7 Tanda Zaman yang Makin Gila: Apa Kata Sejarah dan Agama?
7 Tanda Zaman yang Makin Gila: Apa Kata Sejarah dan Agama?
7 Tanda Zaman yang Makin Gila: Apa Kata Sejarah dan Agama?
Pernahkah Anda berhenti sejenak dan merasa dunia di sekitar kita berputar semakin cepat dan tak menentu? Rasanya, setiap hari ada saja kabar atau fenomena baru yang membuat kita mengelus dada sambil bergumam, "Zaman sudah makin gila."
Anda tidak sendirian. Perasaan ini, ternyata, bukanlah hal baru. Sejarah peradaban manusia penuh dengan periode gejolak yang serupa. Agama-agama besar pun telah lama menubuatkan tentang tanda-tanda akhir zaman yang mencerminkan kekacauan moral dan sosial.
Lalu, apa saja tanda-tanda zaman yang "makin gila" ini? Mari kita bedah tujuh di antaranya, sambil menengok ke cermin sejarah dan mencari petunjuk dari lentera agama.
1. Wabah Kesepian di Tengah Keramaian
Ironis, bukan? Di era media sosial yang seharusnya membuat kita super terhubung, banyak dari kita justru merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Interaksi tatap muka tergantikan oleh likes dan followers. Kita punya ratusan teman virtual, tapi tak ada satu pun yang bisa dihubungi saat kita benar-benar butuh bicara dari hati ke hati.
Kata Sejarah: Sejarawan melihat fenomena ini sebagai dampak dari urbanisasi dan individualisme. Saat masyarakat agraris yang komunal bergeser ke masyarakat industri yang individual, ikatan sosial mulai merenggang. Keruntuhan Kekaisaran Romawi, misalnya, juga ditandai dengan fragmentasi sosial dan krisis kepercayaan antarwarga.
Kata Agama: Agama selalu menekankan pentingnya komunitas dan persaudaraan (ukhuwah). Hilangnya rasa kebersamaan ini sering dianggap sebagai tanda zaman yang rapuh, di mana manusia tercerabut dari fitrahnya sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Agama mengingatkan bahwa meninggalkan komunitas adalah salah satu langkah menuju kehampaan spiritual.
2. Kebenaran Menjadi Relatif dan Bisa Diperdebatkan
Dulu, kebenaran terasa lebih kokoh. Namun kini, di era post-truth, setiap orang merasa berhak atas "faktanya" sendiri. Hoaks, disinformasi, dan deepfake merajalela, membuat kita bingung membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Kebenaran seolah bisa divoting dan disesuaikan dengan selera.
Kata Sejarah: Kaum Sofis di Yunani Kuno adalah contoh kelompok yang percaya bahwa kebenaran itu relatif. Mereka mahir memutarbalikkan argumen demi kepentingan klien mereka. Plato dan Socrates menentang keras pandangan ini, memperingatkan bahwa jika kebenaran menjadi subjektif, maka fondasi moralitas dan hukum akan runtuh.
Kata Agama: Semua agama samawi berpegang pada konsep kebenaran mutlak yang datang dari Tuhan. Ketika manusia mulai meninggalkan wahyu sebagai pedoman dan hanya mengandalkan akal serta nafsunya, kebenaran menjadi kabur. Ini dianggap sebagai tanda kesombongan intelektual manusia yang pada akhirnya akan menjerumuskannya ke dalam kebingungan.
3. Pamer Kekayaan dan Gaya Hidup Hedonis
Buka media sosial, dan kita akan dibombardir dengan pameran kemewahan. Mobil sport, liburan ke luar negeri, barang-barang bermerek—semua menjadi standar kebahagiaan baru. Gaya hidup yang mengejar kenikmatan sesaat (hedonisme) menjadi impian banyak orang, tak peduli bagaimana cara meraihnya.
Kata Sejarah: Banyak peradaban besar yang runtuh justru di puncak kemakmurannya. Sejarah mencatat bagaimana elite Romawi di akhir masa kejayaannya tenggelam dalam pesta pora dan kemewahan yang berlebihan, sementara ketimpangan sosial semakin menganga. Sikap ini membuat mereka rapuh dari dalam.
Kata Agama: Agama mengajarkan konsep syukur, kesederhanaan, dan zuhud (tidak terpikat dunia). Pengejaran harta secara membabi buta dan menjadikannya sebagai tujuan utama hidup dianggap sebagai penyakit hati yang akan mengeraskan jiwa dan melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah dan berbuat kebaikan.
4. Hilangnya Rasa Malu
Dulu, perbuatan tercela dilakukan sembunyi-sembunyi. Kini, beberapa orang justru bangga mempertontonkan aibnya demi viral dan popularitas. Norma dan etika sosial yang dulu dijunjung tinggi perlahan terkikis. Apa yang dulu dianggap tabu, sekarang justru menjadi tontonan.
Kata Sejarah: Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim terkemuka, menyatakan bahwa salah satu tanda kemunduran sebuah peradaban adalah ketika asabiyyah (solidaritas sosial) dan rasa malu kolektif mulai hilang. Ketika masyarakat tidak lagi memiliki standar moral yang sama, mereka akan mudah terpecah belah dan kehilangan kekuatan.
