Gugatan Iblis: Cermin Retak bagi Manusia yang Merasa Suci
Gugatan Iblis: Cermin Retak bagi Manusia yang Merasa Suci
Gugatan Iblis: Cermin Retak bagi Manusia yang Merasa Suci
Sejarah, seperti yang sering kita dengar, ditulis oleh para pemenang. Namun dalam panggung teologi yang megah, narasi sering kali ditafsirkan oleh mereka yang merasa menang—mereka yang paling lantang mengklaim kesucian, meski kebenaran sesungguhnya masih terselubung misteri.
Selama ribuan tahun, dalam dogma yang diulang tanpa henti, satu sosok
dipajang sebagai kambing hitam abadi: Iblis. Ia adalah antagonis tunggal, biang
keladi kejatuhan Adam, dan alasan mengapa manusia harus terus bersujud dalam
gemetar. Kita telah lama terbuai oleh narasi satu arah ini, di mana Iblis
adalah pengkhianat terkutuk yang tak pernah diberi ruang untuk membela diri.
Vonis bersalah telah dijatuhkan bahkan sebelum ia sempat membuka mulutnya untuk
melakukan pembelaan.
Tapi, mari kita berhenti sejenak dan menantang narasi yang nyaman ini.
Apakah kita yakin telah memahami segalanya?
Pembangkangan atau Ketauhidan Paling Murni?
Alkisah, sebuah perintah menggema di semesta: "Sujudlah kalian
kepada Adam!" Seluruh penghuni langit tunduk, kecuali satu. Satu makhluk
yang menolak bukan karena benci, melainkan karena sebuah prinsip yang mengakar
kuat di dalam dirinya.
Ia bertanya, sebuah pertanyaan logis yang di hadapan dogma justru
dianggap sebagai pengkhianatan: "Mengapa aku harus sujud pada dia yang Kau
ciptakan dari tanah, sedangkan aku dari api?" Bagi Iblis, sujud adalah
ibadah, bukan sekadar formalitas protokoler. Dan ibadah, dalam keyakinan
terdalamnya, hanya pantas dipersembahkan kepada Tuhan, bukan kepada makhluk
lain, bahkan jika itu atas perintah-Nya.
Di sinilah ironi kosmis dimulai. Bukankah Tuhan sendiri memuliakan
manusia karena kemampuannya berpikir, bertanya, dan mengenal nama-nama? Namun,
ketika Iblis menerapkan nalar kritis yang sama, ia justru dikutuk dan dilabeli
kafir. Mungkinkah penolakannya bukanlah sebuah kekufuran, melainkan bentuk
paling jujur dari ketauhidan—sebuah kejujuran untuk tidak menyembah selain Yang
Maha Esa?
Dunia ini memang aneh. Ketaatan buta dipuji setinggi langit, sementara
pikiran yang bertanya dan kritis dianggap dosa. Iblis dihukum bukan karena ia
salah, tetapi karena ia tidak ikut-ikutan dalam euforia sujud massal. Ia
dihukum karena kejujurannya.
Cermin dari Neraka: Siapa yang Lebih Gila?
Ribuan tahun telah berlalu. Dari singgasananya yang menyala, Iblis
tertawa getir. Bukan karena melihat manusia berdosa—itu wajar. Di dalam
kesendiriannya Ia kembali tertawa, melihat manusia saat ini telah berhasil
menjadi jauh lebih "gila" darinya, namun tetap merasa paling suci.
Lihatlah di sekeliling kita:
- Manusia
membakar hutan atas nama pembangunan, lalu berdoa meminta hujan turun.
- Mereka
bersujud lima kali sehari, namun di sela-selanya sibuk mencuri, korupsi,
dan menyebar fitnah.
- Mereka
membangun masjid megah di atas tanah sengketa, lalu berswafoto dengan
takarir "Masya Allah, indahnya rumah Allah."
- Mereka
menggunakan nama Tuhan untuk melegitimasi kebencian, menindas yang lemah,
dan melanggengkan kekuasaan.
