Kekayaan Falsafah Jawa

Kekayaan Falsafah Jawa
Warisan filosofi Jawa yang kaya telah membimbing masyarakat selama berabad-abad. Namun, seiring waktu, banyak dari ajaran luhur ini mulai memudar dan terlupakan. Oleh karena itu, penting untuk kembali mengajarkan nilai-nilai ini kepada generasi muda agar tetap relevan dalam kehidupan modern.
Kekayaan Falsafah Jawa
Meskipun pelajaran Bahasa Jawa di sekolah dasar dan menengah seringkali mencakup pengenalan falsafah Jawa, porsinya masih terbatas dibandingkan dengan keseluruhan materi yang harus diajarkan. Padahal, beberapa falsafah ini bahkan telah diterapkan secara nasional. Contoh paling terkenal adalah semboyan pendidikan "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" yang dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Ing Ngarsa Sung Tuladha: Seorang pemimpin atau pendidik harus mampu memberikan teladan.
Ing Madya Mangun Karsa: Orang-orang di posisi tengah (misalnya orang tua atau staf) harus memiliki inisiatif, ide, dan peran yang bermanfaat.
Tut Wuri Handayani: Murid atau rakyat hendaknya mengikuti petunjuk dari guru atau pemimpin yang adil dan bijaksana.
Dengan ketiga komponen ini, diharapkan dunia pendidikan dan suatu bangsa dapat mencapai keadilan serta kesejahteraan lahir dan batin, di mana setiap individu berperan sesuai kapasitasnya dengan penuh amanah.
Masih banyak falsafah Jawa lainnya, termasuk yang kuno, yang tetap selaras dengan nilai-nilai kebaikan universal seperti kesabaran, moralitas, kepemimpinan, dan pandangan tentang perempuan. Berikut adalah beberapa di antaranya:
Falsafah Jawa tentang Cinta
Cinta dalam konteks falsafah Jawa memiliki makna luas, tidak terbatas pada hubungan romantis, tetapi juga kasih sayang dan welas asih universal. Salah satu falsafah yang terkenal adalah:
"Witing tresno jalaran soko kulino. Witing mulyo jalaran wani rekoso."
Artinya: Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, dan kemuliaan datang karena berani bersusah payah atau bekerja keras.
Falsafah Jawa tentang Pemimpin
"Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro."
Artinya: Manusia harus berusaha menciptakan keselamatan dan ketenteraman, sekaligus memberantas angkara murka dan kesewenang-wenangan.
Falsafah ini mengajarkan agar setiap individu memberikan manfaat bagi lingkungannya dan berani melawan kejahatan sesuai kapasitasnya, terutama bagi seorang pemimpin yang harus mengayomi rakyatnya.
Falsafah Jawa Nglurug Tanpa Bala
"Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho."
Artinya: Berjuang tanpa mengandalkan banyak prajurit/massa, meraih kemenangan tanpa merendahkan dan mempermalukan lawan, menjadi berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan, dan menjadi kaya tanpa harus bermodal harta benda.
Ajaran luhur ini mengajarkan kebijaksanaan dalam setiap posisi, termasuk saat berkuasa, memiliki kekuatan, atau kekayaan. Kemuliaan sejati lebih didasarkan pada sikap dan akhlak.
Falsafah Jawa tentang Moral
"Sopo Sing Kelangan Bakal Diparingi, Sopo Sing Nyolong Bakal Kelangan."
Artinya: Siapa yang kehilangan sesuatu akan diberi ganti, sebaliknya siapa yang mencuri atau mengambil sesuatu yang bukan haknya justru akan kehilangan.
Filosofi ini mendorong kejujuran dan melarang tindakan mengambil yang bukan hak, seperti korupsi.
Falsafah Jawa Aja Kuminter
"Ojo Kuminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Cilaka."
Artinya: Jangan merasa pintar agar tidak tersesat, dan jangan berbuat curang agar tidak celaka.
Ajaran ini mengingatkan seseorang untuk menempatkan diri pada posisi yang semestinya, tidak sombong meskipun pandai, karena selalu ada yang lebih pandai.
"Akeh Durung Mesti Cukup, Sethithik Durung Mesti Kurang."
Artinya: Sesuatu yang banyak belum tentu mencukupi, dan sedikit belum tentu berarti kekurangan.
Filosofi ini menekankan bahwa kecukupan tergantung pada suasana hati dalam menerima setiap keadaan.
Falsafah Jawa tentang Sabar
"Alon-alon Waton Kelakon."
Artinya: Pelan-pelan asalkan tercapai. Namun, makna yang lebih dalam adalah kemauan untuk melalui proses dengan sabar; "alon" tidak berarti lambat, tetapi menjalani tahapan dengan sabar hingga tujuan tercapai.
"Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan."
Artinya: Jangan mudah sakit hati saat tertimpa musibah/bencana, dan jangan gampang sedih saat kehilangan sesuatu.
Kata-kata bijaksana ini pernah diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menyampaikan pesan kepada masyarakat Yogyakarta dalam menghadapi wabah Virus Corona.
Falsafah Jawa tentang Pendidikan
"Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman."
Artinya: Jangan mudah takjub, jangan mudah menyesal, jangan mudah kaget, dan jangan mudah bermanja.
Keempat sikap ini sangat penting, terutama bagi mereka yang sedang belajar.
Pada dasarnya, falsafah Jawa selaras dengan berbagai agama, khususnya Islam, karena ajaran di dalamnya bersifat universal, meliputi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan alam.
Dahulu, pembelajaran nilai-nilai luhur budaya Jawa banyak dikenal melalui nasihat para sesepuh. Namun, kini hal tersebut berkurang karena semakin sedikit yang memahami, dan penggunaan Bahasa Jawa mulai terkikis oleh Bahasa Indonesia. Akibatnya, kutipan-kutipan bijak dalam Bahasa Jawa jarang disebut.
Besar harapan ke depan, nilai-nilai luhur budaya Jawa dapat terus dipertahankan dan dilestarikan sebagai kekayaan khazanah budaya Indonesia, serta yang terpenting, terus diterapkan dalam kehidupan masyarakat.