Kata Agama: Rasa malu (haya') dianggap sebagai bagian dari iman. Ia adalah rem yang mencegah manusia dari perbuatan maksiat dan tidak pantas. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa jika seseorang sudah tidak punya rasa malu, maka ia akan melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hilangnya rasa malu adalah pertanda iman yang menipis.
5. Ilmu Pengetahuan Tanpa Jiwa
Teknologi berkembang pesat. Kecerdasan buatan (AI), rekayasa genetika, dan penjelajahan antariksa menunjukkan betapa hebatnya akal manusia. Namun, kemajuan ini seringkali tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan etika. Ilmu seolah menjadi "tuhan" baru, namun ia kering dan tak mampu menjawab pertanyaan tentang makna hidup.
Kata Sejarah: Abad Pencerahan di Eropa mengagungkan rasionalitas dan sains. Namun, eksesnya melahirkan materialisme dan krisis spiritual. Manusia modern, seperti yang digambarkan oleh banyak filsuf, merasa "terasing" di alam semesta yang dingin dan tanpa makna setelah Tuhan "dibunuh" oleh rasionalitas.
Kata Agama: Agama tidak pernah menentang ilmu pengetahuan. Justru, wahyu pertama dalam Islam adalah "Iqra" (Bacalah!). Namun, agama menekankan bahwa ilmu harus diimbangi dengan iman. Ilmu tanpa iman bisa menjadi buta dan merusak, sementara iman tanpa ilmu bisa menjadi fanatik. Keduanya harus berjalan beriringan untuk menciptakan peradaban yang seimbang.
6. Fitnah dan Adu Domba Menjadi Sarapan Sehari-hari
Lihatlah kolom komentar di berita online atau perdebatan di grup WhatsApp keluarga. Betapa mudahnya orang saling mencaci, menyebar fitnah, dan mengadu domba. Perbedaan pandangan politik atau agama seringkali menjadi alasan untuk memutuskan silaturahmi dan menabur benih kebencian.
Kata Sejarah: Politik pecah belah (divide et impera) adalah strategi klasik yang digunakan oleh para penjajah untuk melemahkan bangsa yang ingin dikuasainya. Dengan menyebar fitnah dan menajamkan perbedaan, masyarakat menjadi sibuk bertikai satu sama lain dan lupa akan musuh yang sebenarnya.
Kata Agama: Fitnah disebut lebih kejam dari pembunuhan. Agama dengan tegas melarang umatnya untuk menggunjing, mengadu domba, dan menyebarkan berita bohong. Menjaga lisan dan persatuan umat adalah perintah suci. Ketika fitnah merajalela, ini adalah tanda bahwa iblis sedang berpesta pora di tengah-tengah masyarakat.
7. Alam Murka, Manusia Tak Peduli
Banjir bandang, kekeringan ekstrem, kebakaran hutan, dan cuaca yang tak menentu. Alam seolah sedang mengirimkan sinyal marahnya. Namun, eksploitasi sumber daya alam terus berjalan atas nama pembangunan dan keuntungan. Manusia modern sering bertindak seolah ia adalah pemilik, bukan khalifah (penjaga) di muka bumi.
Kata Sejarah: Sejarah peradaban Pulau Paskah adalah contoh tragis bagaimana sebuah masyarakat bisa punah karena merusak lingkungannya sendiri. Mereka menebang semua pohon di pulau itu demi membangun patung-patung raksasa, yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan ekosistem dan peradaban mereka.
Kata Agama: Manusia ditunjuk Tuhan sebagai khalifah di bumi dengan tugas untuk merawat dan memakmurkannya. Merusak alam dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut. Banyak ayat suci yang memperingatkan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat dari ulah tangan manusia itu sendiri.
Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Setelah membaca tujuh tanda di atas, mudah untuk merasa pesimis dan putus asa. Namun, tujuan artikel ini bukanlah untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menyadarkan dan menginspirasi.
Sejarah mengajarkan kita bahwa setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Agama pun tidak hanya memberikan diagnosis tentang "penyakit" zaman, tetapi juga menawarkan resep penyembuhnya.
Kuncinya bukanlah melarikan diri dari zaman yang "gila" ini, tetapi menjadi mercusuar kewarasan di tengahnya.
Kembali ke Komunitas: Jalin kembali hubungan yang tulus dengan keluarga, sahabat, dan tetangga. Bangun lingkaran sosial yang sehat dan suportif.
Berpegang pada Prinsip: Di tengah badai informasi, berpeganglah pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang yang diajarkan agama dan nurani.
Hidup Sederhana: Kebahagiaan sejati tidak datang dari pameran harta, tetapi dari rasa syukur dan kekayaan jiwa.
Jaga Iman dan Akhlak: Jadikan rasa malu sebagai perisai dan iman sebagai kompas dalam setiap tindakan.
Menjadi Pembawa Damai: Hindari perdebatan kusir dan jadilah agen perdamaian, minimal di lingkungan terdekat Anda.
Zaman boleh terasa gila, tapi kita tidak harus ikut menjadi gila. Dengan menimba hikmah dari sejarah dan berpegang pada tali agama, kita bisa melewati periode yang penuh tantangan ini dengan kepala tegak dan hati yang damai. Mari menjadi pribadi waras di zaman yang terus berubah.