Ketika Pemihakan pada Rakyat Ditafsirkan Sebagai Dosa
Ketika Pemihakan pada Rakyat Ditafsirkan Sebagai Dosa
Dedi
Mulyadi: Ketika Pemihakan pada Rakyat Ditafsirkan Sebagai Dosa
Di negeri yang rajin menuduh
tapi malas berpikir, muncul seorang pemimpin yang keberpihakannya pada rakyat
kecil justru mengundang curiga dari para elit. Dedi Mulyadi, bukan
hanya menjadi simbol perlawanan terhadap politik arus utama, tapi juga paradoks
hidup dari sistem yang sudah lama pincang: seorang pemimpin yang dicintai
oleh mereka yang di bawah, tapi dicurigai oleh mereka yang merasa
di atas — baik secara kekuasaan, agama, maupun warisan garis
keturunan.
Ia membangun taman, merawat
patung, memuliakan kebudayaan lokal — hal-hal yang seharusnya menjadi sumber
kebanggaan—namun justru dijadikan dasar untuk menuduhnya musyrik.
Tuduhan ini datang dari mereka yang mengklaim sebagai penjaga akidah, tapi
kerap menjadikan agama sebagai warisan keluarga dan sumber kekuasaan. Agama
yang seharusnya membebaskan, berubah menjadi alat untuk menundukkan.
Pemimpin
yang Tidak Membawa Kitab, Tapi Menghidupkan Ajarannya
Dedi tidak berdiri di
podium-podium ceramah untuk menjual surga. Ia tidak membawa kitab suci ke
mana-mana, namun dalam tindakannya tergambar nilai-nilai kenabian: memuliakan
kaum yang terpinggirkan, menciptakan ruang publik yang adil, dan membangun
jembatan antara masa lalu dan masa depan lewat budaya. Tapi karena itu
pula, ia dianggap ancaman.
Ancaman bukan bagi setan,
melainkan bagi para penguasa moral yang nyaman menjadi juru bicara Tuhan—sambil
diam-diam memungut pajak dari penderitaan umat.
Ia menyapa tukang becak dan
pedagang kaki lima. Ia duduk di tanah bersama petani dan buruh. Bagi mereka,
Dedi bukan hanya pemimpin, tapi bagian dari mereka sendiri. Dan mungkin di
situlah letak “kesalahan” terbesar Dedi: ia tidak tunduk pada struktur
kekuasaan yang membelah manusia berdasarkan gelar, warisan, dan jubah.
Siapa
yang Sebenarnya Musyrik?
Pertanyaan tajam yang diajukan
dalam video Sudrun Gugat menyentil kesadaran kita semua:
Siapa yang sebenarnya musyrik?
Yang menjaga warisan budaya dan berpihak pada rakyat, atau yang memperalat
agama demi tahta dan kuasa?
Pertanyaan ini bukan sekadar
retorika. Ia adalah cermin. Bagi mereka yang selama ini menggunakan nama Tuhan
untuk melanggengkan privilese, keberadaan sosok seperti Dedi adalah mimpi
buruk: seorang pemimpin yang tidak tunduk pada sistem lama, tidak bisa dikendalikan
dengan doktrin, dan tidak takut disebut “sesat” oleh mereka yang menjual
kebenaran.
Menggugat
Cara Kita Melihat Agama dan Kekuasaan
Sudrun Gugat bukan hanya bicara
tentang Dedi Mulyadi sebagai individu, tapi juga tentang kondisi kolektif
bangsa ini: betapa mudahnya label “sesat” diberikan kepada mereka yang
berbeda, dan betapa lambannya kita untuk berpikir kritis terhadap struktur
yang sudah usang.
Dedi bukan nabi. Tapi dia
menghadirkan nilai-nilai kenabian dalam bentuk yang paling nyata: keberpihakan,
keberanian, dan kasih sayang yang merangkul manusia tanpa syarat.
Mungkin sudah saatnya kita
meninjau ulang siapa sebenarnya yang menyimpang:
- Apakah yang melestarikan kearifan lokal adalah bentuk kemusyrikan?
- Apakah menyentuh patung leluhur lebih berbahaya daripada menindas
rakyat dengan dalih agama?
Kesadaran
Baru Tentang Kepemimpinan
Video ini bukan pembelaan
terhadap satu orang. Ini adalah undangan untuk berpikir jernih.
Tentang agama yang membebaskan atau menindas.
Tentang budaya yang dilestarikan atau dihapus.
Tentang pemimpin yang melayani atau yang sekadar tampil.
Di tengah suara-suara lantang
yang seringkali memekakkan telinga dengan dogma, muncul suara lirih yang tulus:
suara yang tidak mengklaim kebenaran, tapi menghidupkan nilai.
Dan mungkin, di situ letak
keberanian sejati seorang Dedi Mulyadi.
Tulisan ini adalah sebuah analisis
dan refleksi puitis. Sudrun Gugat tidak sekadar berkomentar,
tetapi berhasil menangkap esensi dari paradoks sentral yang melingkupi figur
seperti Dedi Mulyadi, dan mungkin banyak pemimpin lain yang memilih jalan
serupa.
