Lihat harga
Jasa Pembuatan Peta dan Pemetaan yang 1919 Mapping

Lihat Peta

atrbpn
OpenStreetMap
Pusat Database BMKG
Google

Tanya AI

Google
ChatGPT
Meta

  • Tentang
  • Profil

    Warkasa1919
    Warkasa1919

    Lihat Profil

    Warkasa1919.com adalah sebuah platform blog dan publikasi online yang menyediakan berbagai macam konten menarik dan bermanfaat. Kami fokus membahas topik seputar Bisnis Online, Informasi Teknologi, dan berbagai artikel fiksi seperti Novel, Cerpen, dan Puisi.



  • Perlu Bantuan?