Iblis hanya sekali menolak sujud pada makhluk. Manusia, setiap hari,
menolak nuraninya sendiri. Dulu, Iblis dituduh membangkang karena terlalu
jujur. Kini, manusia dipuji meski jelas-jelas membohongi Tuhan dengan kesalehan
palsunya. Iblis dianggap musuh, tetapi nafsu serakah diundang menjadi motivator
dengan dalih "ikhtiar".
Jika Iblis Bertaubat, Siapa yang Akan Kau Salahkan?
Bayangkan sejenak, jika Iblis memutuskan untuk bertaubat. Apa yang akan
terjadi? Mungkin bukan perayaan di surga, melainkan kekacauan di muka bumi ini.
Industri religi akan kehilangan bahan ceramah utamanya. Bisnis ruqyah akan
kehilangan pasarnya.
Jika Iblis pensiun, siapa lagi yang akan menjadi kambing hitam?
- Saat
seorang pejabat korupsi, ia tak bisa lagi berdalih "digoda
setan."
- Saat
terjadi kejahatan, kita tak bisa lagi menyalahkan "bisikan
iblis."
Manusia harus mulai berhadapan dengan kebenaran yang paling menakutkan:
bahwa sebagian besar dosa bukanlah hasil godaan, melainkan keputusan sadar.
Bahwa kejahatan lahir bukan karena digelincirkan, tetapi karena kita
menginginkannya dan menikmatinya. Menyalahkan Iblis itu murah dan mudah.
Mengakui bayangan gelap dalam diri sendiri butuh keberanian luar biasa.
Sebuah Gugatan untuk Hati Nurani
Pada akhirnya, aku mulai menuliskan kisah Iblis ini bukanlah sebagai
bentuk pembelaan untuknya. Ini adalah sebuah gugatan yang ditujukan langsung ke
dalam diri kita. Ini adalah cermin retak yang dipasang di hadapan wajah kita
yang sering kali merasa suci.
Jika membaca ini membuatmu merasa terusik, mungkin itu bukan karena
tulisan ini terlalu berani. Mungkin itu karena jauh di dalam lubuk hatimu, ada
bagian dari dirimu yang mengangguk pelan, mengakui kebenaran yang pahit ini.
Bahwa neraka bisa jadi terasa lebih suci jika ia dihuni oleh mereka yang
jujur meski kalah, daripada surga yang dipenuhi oleh klaim-klaim kepalsuan. Dan
musuh terbesar kita bukanlah sosok terkutuk yang kita bayangkan selama ini,
melainkan kemunafikan yang kita pelihara dengan bangga di dalam dada kita
sendiri.
Dan jika suatu hari iblis tak lagi dibutuhkan, barangkali dunia akan
tahu: yang sebenarnya mereka lawan selama ini bukanlah setan, tapi bayangan
buruk dalam diri sendiri yang tak berani mereka akui.
Karena terkadang, kejujuran bisa datang dari tempat yang paling tidak
kita duga—bahkan bisa saja dari yang kita anggap paling sesat selama ini.
NERAKA SEPI, SURGA SIBUK: PENGAKUAN IBLIS DAN KEGILAAN MANUSIA.
Iblis tak lagi berkoar tentang dosa, melainkan berkisah tentang absurditas manusia yang tak kunjung puas menyalahkannya. Sementara neraka sepi, sibuknya surga malah dipenuhi laporan permohonan maaf dari para pendosa yang berlindung di balik ayat dan ibadah formal. Iblis pun berdiri di persimpangan sejarah: bukan lagi penggoda, tapi saksi menyaksikan bagaimana manusia memakai nama Tuhan sebagai tameng untuk dosa-dosa kolektif mereka.
Video ini membuka mata: bahwa kebenaran sering kali terkubur di balik doa-doa palsu dan jargon-jargon suci. Iblis berbicara, bukan untuk menggoda, tapi untuk memaksa manusia bercermin. Karena ketika semua dalih habis, yang tersisa hanyalah kegilaan yang tak pernah mau mengaku: bahwa Iblis sejati bukan makhluk asing, melainkan bagian yang manusia pelihara di dalam dada