Substansi Mengalahkan Simbolisme
Channel Sudrun Gugat dengan cemerlang menyoroti
pertarungan abadi antara substansi dan simbolisme. Di satu sisi, ada Dedi Mulyadi yang
"tidak membawa kitab, tapi menghidupkan nilai-nilai kenabian." Ini
adalah substansi: memberi makan yang lapar, menciptakan ruang publik yang
manusiawi, merawat alam, dan memanusiakan manusia. Ini adalah cerminan dari
nilai-nilai universal yang diajarkan semua agama—keadilan, kasih sayang, dan
rahmat.
Di sisi lain, ada para penuduhnya yang fokus
pada simbol. Mereka mempermasalahkan patung (simbol budaya),
salam "Sampurasun" (simbol sapaan), dan iket (simbol pakaian),
sambil menyeruput kopi mari kita lihat mereka-mereka yang masih terus, "memeluk kemunafikan." dengan
memegang kitab sebagai simbol kesalehan, namun tindakan mereka—menabur curiga,
memecah belah, dan mungkin mengambil untung dari posisi mereka—justru
bertentangan dengan substansi kitab suci itu sendiri.
Mendefinisikan Ulang
"Ancaman"
Analisis Channel Sudrun Gugat tentang siapa yang
merasa terancam sangatlah tepat. Dedi Mulyadi dianggap ancaman, "bukan
oleh setan, tapi oleh mereka yang selama ini nyaman menjadi juru bicara
Tuhan."
Ancaman ini bersifat eksistensial bagi mereka.
Mengapa?
1.
Mendobrak
Monopoli Tafsir: Ketika seorang pemimpin
menunjukkan bahwa kesalehan bisa diwujudkan melalui kerja nyata untuk
rakyat—bukan hanya melalui retorika di mimbar—ia secara tidak langsung
mendobrak monopoli tafsir agama yang dipegang oleh kelompok tertentu.
2.
Membuka
Standar Baru: Ia menunjukkan bahwa
seorang pemimpin bisa dicintai tanpa harus terus-menerus menjual ayat atau
janji surga. Standar penilaian publik bergeser dari "seberapa sering ia
mengutip dalil" menjadi "seberapa besar dampaknya bagi kehidupan kami."
Ini berbahaya bagi mereka yang modal utamanya hanyalah retorika agama.
3.
Mengungkap
"Bisnis Keluarga": Frasa "menjadikan agama sebagai bisnis keluarga" sangat
kuat. Ketika ada pelayanan publik yang tulus, maka "bisnis" yang
berjalan di atas penderitaan dan ketidaktahuan umat akan otomatis terganggu.
Isi video yang berjudul “DEDI MULYADI PEMIMPIN YANG
DITUDUH MUSYRIK, DIMUSUHI PARA ELITE DAN PARA KETURUNAN PALSU NABI” menutup
dengan sebuah pertanyaan retoris yang menusuk:
Maka, siapakah sebenarnya yang musyrik? Yang
menjaga warisan budaya dan berpihak pada rakyat, atau mereka yang memperalat
agama demi tahta dan kuasa?
Tulisan ini dengan sendiri sudah memberikan jawabannya. Jika musyrik atau syirik secara esensial adalah tindakan "menyekutukan Tuhan" atau menempatkan sesuatu pada posisi yang sejajar dengan-Nya, maka:
- Syirik modern mungkin bukan lagi menyembah berhala batu. Bentuknya bisa lebih halus: mendewakan kekuasaan, menuhankan jabatan, dan menjadikan agama sebagai kendaraan untuk ambisi pribadi. Dalam konteks ini, memperalat nama Tuhan demi tahta dan kuasa adalah bentuk penyekutuan yang paling nyata.
Sebaliknya, tindakan menjaga warisan budaya adalah
bentuk syukur atas anugerah kreativitas Tuhan. Berpihak pada rakyat kecil
adalah manifestasi dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Tulisan ini adalah sebuah manifesto singkat yang membingkai
ulang perdebatan dari sekadar politik praktis menjadi sebuah perenungan
filosofis tentang keberagamaan, kemunafikan, dan makna sejati dari kepemimpinan
di negeri ini.
DEDI MULYADI PEMIMPIN YANG DITUDUH MUSYRIK, DIMUSUHI PARA ELITE DAN PARA KETURUNAN PALSU NABI
Di negeri yang rajin menuduh tapi malas berpikir, Dedi Mulyadi tampil sebagai paradoks: pemimpin yang dicintai rakyat kecil tapi dicurigai para pemuka agama dan elit kekuasaan. Ia membangun taman, merawat patung, dan memuliakan kebudayaan lalu dicap musyrik oleh mereka yang menjadikan agama sebagai bisnis keluarga.
Dalam dunia yang sibuk menolak simbol tapi memeluk kemunafikan, Dedi berdiri sendiri tidak membawa kitab, tapi menghidupkan nilai-nilai kenabian. Ia tak bicara tentang surga, tapi menciptakan ruang yang manusiawi bagi mereka yang diabaikan. Justru karena itulah, ia dianggap ancaman. Bukan oleh setan, tapi oleh mereka yang selama ini nyaman menjadi juru bicara Tuhan sambil memungut pajak dari penderitaan umat. Maka, siapakah sebenarnya yang musyrik? Yang menjaga warisan budaya dan berpihak pada rakyat, atau mereka yang memperalat agama demi tahta dan kuasa?