Semar Itu Kita: Menemukan Kembali Jati Diri Melalui Rasa, Kesadaran, dan Laku Sejati
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali menuntut kita untuk tampil sempurna dan mengejar standar duniawi, kita mungkin lupa akan esensi sejati dari keberadaan kita. Sebuah video inspiratif di kanal YouTube berjudul "SEMAR Itu Kita... Tapi Kita Lupa!" mengajak kita untuk menengok kembali ke dalam, menyelami kekayaan filsafat Jawa yang tak lekang oleh waktu. Melalui pemaknaan mendalam terhadap sosok Semar, kita diajak untuk mengenali kembali hakikat diri melalui tiga pilar utama: Rasa, Kesadaran, dan Laku Sejati.
Sosok Semar dalam pewayangan bukanlah sekadar abdi atau punakawan biasa. Ia adalah representasi dari sang pamomong, pembimbing sejati yang sejatinya adalah manifestasi ilahi. Semar adalah simbol dari kebijaksanaan tertinggi yang membumi, hadir dalam wujud yang sederhana, bahkan seringkali dianggap remeh. Namun, di balik penampilannya yang bersahaja, tersimpan kedalaman spiritual yang luar biasa. Filsafat di balik Semar mengajarkan bahwa kebenaran dan kebijaksanaan sejati itu tidak selalu gemerlap, melainkan tersembunyi dalam kesederhanaan dan ketulusan.
Video tersebut mengupas bahwa "Semar" sesungguhnya adalah kita. Di dalam setiap diri manusia, bersemayam potensi kebijaksanaan, ketenangan, dan kekuatan yang sama seperti yang dilambangkan oleh Semar. Namun, kita seringkali "lupa" karena terdistraksi oleh ego, ambisi, dan penilaian dari luar.
Tiga Pilar Menuju Diri Sejati
Untuk kembali "mengingat" siapa diri kita, video ini menjabarkan tiga konsep kunci dalam filsafat Jawa:
1. Rasa: Kompas Batin yang Terlupakan
Rasa dalam konteks ini bukanlah sekadar emosi sesaat. Ia adalah intuisi, kepekaan batin, atau "perasaan" yang murni dan dalam. Rasa adalah kompas internal yang menghubungkan kita dengan kebenaran hakiki. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali mengabaikan bisikan rasa ini dan lebih mengandalkan logika atau tuntutan eksternal.
Filsafat Jawa mengajarkan kita untuk olah rasa, yaitu melatih kepekaan batin agar mampu membedakan mana keinginan ego dan mana petunjuk dari nurani yang paling dalam. Ketika kita mampu menyelaraskan tindakan kita dengan rasa yang jernih, kita akan menemukan ketenangan dan keharmonisan dalam setiap langkah.
2. Kesadaran: Menyalakan Pelita di Dalam Diri
Setelah rasa, pilar berikutnya adalah kesadaran (eling lan waspada). Ini adalah kemampuan untuk senantiasa sadar akan keberadaan diri, pikiran, perasaan, dan lingkungan sekitar tanpa terhanyut di dalamnya. Kesadaran adalah pelita yang menerangi kegelapan batin, memungkinkan kita untuk melihat segala sesuatu dengan lebih jernih.
Dengan melatih kesadaran, kita tidak lagi menjadi budak dari pikiran-pikiran negatif atau emosi yang meledak-ledak. Kita menjadi pengamat yang bijaksana atas apa yang terjadi di dalam diri. Kesadaran ini membawa kita pada pemahaman bahwa kita lebih besar dari sekadar masalah atau pencapaian kita. Kita adalah kesadaran itu sendiri, yang menjadi panggung bagi segala pengalaman hidup.
3. Laku Sejati: Bertindak dari Sumber Kebenaran
Puncak dari pengenalan diri adalah Laku Sejati, atau tindakan yang benar-benar selaras dengan rasa dan kesadaran. Ini bukanlah tentang melakukan hal-hal besar yang spektakuler, melainkan tentang menjalankan peran kita di dunia dengan penuh ketulusan, kesabaran, dan tanpa pamrih (sepi ing pamrih, rame ing gawe).
Laku Sejati tercermin dalam sikap hidup yang sederhana, rendah hati, dan senantiasa berusaha memberikan manfaat bagi sesama dan alam semesta (memayu hayuning bawana). Sebagaimana Semar yang mengabdi dengan tulus kepada para Pandawa, kita pun diajak untuk menemukan keagungan dalam pelayanan dan tindakan yang didasari oleh cinta kasih.
Jalan Pulang Menuju "Rumah"
Video "SEMAR Itu Kita... Tapi Kita Lupa!" pada intinya adalah sebuah panggilan untuk "pulang". Pulang ke "rumah" sejati di dalam diri kita, tempat di mana kebijaksanaan, kedamaian, dan kekuatan bersemayam. Dengan kembali mengasah rasa, meningkatkan kesadaran, dan menjalankan laku sejati, kita sedang dalam proses mengingat kembali siapa diri kita yang sesungguhnya.
Perjalanan ini mungkin tidak selalu mudah dan membutuhkan laku prihatin serta refleksi yang mendalam. Namun, dengan menjadikan Semar sebagai cermin dan filsafatnya sebagai panduan, kita dapat melangkah dengan lebih mantap menuju kehidupan yang lebih otentik, bermakna, dan penuh inspirasi. Karena pada hakikatnya, kebijaksanaan agung itu tidak perlu dicari di tempat yang jauh, ia telah ada dan menanti untuk kita sadari di dalam diri kita sendiri.: